Filsafat Mahabharata. Salah satu ciri khas orang Hindu dan orang Bali pada khususnya adalah ketidaksukaannya pada perdebatan. Semboyan “de ngaden awak bisa (jangan mengira diri bisa)” selalu menjadi pembenaran parsial bagi mereka. Apalagi dalam masalah keyakinan dan sistem filsafat, mereka akan cenderung berargumen bahwa semuanya bergantung pada diri masing-masing dan menurut mereka tidak ada gunanya memperdebatkan keyakinan orang lain. Mungkin hal ini jugalah yang menyebabkan mudahnya orang Bali menerima perbedaan yang disodorkan oleh agama lain.
Dalam suatu proses pernikahan beda agama contohnya, untuk menghindari perdebatan orang Bali akan lebih cenderung mengatakan bahwa Tuhan yang dipuja dan tujuan agama lain tersebut sebenarnya sama, hanya saja cara sembahyang mereka saja yang berbeda. Dengan dasar pemikiran ini akhirnya tidak urung menyebabkan banyak orang-orang Hindu yang pindah keyakinan. Namun sangat ironis disaat toleransi ke luar dengan prinsip ke-“samaisme”-an ini begitu diagung-agungkan beberapa oknum dari mereka malahan sangat suka mengobok-obok keanekaragaman yang ada pada Hindu itu sendiri. Berbagai sentimen negatif dan tuduhan tidak beralasan sering kali dilayangkan kepada berbagai sampradaya dan garis-garis perguruan yang nampak bertolak belakang dengan Hindu mainframe yang ada di Indonesia. Sering kali tidak ada dialog, diskusi, debat atau paling tidak anggapan bahwa Tuhan yang dipuja oleh corak Hindu yang berbeda itu adalah Tuhan yang sama tetapi dengan cara yang berbeda sebagaimana toleransi yang mereka kembangkan ke masyarakat di luar Hindu. Seringkali mereka memberikan vonis tidak pantas terhadap warga yang dianggap “menyimpang” ini. Banyak kasus mereka yang menjalankan ritual diluar Hindu mainframe dijadikan warga kedua dan bahkan diasingkan dari desa adatnya. Mereka harus hidup dalam berbagai intimidasi dan tuduhan-tuduhan negatif yang sangat jarang dipecahkan dengan proses diskusi dan perdebatan positif.
Dalam suatu proses pernikahan beda agama contohnya, untuk menghindari perdebatan orang Bali akan lebih cenderung mengatakan bahwa Tuhan yang dipuja dan tujuan agama lain tersebut sebenarnya sama, hanya saja cara sembahyang mereka saja yang berbeda. Dengan dasar pemikiran ini akhirnya tidak urung menyebabkan banyak orang-orang Hindu yang pindah keyakinan. Namun sangat ironis disaat toleransi ke luar dengan prinsip ke-“samaisme”-an ini begitu diagung-agungkan beberapa oknum dari mereka malahan sangat suka mengobok-obok keanekaragaman yang ada pada Hindu itu sendiri. Berbagai sentimen negatif dan tuduhan tidak beralasan sering kali dilayangkan kepada berbagai sampradaya dan garis-garis perguruan yang nampak bertolak belakang dengan Hindu mainframe yang ada di Indonesia. Sering kali tidak ada dialog, diskusi, debat atau paling tidak anggapan bahwa Tuhan yang dipuja oleh corak Hindu yang berbeda itu adalah Tuhan yang sama tetapi dengan cara yang berbeda sebagaimana toleransi yang mereka kembangkan ke masyarakat di luar Hindu. Seringkali mereka memberikan vonis tidak pantas terhadap warga yang dianggap “menyimpang” ini. Banyak kasus mereka yang menjalankan ritual diluar Hindu mainframe dijadikan warga kedua dan bahkan diasingkan dari desa adatnya. Mereka harus hidup dalam berbagai intimidasi dan tuduhan-tuduhan negatif yang sangat jarang dipecahkan dengan proses diskusi dan perdebatan positif.
Kalaupun dewasa ini terjadi proses diskusi dan debat masalah keyakinan, seringkali forum debat itu hanya dijadikan ajang pamer kepintaran dan egoisme. Jarang yang bisa menjadikan debat sebagai media pencari kebenaran. Seringkali debat hanya menjadi media pembenaran yang belum tentu kebenarannya. Setiap orang berusaha berargumen, berlogika, dan mengungkapkan bukti yang selalu subyektif tanpa mau menghiraukan objektivitasnya. Sehingga tidak hayal jika perdebatan yang dilakukan pada akhirnya hanya merupakan debat kusir yang bukannya memecahkan masalah dan menemukan kebenaran yang dicari, tetapi menjadi sumber masalah baru yang seringkali menjadi lebih besar dari masalah aslinya.
Pada dasarnya ajaran Veda sangat mengagung-agungkan perdebatan dan logika. Dengan perdebatan pengikut-pengikut Veda diajarkan berpikir kritis dan menghindari sikap dogmatis. Dengan perdebatan ajaran Veda bisa diturunkan dan dilestarikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dan dengan perdebatan juga, ajaran Veda bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Karena itulah satu dari enam dasar filsafat Hindu (Sad Darsana) dilandasi oleh ilmu logika dan metodologi debat. Kata Darsana/dharsanam berasal dari urat kata drs yang berarti melihat atau memandang. Dalam hubungan ini dharsanam berarti pandangan tentang kebenaran. (Sumawa, 1993 : 4). Kitab Nyaya Darsana atau juga dikenal dengan sebutan Tarka Veda yang ditulis oleh Rsi Gautama dalam satu dari enam kitab Darsana yang khusus membahas masalah logika dan perdebatan. Nyaya sendiri mengandung arti ilmu tentang logika dan kedayagunaan, sedangkan Tarka Veda berarti pengetahuan diskusi atau perdebatan. Dalam kitab ini diajarkan empat jalan dalam mencari kebenaran, yaitu Pratyaksa pramana (observasi langsung), Anumana pramana (ilmu penyimpulan), Upamana Pramana (ilmu perbandingan) dan Sabda pramana (kesaksian).
Dalam memahami pengetahuan Vidya (spiritual) dan Avidya (material), seorang penganut Veda pada dasarnya harus berani berargumen dan tidak menghindari perdebatan. Hanya saja tentunya perdebatan disini haruslah didasarkan pada empat pondasi sebagaimana disampaikan dalam kitab Nyaya Darsana. Seperti contohnya jika seorang penganut Veda memperdebatkan suatu filsafat ketuhanan, maka sudah seharusnya peserta debat berargumen dan mengungkapkan bukti-bukti argumennya dengan memperhatikan obeservasi/pengamatan langsung yang dia lakukan terhadap pengalaman mistik pribadi dan pernyataan-pernyataan otoritas (dalam hal ini sloka-sloka kitab suci Veda). Dia juga harus memperhatikan kesaksian-kesaksian yang disampaikan oleh mereka yang bisa dipercaya yang memang dianggap sudah mengetahui dan mencapai kebenaran itu. Dengan mengacuhkan apa yang disampaikan lawan debat, dia harus mampu melakukan perbandingan, melogikakannya dan akhirnya menyimpulakan semua itu secara objektif. Menurut Nyaya Darsana, seseorang peserta debat juga harus menyadari bahwa perdebatan yang dia lakukan adalah untuk meperoleh kebenaran, bukan pembenaran atas argumennya.
Salah satu tokoh kerohanian Veda yang dapat dijadikan contoh penerapan ideal prihal perdebatan ini adalah Adi Sankaracharya. Adi Sankaracharya dikenal sebagai salah seorang acarya atau guru spiritual besar di seluruh India, karena jasanya merestorasi ajaran-ajaran Veda setelah terdesak oleh perkembangan ajaran Buddha di India. Dengan melakukan perjalanan keliling India dan berdebat dengan berbagai pemimpin sampradaya, garis perguruan dan sekte yang lain, beliau membubarkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang dari ajaran Veda, dan menegakkan kembali prinsip-prinsip ajaran Upanisad. Selama masa hidupnya yang sangat singkat, yaitu hanya selama 32 tahun, apa yang telah dicapai dan dihasilkan oleh Adi Sankaracharya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Sankaracharya berdebat dengan para ahli filsafat Buddha, Sankhya, serta pengikut filsafat Purva Mimamsa, dan membuktikan dirinya mampu memenangkan seluruh perdebatan tersebut. Sankaracharya kemudian ingin berjumpa dengan Kumarila Bhatta, pendukung terkemuka filsafat Purva Mimamsa pada jaman itu. Namun Kumarila Bhatta sedang terbaring menanti ajalnya, lalu mengarahkan Sankara kepada Visvarupa, muridnya yang paling mumpuni. Visvarupa dikenal pula sebagai Mandana Misra, tinggal di kota Mahismathipura, di wilayah kerajaan Maghada.
Perdebatan antara Sankaracharya dengan Visvarupa berlangsung secara unik. Yang bertindak sebagai hakim dalam perdebatan itu adalah istri Visvarupa sendiri yang bernama Bhagirati. Bhagirati adalah seorang wanita yang sangat terpelajar. Taruhan dalam perdebatan filosofis itu memiliki konsekuensi seumur hidup bagi mereka masing-masing. Persetujuan mereka sebagai taruhan adalah sebagai berikut. Bila Visvarupa menang dalam perdebatan, maka Sankaracharya harus meninggalkan kehidupannya sebagai seorang sannyasa, dan harus menikah dan hidup sebagai orang yang berumah tangga. Sebaliknya, bila Sankaracharya menang, maka Visvarupa harus meninggalkan kehidupan rumah tangganya, dan harus menjadi seorang sannyasa dan menjadi murid Sankaracharya.
Perdebatan besar itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dalam perdebatan itu, akhirnya Visvarupa harus mengakui kehebatan Sankaracharya. Ia kemudian menjadi murid Sankaracharya, dan menempuh kehidupan baru sebagai seorang sannyasa. Visvarupa menerima nama sannyasa Sureshvara Swami, dan meninggalkan seluruh kekayaan dan kenyamanan hidup yang dimilikinya. Selanjutnya ia mengikuti kemanapun guru barunya itu pergi mengembara, dan menimba pengetahuan rohaninya. Sikap-sikap mulia seperti Visvarupa dan Sankaracharya inilah yang harusnya menjadi tauladan bagi segenap umat Hindu di dunia.
Dalam tradisi pendidikan tradisional Hindu, Gurukula yang masih eksis sampai saat ini dapat kita jumpai betapa pentingnya pelajaran debat dan berlogika sebagaimana tertuang dalam Tarka Veda. Hal ini dapat kita lihat dari kurikulum pendidikan yang diterapkannya. Sebagai pondasi awal, para Brahmacari (murid-murid gurukula) harus memiliki nilai-nilai moralitas dan disiplin yang sangat ketat. Mereka harus memegang prinsip hidup sederhana yang harus dijalani selama seseorang berada dalam tahap hidup sebagai brahmacari atau masa menuntut ilmu. Pendidikan dalam Gurukula biasanya dihabiskan dalam waktu antara 10-12 tahun. Empat tahun pertama pendidikan hanya akan dihabiskan untuk menghafal dan belajar melantunkan sloka-sloka Veda tanpa mereka harus memahami makna dan penafsirannya. Setelah empat tahun pertama, barulah mereka diarahkan memilih salah satu spesialisasi ajaran Veda yang mereka minati dan mulai diajarkan pemaknaan dan penafsiran dengan metode logika dan berdebat.
Kegiatan belajar-mengajar dalam Gurukula dilakukan di dalam ruang kelas yang tanpa dilengkapi kursi dan meja. Guru dan brahmacari sama-sama duduk dilantai beralaskan alas duduk masing-masing. Alas duduk untuk guru lebih tinggi sedikit dibandingkan alas duduk para brahmacari. Brahmacari duduk mengelilingi guru dalam formasi setengah lingkaran, dimana guru berada di tengah-tengah lingkaran itu. Metode mempelajari kerohanian seperti ini dalam etimologi Veda dikenal sebagai upanisad, yang berarti duduk di dekat kaki guru untuk mendengarkan pelajaran rohani (Achyutan, 1978).
Kepada setiap brahmacari dibagikan buku-buku pelajaran atau kitab-kitab yang akan mereka pelajari sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan pada masing-masing tahun ajaran. Saat belajar di ruang kelas, setiap brahmacari memegang dan menyimak kitab yang dipelajari tersebut. Seorang guru memberikan contoh cara melafalkan secara benar setiap sloka dengan cara membacanya baris demi baris sebanyak 3 kali. Para brahmacari menyimak dan memperhatikan pelafalan itu dengan bersungguh-sungguh, kemudian menirukan ucapan guru itu baris demi baris pula. Guru akan mengulang pelafalan itu beberapa kali jika dibutuhkan, yaitu bila dirasa para siswa belum melafalkannya secara benar.
Para guru mengajarkan dasar-dasar bahasa Sanskerta yang mencakup kurang lebih 20 varga (ayat) pada pelajaran pagi hari. Dalam pelajaran sore harinya, para brahmacari akan melatih menghafalkan apa yang telah mereka pelajari pada pagi itu. Hari berikutnya, guru melanjutkan varga nomor 21 dan prosedur yang sama dilakukakan secara berulang-ulang setiap hari hingga keseluruhan kitab selesai dipelajari.
Untuk mengetahui sejauhmana tingkat penguasaan materi, kegiatan evaluasi atau ujian bagi para brahmacari dilakukan setiap akhir tahun pelajaran. Ujian dilakukan dengan cara seorang penguji akan mulai dengan menyebut akar kata sebuah varga (ayat) tertentu dan brahmacari harus melengkapi ayat tersebut yang umumnya terdiri dari dua puluh baris atau lebih. Brahmacari yang tidak mencapai tingkat penguasaan tertentu yang telah ditetapkan, tidak diijinkan untuk melanjutkan pendidikannya lagi dan dikembalikan kepada orang tuanya.
Setelah melampaui tahap empat tahun pertama tersebut, brahmacari diberi kebebasan untuk memilih bidang spesialisasi yang akan ditekuninya lebih lanjut sesuai dengan minat mereka masing-masing. Pada tahap ini, metode belajar yang digunakan bukan lagi menghafalkan dan melafalkan. Brahmacari mulai diajarkan tentang makna dan penafsiran ayat-ayat Veda yang mereka pelajari. Mereka membentuk kelompok-kelompok diskusi sesama brahmacari, melakukan debat dalam bahasa Sanskerta, belajar memberikan ceramah agama dalam bahasa Sanskerta, dan sebagainya.
Untuk memperdalam penguasaan bahasa Sanskerta dan argumentasi, mereka juga menyelenggarakan vagmi sabha. Vagmi sabha adalah pertemuan yang diiikuti oleh siswa-siswa senior, dilakukan dua kali setiap bulan. Dalam pertemuan ini, siswa dilatih untuk berbicara, mengemukakan pendapat dan berdebat dalam bahasa Sanskerta. Dengan sistem pembelajaran seperti ini, tidaklah mengherankan jika para lulusan Gurukula memiliki skill yang tinggi akan penguasaan kitab suci dan kemampuan berdebat yang sangat jauh berbeda dengan mereka yang hanya menganut Hindu secara tradisi.
Di Nusantara, sistem gurukula dan pembelajaran debat serta berlogika ini padam salah satunya mungkin disebabkan oleh arah pengembangan ajaran Hindu. Menurut kajian sejarah, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa terdapat sistem pendidikan tradisional Hindu dalam bentuk mandala, patapan, kadewaguruan, karesyan dan padepokan yang pada prinsipnya memiliki banyak persamaan dengan sistem pendidikan tradisional Hindu model ashram dan gurukula yang merupakan bentuk khas pendidikan Hindu di India. Namun seiring dengan perjalanan sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia, sistem-sistem pendidikan tradisional yang mengajarkan Nyaya tersebut tidak dapat dijumpai saat ini. Hal ini terjadi karena terputusnya sistem parampara atau garis perguruan rohani sekte-sekte Hindu yang ada di Indonesia dari garis perguruan asalnya di India, sebagai akibat upaya penyatuan ajaran sekte-sekte itu oleh Mpu Kuturan yang berlangsung pada sekitar abad ke-10 di Bali. Mpu Kuturan memperkenalkan sistem sosial religius baru yang disebut Tri Kahyangan dan desa pakraman yang merupakan bentuk kompromi dari ajaran sekte-sekte tersebut. Disamping itu pada abad ke-15 Masehi Dang Hyang Nirartha memperkenalkan sistem wangsa atau sistem kasta yang membagi masyarakat Hindu di Bali menjadi golongan-golongan tertentu berdasarkan kelahiran dan keturunannya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuasaan kerajaan yang bersifat feodal, dan sebagai upaya untuk mempertahankan ajaran agama Hindu di Bali. Dalam sistem wangsa itu, keluarga dan keturunan Dang Hyang Nirartha menempati posisi sebagai golongan brahmana, keluarga dan keturunan raja menjadi ksatria, dan masyarakat Bali asli diposisikan sebagai sudra, bahkan sebagian diantaranya dianggap out of caste. Keadaan tersebut masih terwarisi hingga saat ini. Penyimpangan terhadap sistem catur warna menurut Veda ini yang berlangsung berabad-abad dan masih terwarisi hingga saat ini tersebut berakibat pada tidak berlangsungnya sistem tatanan sosial religius Hindu yang semestinya menjadi dasar utama penyelenggaraan pendidikan tradisional Hindu sebagaimana lazimnya dalam kebudayaan Veda. Ketiadaan seorang acarya, guru spiritual, brahmana yang berkualifikasi, dan tidak adanya sanyasin yang menjadi guru dan pemimpin spiritual dalam garis perguruan yang dibenarkan menurut Veda, dan terus berlangsungnya pertikaian dalam masyarakat akibat sistem wangsa/kasta ini, secara nyata menjadi faktor pendukung tidak berlanjutnya sistem pendidikan tradisional Hindu yang dahulu pernah berkembang di Indonesia.
Sistem pembelajaran model ashram yang dewasa ini mulai berkembang kembali di Indonesia sebagai hasil reinteraksi dengan pendidikan agama Hindu di India, ternyata menghadapi berbagai hambatan dan benturan dengan tradisi Hindu yang ada di Indonesia. Hambatan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam penekanan pelaksanaan aspek keagamaan. Tradisi dan budaya keagamaan Hindu di Indonesia, khususnya di Bali lebih menekankan pelaksanaan aspek ritual yang lebih banyak dipengaruhi oleh adat dan tradisi lokal, dengan lebih banyak berdasarkan kitab-kitab lontar dan babad yang isi ajarannya terkadang sangat bertolak belakang dengan ajaran Veda. Misalnya, dalam tradisi upacara-upacara keagamaan dilakukan kegiatan sabung ayam (tabuh rah) dan judi (meceki), yang dilaksanakan dalam lingkungan tempat suci, dengan dalih pembenaran dari kitab suci. Upacara-upacara keagamaan dijadikan sebagai ajang untuk menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat, yang sering berakibat pada terjadinya proses pemiskinan. Sementara itu pendidikan dalam ashram-ashram lebih menekankan pada praktek keagamaan yang dilandasi aspek spiritual dan filosofi sesuai ajaran-ajaran Veda. Pendidikan ashram mengajarkan nilai-nilai Ketuhanan yang dilandasi dengan ketulusan hati dan disertai proses-proses penyucian diri yang mengarah pada upaya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jadi dari uraian panjang lebar di atas, demi untuk kedewasaan spiritual dan perkembangan umat Hindu dalam menguasai kitab sucinya, marilah kita mulai menghidupkan salah satu cabang Darsana yang sangat penting ini. Jangan takut berdiskusi dan berdebat, tetapi lakukanlah perdebatan dengan berdasarkan aturan Nyaya Darsana yang benar.
___________________________________________________________________
Bibliografi:
- Putra, Ida Bagus Cahyadi. Agustus 2010. Tarka Veda: Debat Sehat Cara Hindu. Majalah Raditya edisi 157 #64: Denpasar.
- Suryanto, M.Pd. 2004. Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula di India. Thesis pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment