Filsafat Mahabharata. Salah satu tingkatan dalam sistem Catur Asrama Dharma adalah Grahasta, atau masa berumah tangga. Seorang penganut Veda tidak diwajibkan untuk melalui tingkatan ini, tetapi dia bisa langsung meloncatinya dari masa Brahmacari (masa menuntut ilmu) ke masa Vanaprasta. Dikatakan bahwa orang yang tekun dalam kerohanian dan tetap membujang seumur hidupnya sudah pasti akan mencapai mukti (alam rohani). Hanya saja cengkraman maya pada jaman Kali Yuga ini sangatlah kuat sehingga Guru Kerohanian dari Parampara Gaudya Vaisnava mengatakan bahwa jauh lebih aman mengikuti Catur Asrama secara normal, yaitu dengan melewati masa Grahasta.
Tujuan tingkatan hidup Grahasta adalah untuk menghasilkan anak yang suputra (yang memiliki kesadaran akan Tuhan dan berjalan dalam pondasi Dharma) dan bahu membahu bersama pasangan dalam melaksanakan berbagai yajna (korban suci) sehingga kedua-duanya berangsur-angsur akan terangkat ke dalam tataran kerohanian yang lebih tinggi. Orang yang menapak kehidupan Grahasta yang benar-benar berlandaskan pada Dharma akan selalu berpijak pada dua tujuan ini, sehingga mereka tidaklah memilih pasangan hanya karena harta, kedudukan material ataupun hanya berdasarkan fisik semata. Seseorang yang memiliki watak Brahmana, haruslah juga memilih pasangan yang memiliki watak Brahmana. Seorang berwatak Ksatria harus memilih pasangan berwatak Ksatria, dan demikian juga dengan mereka yang berwatak Vaisya dan Sudra. Dengan adanya kesamaan karakter ini diharapkan keluarga tersebut akan memiliki visi dan misi yang sama sehingga tujuan hidup berumah tangga akan terwujud. Dengan demikian Veda sebenarnya tidak membenarkan pernikahan beda keyakinan (baca : tataran spiritual), apa lagi jika sang istri tidak memiliki sikap pengabdian secara rohani kepada suami.
Pada dasarnya Veda tidak mewajibkan seorang wanita untuk masuk dalam tataran Varnasrama Dharma (Catur Varna), tetapi dia harus memilih seorang laki-laki yang berjalan pada tataran Dharma dan sesuai dengan karakter (guna dan karma)-nya. Selanjutnya, sang istri harus mengabdikan diri kepada suaminya tersebut dengan sepenuh hati. Karena itu dikatakan, “Vicemaha vaivahiko viddhih strinam, bagi seorang wanita, pernikahan (vivaha) itu sama dengan diksa, inisiasi” (Manu Smrti 2.67). Seorang istri, sang wanita harus melayani suaminya dengan sebaik-baiknya agar sang suami maju secara rohani, “Patiseva gurau vasah, melayani suami dengan tulus di rumah sama dengan tinggal di Gurukula”(Manu Smrti 2.67). Sang wanita juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan senang hati, “Grhartho’ gnir parikriya, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan senang hati sama dengan melaksanakan agnihotra yajna setiap hari” (Manu Smrti 2.67). “Nityam tad vrata dharanam, secara rutin menuruti aturan hidup sang suami, atau hidup sesuai dengan kehidupan suami” (Bhagavad Gita. 7.11.25). Misalnya, jika sang suami seorang Brahmana, maka si istri harus hidup sesuai aturan hidup seorang Brahamana. Dengan hidup menuruti aturan Veda dan setia kepada suami, sang wanita menjadi istri saleh. Sebab dikatakan, “Suddha nari pativrata, istri yang selalu setia kepada suami (dalam kesenangan maupun kesusahan) adalah wanita saleh” (CN.8.18).
Seorang istri saleh yang mendapatkan suami yang berpegang teguh pada Dharma, sebagaimana yang dijabarkan dalam Bhagavata Purana 11.17.21 (tidak melakukan tindak kekerasan, [ahimsa], berpegang teguh pada kejujuran [satyam], tidak mencuri dan korupsi [asteyam], selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain [bhuta priya hitehaca], dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan [akama krodha lobhasa] dan dengan melakukan kewajibannya sesuai dengan Varna yang diikutinya, sudah pasti memiliki kualifikasi dalam pencapaian Catur Purusa Artha (Dharma, Artha, Kama dan Moksa/Mukti). Mendapatkan pasangan ideal seperti ini juga merupakan landasan utama untuk memenuhi kewajiban dalam menghasilkan anak yang suputra.
Proses menghasilkan keturunan dalam Veda disebut Gharbhadana. Tentunya pasangan yang ingin menghasilkan keturunan secara alami harus melakukan hubungan badan. Veda memberikan aturan yang sangat ketat dalam proses hubungan badan ini. Penganut Veda yang strict hanya akan melakukan hubungan badan dengan pasangannya saat hendak menghasilkan keturunan. Apakah berdosa melakukan hubungan badan dan menikmatinya, toh juga itu adalah hal yang alami dalam kehidupan rumah tangga? Veda tidak menyalahkan hal tersebut dan tidak pula tercela (baca juga Bhagavad Gita 7.11), hanya saja Veda mengingatkan bahwa kesenangan seperti itu hanya akan memperkuat keterikatan seseorang akan dunia material ini dan hal itu sudah barang tentu akan menghambat kemajuan spiritualnya. Sekarang penganut Veda harus memilih, apakah dia ingin menikmati kesenangan itu secara berlebih dan menjatuhkan kesadaran spiritualnya ataukah mencoba mengekangnya demi kemajuan spiritual?
Bhagavata Purana 3.26.57 juga mengingatkan bahwa jika seorang laki-laki mengeluarkan air mani-nya terlalu sering, maka pada dasarnya dia membuang energi yang sangat besar dan hal tersebut dapat menurunkan kemampuan fisik dan mentalnya. Filsuf Yunani, Plato dan Phytagoras percaya jika air mani erat hubungannya dengan urat saraf tulang belakang dan kekurangan hal itu mengurangi daya tahan tubuhnya. Phytagoras mengetahui ada suatu hubungan antara cairan air mani dan otak, yang nantinya menjadi nutrisi. Meskipun pengetahuan modern saat ini belum menjelaskan apa hubungan cairan mani dengan otak secara langsung, namun sudah terbukti bahwa cairan mani juga memiliki komposisi yang kurang lebih sama dengan otak, yaitu terdiri dari kalsium, albumin, lesitin, fosfor, dan nukleo protein yang sebenarnya sangat diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itulah para yogi berusaha untuk mengendalikan air maninya dan tidak mengeluarkannya, tetapi memusatkan dan mengalirkan energi dari air mani ke atas melalui tulang punggung untuk membangkitkan cakra-cakra spiritualnya dan meningkatkan vitalitas badannya. Bhagavata Purana 3.12.4 menyebut mereka yang mampu mengendalikan air maninya seperti itu sebagai urdhva-retasah.
Untuk menghindari keterikatan dan efek negatif seperti ini dan juga untuk menghasilkan anak-anak yang benar-benar sadar akan Tuhan, Veda menggariskan aturan-aturan khusus dalam proses mencetak seorang anak. Dikatakan bahwa proses yang tepat untuk mencetak anak adalah pada setiap masa subur, yaitu pertengahan dari siklus haid sang istri. Jika istri memiliki siklus haid 28 hari, maka sekitar hari ke-14 setelah haid adalah masa yang sangat tepat. Hanya saja harus dihindari priode waktu yang bertepatan dengan;
- Malam kesebelas (ekadasi) dan ketigabelas (trayodasi) pada setiap bulannya.
- Hari-hari puasa (vrata), bulan penuh (purnima) dan bulan baru (amavasya).
- Selama tithi astami dan tithi caturdasi (tithi kedelapan belas dan keempat belas setiap bulannya).
- Ketika salah satu atau kedua suami istri dalam kondisi sakit.
- Ketika istri sudah dalam kondisi hamil.
- 96 jam pertama setelah haid.
- Pada saat sandya (sandikala/magrib).
Sel sperma dapat hidup dalam rahim wanita selama 5 hari, oleh karena itu hubungan badan bisa dilakukan antara hari kelima sebelum ovulasi (pertengahan masa haid) dan pada saat ovoluasi. Hal ini juga dibenarkan oleh kitab Manu Samhita.
Mengacu kepada Bhagavata Purana 3.14.23 yang mengisahkan kehamilan Dhiti, hubungan badan yang paling ideal dapat dilakukan 3 jam setelah matahari tenggelam atau 3 jam sebelum matahari terbit dan hindari waktu-waktu saat tengah malam. Karena dikatakan waktu-waktu yang tidak tepat seperti sandya dan tengah malam adalah waktu dimana mahluk-mahluk dan roh-roh jahat sedang berkeliaran dan saling berebut untuk mendapatkan kesempatan terlahir kembali. Veda menegaskan bahwa proses masuknya atman (jiva) kedalam kandungan terjadi pada saat pembuahan sel telur oleh sperma, sehingga jika terjadi pada saat yang tidak tepat seperti ini dikhawatirkan yang akan menjelma adalah jiva-jiva yang berasal dari mahluk-mahluk yang bertabiat jahat.
Disamping faktor waktu, faktor lokasi berhubungan badan juga sangatlah menentukan, sehingga dianjurkan untuk melakukan hubungan badan di tempat yang bersih, menyenangkan dan nyaman di rumah. Hubungan badan sama sekali tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti tempat ziarah suci (tirthas), pura, kuil atau Mandir. Juga tidak dibenarkan melakukan hubungan badan di tempat-tempat angker, seperti tempat pembakaran mayat/kuburan, ashrama seorang guru, di rumah seorang Vaisnava, dibawah pohon suci seperti beringin, mangga, nim, bodi dan lain-lainnya, di Gosala (kandang sapi), di hutan dan juga di dalam air.
Faktor psikologis pasangan suami istri juga sangat memegang peranan penting dalam menghasilkan anak yang diidam-idamkan. Suami istri harus diliputi oleh rasa cinta kasih, rasa tentram dan damai dan penuh dengan kesadaran akan Tuhan dalam proses pencetakan ini. Oleh karena itulah Srila Prabhupada menganjurkan murid-murid beliau untuk berjapa paling tidak 50 putaran sebelum mencetak anak, sehingga diharapkan anak yang akan terbentuk adalah anak yang benar-benar sadar akan Tuhan.
Ayur-veda menegaskan bahwa kondisi fisik suami istri sebelum melakukan mencetak anak harus dalam kondisi yang sehat dan dosas mereka harus dalam keadaan yang sempurna. Caraka, seorang dokter Ayur-veda yang terkenal menjelaskan bahwa pasangan sebaiknya memakai garland (kalungan bunga) dan pakaian berwarna putih. Menurutnya, seorang wanita tidak boleh mengambil posisi berlutut atau dengan cara miring pada waktu berhubungan. Pada keadaan yang pertama, Vayu akan mempengaruhi organ kelaminnya sementara jika dia berbaring ke kanan, Kapha akan mempengaruhi kandungannya. Jika dia berbaring ke kiri, Pitta akan membakar ovum maupun air mani. Oleh karena itu seorang wanita harus berbaring (menghadap ke atas). lni akan membiarkan dosas untuk tetap dalam posisinya yang normal. Jika dia merasa lapar, haus, sedih, marah atau dia menginginkan laki-Iaki lain, lebih baik untuk menunda proses pembuahan (garbhadana-samskara) ini. Caraka juga menyebutkan kebiasaan orang-orang jaman dulu, suami harus naik ke tempat tidur, pertama dengan lengan kirinya dan istri dengan lengan kanannya: mereka kemudian harus mengucapkan mantra yang dimulai denga“ahir asi … ” dan “brahma … “, dan lain-lain sebelum melakukan hubungan badan. (Caraka Samhita, sarira-sthanam 8,4-8).
Pada pagi hari, istri harus makan makanan ringan tanpa biji-bijian dan malam harinya, minum susu dicampur madu dan saffron. Sang istri tidak boleh merasa lapar atau makan terlalu banyak. Demikian juga dengan suami, dia harus makan makanan yang bergizi dengan ghee dan manisan. Pasangan suami istri harus tanpa perasaan yang gelisah dan penuh kasih sayang; keduanya juga sebaiknya memakai parfum. Orang-orang jaman dulu menyarankan kalau istri harus memijat kaki suaminya sebelum berhubungan.
Agar pembuahannya bisa berhasil, menurut tradisi suami sebaiknya bernapas melalui lubang hidung kanan dan istri melalui lubang hidung kiri pada waktu melakukan hubungan seksual. Tentunya proses ini harus dibiasakan dengan latihan pranayama. Sang istri juga dianjurkan untuk tetap berbaring selama setidaknya 30 menit sampai 1 jam setelah melakukan hubungan badan agar pembuahan berlangsung dengan baik.
Baik Garbhopanisad maupun Ayur-veda menjelaskan bahwa kelebihan air mani dari sang ayah akan menghasilkan anak laki-laki, tetapi kelebihan cairan dari sang ibu akan menghasilkan anak perempuan. Dikatakan pula bahwa tanggal genap adalah hari yang baik untuk memperoleh anak laki-laki sedangkan tanggal ganjil baik untuk memperoleh anak perempuan.
Lebih lanjut Bhagavata Purana juga menjelaskan dengan cukup detail proses perkembangan janin di dalam kandungan, yaitu sebagai berikut;
“Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Di bawah pengawasan Tuhan dan sesuai dengan hasil kegiatannya, makhluk hidup, atau sang roh, dimasukkan ke dalam rahim seorang wanita melalui air mani laki-laki untuk menerima jenis badan tertentu” … Bukanlah air mani laki-laki yang menciptakan kehidupan di dalam rahim seorang wanita. Melainkan makhluk hidup, sang roh berlindung di dalam partikel air mani dan kemudian didorong masuk ke dalam rahim seorang wanita. Kemudian badan berkembang.” (Bhagavata Purana 3.31.1)
“Pada Malam pertama, sperma dan ovum bergabung, dan pada Malam kelima gabungan itu berkembang menjadi sebuah gelembung. Pada malam kesepuluh gelembung itu berkembang menjadi sebuah wujud seperti buah plum, dan setelah itu, berangsur-angsur berubah menjadi segumpal daging atau sebutir telur, sesuai keadaan.” (Bhagavata Purana 3.31.2)
“Dalam waktu satu bulan, terbentuk kepala, dan pada akhir bulan kedua tangan, kaki dan bagian-bagian badan lainnya terbentuk. Pada akhir bulan ketiga, kuku, jari tangan, jari kaki, rambut di badan, tulang dan kulit muncul, demikian pula organ untuk berketurunan dan lubang-lubang lain di badan, yakni mata, lubang hidung, telinga, mulut dan dubur.” (Bhagavata Purana 3.31.3).
“Dalam waktu empat bulan dari hari pembuahan, muncul tujuh unsur penting badan yakni empedu, darah, daging, lemak, tulang, sumsum dan air mani. Pada akhir bulan kelima, lapar dan haus menjadi terasa, dan pada akhir bulan keenam, janin tersebut dibungkus oleh air ketuban, mulai bergerak: menuju sisi kanan perut.” (Bhagavata Purana 3.31.4)
“Ketika badan seorang anak terbentuk secara lengkap pada akhir bulan keenam, sang anak, jika ia laki-laki mulai bergerak menuju sisi kanan, dan jika perempuan, ia berusaha bergerak ke kiri.” (penjelasan Bhagavata Purana 3.31.4)
Kondisi mental sang ibu selama mengandung juga sangat berperan penting dalam menentukan watak dan karakter anak yang dikandungnya. Karena itulah peran suami dan anggota keluarga yang lain dalam menjaga keharmonisan rumah tangga sangat diperlukan. Sang ibu juga harus lebih sering membaca kitab suci dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
No comments:
Post a Comment