Horizontal Page

Tombak Trisula, Pusaka Jagat Raya

Majapahit. Tombak Trisula ini sebenarnya merupakan perpaduan antara Senjata Bhatara Siwa (Bhatara Guru) dan Pasangannya (Durga), bentuknya biasa saja, polos tidak berukir. Berwarna kecoklat-coklatan. Tidak berpamor, karena sudah terlalu tua usianya, Meskipun demikian Tombak Trisula ini memiliki kelebihan, dipercaya sebagai Pusaka Jagat Raya.

Munculnya Senjata Andalan Kerajaan Singosari ini, bukanlah dibuat oleh orang sakti seperti misalnya Empu Gandring atau Empu Supa, akan tetapi diyakini dibuat oleh Hyang Agung (Dewa) pada jaman Ken Dedes, Istri dari Ken Arok, oleh karena itulah, Tombak Trisula ini dianggap sangat istimewa, Oleh Ahli Pusaka dipercaya sebagai Senjata Bhatara Syiwa. Paling Ampuh diantara tombak-tombak yang ada di Indonesia.

Tombak ini bukan digunakan untuk berperang, akan tetapi “hanya Piyandel (Pusaka) Kerajaan dan Jagat Raya”, ujar Hyang Suryo (Yang ber-Abiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI) pemilik tombak ampuh dari kerajaan-kerajaan zaman dahulu, karena “Kemapuhan” itulah Raja Kertanegara yang berasal dari Kerajaan Singosari menjadikan Tombak Trisula ini sebagai Piyandel Kerajaan, Hasilnya memang nyata, Dirinya menjadi Raja yang disegani di kawasan Asia Tenggara. Namun setelah senjata itu hilang dari Kerajaan, Kertanegara dapat ditaklukkan oleh Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kediri.

Keberadaan Tombak Trisula ini disakralkan dan tidak boleh dikirap pada tiap-tiap ada upacara. Akan tetapi hanya ditaruh di Pelinggihan Utama sebagai Simbol Bhatara Siwa pada Upacara keagamaan. Tombak Trisula ini memang tidak pernah dibawa keluar untuk upacara-upacara, hanya diberi sesaji oleh Pemangku Utama dan cara memegang tombak inipun harus dengan sangat hati-hati, kemudian Tombak Trisula ini diletakkan di “Pelinggihan Padma Siwa” ujar Hyang Suryo [Brahmaraja XI] kepada majalah POSMO.

Tidak sembarang orang yang bisa memegang Tombak Trisula tersebut, biasanya yang memegang Tombak Trisula ini akan kesurupan (Bali - Kerauhan) padahal pada mulanya orang itu sadar pada saat akan memegang, akan tetapi dalam waktu beberapa menit orang tersebut akan berbicara sendiri, sepertinya yang terdengar adalah suara makhluk halus. Hal seperti ini tidak akan berlaku/ terkena bagi Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari dan Pemangku Utama. Maka dari itu Pemangku biasa tidak akan berani memegang Tombak Trisula ini. Namun demikian ada pula yang berani (nekad), namun akibatnya keadaannya “NGGEBLAK” (jatuh terlentang) di tanah. Hal ini pernah dialami oleh Mangku Bima Wananda, karena tidak kuat.

Lalu siapa saja yang bisa memegang? Ternyata hanya Pendeta Tingkat Tinggi saja yang mampu melakukannya. Yang perlu diingat bahwa Tombak Trisula dicuci hanya dengan diperciki Air dan digosok dengan daun kelapa muda yang diwujudkan sapu, bukan di celupkan kedalam air kembang setaman sebagaimana tombak milik Rakuti atau tokoh lainnya pada bulan Sura (Pusaka Pura Majapahit yang nyuci Empu Sudarmadji Kakak Gubernur Jatim Basofi Sudirman waktu itu, dan disaksikan oleh wartawan) Setelah dicuci kemudian ditaruh di tempat khusus dengan dibungkus kain. Tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain, “Sekarang ini berada di Pura Mojopahit Pusat. Posisinya sebagai Pusaka Pelindung Pura” ujar Hyang Suryo / Sri Wilatikta Brahmaraja XI. (Husnu Mufid Wartawan khusus Ahli Pusaka, dibantu Para Pakar Pusaka). Ditulis kembali oleh Gusti Heker mengingat Hari Durga dan senjata ini sebagai Atribut Pratima Bhatara/Bhatari Siwa yang Pratima-nya Masih berada di Universitas Mahendradatta untuk di Upacarai, dimana Mahendradatta dimanivestasikan sebagai Durga mengendarai Mahisa/sapi bertangan banyak yang salah satu tangannya memegang Trisula. Yang diartikan oleh ahli dari India yaitu Bpk. Reshi Rames Sarty Durga Mahisa Nandini. Beliau Sering Tangkil di Garuda Wisnu Kencana, Puri Gading dan ikut Upacara Kirap. Putra Beliau menyebut Hyang Suryo Brahmaraja XI “God” yang langsung dimarahi Hyang Suryo dan dijawab: “Brahmaraja is The King, no God, Brahman is The God” dan ini di Benarkan Bapaknya, Jadi jelas Brahmaraja adalah Raja bukan Tuhan, Tuhan disebut Brahman versi India, mereka Orang India bahkan membenarkan sambil posisi sembah mengucapkan maaf atas ketidakmengertinya sang Putra.

Pada saat Kirap di Pura Jagatnata Denpasar, sebagian besar orang merasa heran, bagaimana Brahmaraja XI mengerti tentang kepercayaan masyarakat India, dan hal ini dibenarkan oleh Orang India tersebut. Semua orang tidak ada yang berani bertanya. Pada saat Kirap akan segera dimulai, secara mendadak, banyak orang yang panik dan kebingungan, mereka pada lari tunggang langgang, termasuk juga Para Wartawan, sampai-sampai ada Kamera yang terjatuh ketika Kuda Dokar yang dinaiki oleh Brahmaraja XI Kerauhan / kesurupan, kuda tersebut berjingkrak jingkrak, sedangkan Wedakarna hampir saja terjatuh terdesak oleh kuda. Brahmaraja XI akhirnya menumpangi Keris pada badan kuda, sehingga kuda tersebut menjadi tenang (kuda kerauhan dan Kirap diberitakan Radar Bali, POSMO dll).

Demikianlah Informasi ini semoga menjadi lebih mempercayai Warisan Budaya Leluhur sendiri yang Adiluhung bukan mempertanyakan, seolah Pusaka Barang Dagangan, Kalau disungsung diupacarai pasti membuat Roh yang disemayamkan Sang Empu Gembira, begitu juga Roh Sang Empu yang telah Menyatu dengan Pusaka buatannya bila kita menghargai akan memberikan Perlindungan bagi si Pemilik Pusaka dan bagi Umat yang percaya karena memberikan Sesaji, sekali lagi maaf ini kepercayaan Keluarga Besar Majapahit, Untuk yang tidak percaya jangan usil, Anda tinggal di Bumi Majapahit. Untuk Agama Suci Islam tentu tertawa karena semua dilindungi Allah yang satu, ya tertawalah, Adat Arab tidak kenal Keris, Pratima dll. Tuhan saja tidak ada, itu ketikan di TV tiap sore Asan Mahgrib “Tiada Tuhan (bahasa Indonesia) Selain Allah (bahasa Arab)” inilah suatu penghinaan yang dilegalisir masak orang-orang sampai sekarang dihina demikian diam saja, ini pelecehan Bahasa Indonesia dianggap tidak ada selain bahasa Arab. Juga Berita ini untuk menangkal tuduhan Kristen Avatara, Hyang Suryo berburu Pusaka di Bali, untuk apa? Pusakanya Banyak, Kadang Menyelamatkan, timbang di beli Touris (itupun hadiah panitia pameran yang jual keris, kadang dibelikan Bambang Pakualam) Pernah Pusakanya mau dibeli oleh orang Amerika dengan harga tinggi, Waktu itu Romo Yanto, DR. Candra, Sutris, Biku Acun agak heran kok tidak diberikan, inilah kebodohan bangsa kita yang hanya melihat uang, Pusaka itu kini di sungsung di komplek Ganesa tertinggi di Asia, dibuatkan lemari kaca dan diberi sesaji, bisa dilihat anak cucu, jadi biasa menghadapi suara miring kita kutip sabda Jesus karena Avatara KristenMaafkan Ya Bapa disurga Orang ini, karena tidak tahu apa yang dia perbuat”, jadi orang tidak tahu mulutnya JEPLAK harus dimaafkan ini perintah Yesus, kalau tahu kan tidak banyak Komentar menunjukkan ke goblokkannya. Waktu Pameran di Art Centre, Hyang Suryo tinggal di Hotel bersama Ir. Winarto, Drs, Machandi Wahyudi dll, Satpam Hotel (Orang Bali) bercerita “Saya punya keris persis seperti di pameran” Machandi bertanya “Lha Kerisnya sekarang dimana Pak?” Satpam itu menjawab “Saya jual Pak, saya sekarang menyesal, Dulu ini tanah saya, sekarang saya Satpam disini, hidup saya susah” ini contoh realita / nyata, Menjual sungsungan / Bhatara / Pratima (Menurut Ida Pedanda Made Gunung Keris adalah Pratima) ya itu tadi awalnya senang menerima uang, belakangan? ya kisah nyata. Semoga menjadi suri tauladan. Jadi silahkan saja menduga Hyang Suryo ini dan itu kan ada pepatah “Maling teriak Maling” Orang berhati busuk/iri/dengki pasti orang lain disamakan dengan dirinya, sekali lagi pepatah SD itu sangat berguna kalau diresapi, hatipun tenang melihat kegoblogan orang yang sok pinter, Lagu Kus Plus” He Ela Elo Sawo dipangan Uler, He Ela Elo Wong Bodo Ngaku Pinter” lagu ini Sanepo Nyata. Untuk menjawab Komentar adalah Tugas GRP. Nokoprawiro masak Brahmaraja berurusan dengan orang tolol macam Avatara ya Bukan Level Beliau ttd. Gusti Heker / Ahli Internet.

No comments:

Post a Comment