Murid: Apa yang dimaksud dengan jiva, Guru?
Guru: Secara umum, jiva juga disebut dengan roh, yaitu sesuatu yang menghidupi badan jasmani ini. Jiva berasal dari kata jiv yang berarti menghidupkan. Karena ada jiva dalam badan jasmani, maka badan jasmani hidup dan aktif melakukan berbagai kegiatan.
Murid: Lalu bagaimana dengan atman, Guru?
Guru: Atman adalah salah satu sebutan lain dari jiva. Selain disebut sebagai Atman, jiva juga bisa disebut sebagai brahman, purusa, kesetrajna dan isvara. Disebut atma karena ia adalah roh individual rohani abadi yang tidak terlibat secara material, tetapi keberadaannya dibuktikan berdasarkan logika dan filsafat. Dikatakan brahman, karena ia adalah roh individual nan kekal yang berhakekat spiritual dan diketahui ada berdasarkan proses keinsyafan diri. Disebut purusa, karena ia bertindak sebagai penikmat dan penderita atas kegiatan badan jasmani yang dihuninya. Dan disebut isvara karena ia mengendalikan badan jasmani.
Murid: Dibagian badan jasmani yang mana jiva itu berada?
Guru: Jiva dikatakan berada di dalam jantung. “Hrdi sarvasya visthitam, ia berada di dalam hati setiap orang (Bg. 13.18). Hrd-dese’ rjuna tisthati, ia berada di dalam hati setiap orang (Bg. 18.61). Dikatakan lebih lanjut bahwa sang jiva berada di dalam hati bersama paramatma (Tuhan) – Katha Upanisad 1.2.20, Svetasvatara Upanisad 4.7 dan Mundaka Upanisad 3.12.
Murid: Bagaimana dengan sifat-sifat dan ciri sang jiva?
Guru: Sifat dan ciri sang jiva disebutkan dalam Bhagavad Gita 2.12-30, yaitu sebagai berikut; tak termusnahkan (avinasi), abadi (avyayam), kekal (nityam), tak terhancurkan (anasinah), tak terukur secara material (aprameyam), tak terlahirkan (ajah) permanen (sasvatah), ada sejak dahulu kala (puranah), tak terlukai senjata apa pun (na cindanti çastrani), tak terbakar oleh api (na dahati pavakah), tak terbasahi oleh air (na kledayanti apah), tak terkeringkan oleh angin (na sosayati marutah), tidak bisa dipotong-potong/dipecah-pecah (acedyah), tidak bisa dibakar (adahyah), tidak larut ke dalam air (akledyah), tidak terkeringkan (asosyah), bisa berada di mana (sarva-gatah), tidak pernah berobah (sthanuh), tak tergerakkan (acalah), selamanya sama (sanatanah), tak berwujud material (avyaktah) tak terpahami secara material (acintyah), tidak pernah berubah (avikaryah) dan tak bisa dibunuh (avadyah).
Murid: Bisakah anda menjelaskan berapa ukuran sang jiva?
Guru: Dalam Svetasvatara Upanisad 5.9 dikatakan bahwa sang jiva berukuran 1/10.000 ujung rambut. Dalam Mundaka Upanisad 3.1.9 dikatakan bahwa sang jiva mengambang di dalam lima macam udara, yaitu prana, apana, vyana, samana dan udana di dalam jantung badan jasmani. Jika sang jiva tersucikan dari kotoran lima macam udara ini, maka hakekat spiritualnya terungkap.
Murid: Bagaimana hubungan antara jiva dengan badan jasmani yang dihuninya?
Guru: Dalam Bhagavad Gita dinyatakan bahwa badan jasmani adalah ibarat pakaian bagi sang jiva (Bg. 2.22). Badan jasmani juga diibaratkan sebagai kereta bagi sang jiva untuk menikmati kesenangan material dalam pengembaraannya di dunia fana (Bg. 18.61). Jadi, baju atau pun kendaraan adalah sarana bagi sang jiva dalam usahanya hidup bahagia di alam material.
Murid: Itu berarti diri sejati setiap orang adalah jiva yang spiritual abadi, bukan badan jasmani yang material dan sementara. Apakah demikian Guru?
Guru: Betul, memang demikianlah. Kesimpulannya, “Aku adalah jiva spiritual abadi dan bukan badan jasmani yang material dan sementara dengan nama si Anu” adalah pondasi keinsyafan diri. Veda berulang kali mengingatkan setiap orang pada kebenaran ini dengan ungkapan-ungkapan berikut. “Aham brahmasmi, aku adalah roh spiritual abadi (Brhad Aranyaka Upanisad 1.4.10), Tat tvam asi, anda adalah jiva rohani nan kekal (Candogya Upanisad 6.8.7). So’ham asmi, aku adalah jiva spiritual abadi (Isa Upanisad mantra 16).
Murid: Bagaimana caranya agar kita bisa paham dan sadar bahwa kita adalah jiva spiritual yang abadi, bukan badan material ini?
Guru: Sebenarnya mudah sekali. Setiap orang berkata bahwa “ini badan saya, ini telinga dan mata saya, ini kaki saya” dan seterusnya. Ini berarti bahwa “saya” adalah pemilik badan jasmani. Dan “saya” adalah sang jiva yang menghuni badan jasmani dan menyebabkan badan jasmani hidup dan melakukan kegiatan.
Murid: Lalu kenapa kita harus menginsyafi bahwa kita adalah sang jiva, bukan badan jasmani ini?
Guru: Keinsyafan akan pengetahuan bahwa kita adalah jiva abadi sejati, bukan badan material adalah kebenaran yang akan menuntun kita mencapai mukti, kelepasan dari kehidupan material dunia fana yang selalu menyengsarakan. Menurut Veda, selama seseorang tidak insyaf diri dan tidak peduli bahwa dirinya sejati adalah jiva spiritual abadi, maka dia dikatakan berada dalam kebodohan (avidya), tidak perduli bagaimanapun tingginya pendidikan material dan gelar akademik yang telah dicapainya. Kebodohan ini menyebabkan seseorang hanya sibuk memuaskan indriya jasmani sehingga terus terperangkap dalam lingkaran samsara, kelahiran dan kematian berulang-ulang di dunia material.
Murid: Bagaimana hubungan sang jiva dengan Tuhan?
Guru: Jiva yang jumlahnya tidak terhitung adalah tenaga marginal (tatastha-sakti) Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna. Disebut tenaga marginal, karena sang jiva bisa berada di alam material atau di alam spiritual. Jiva juga disebut para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi dari materi, sebab ia memiliki kemampuan memanipulasi materi (apara-prakrti) untuk kesenangannya sendiri (perhatikan Bg. 7.5)
Murid: Bagaimana kedudukan sang jiva sebagai tenaga (sakti) Tuhan, Sri Krishna?
Guru: Sang jiva selamanya berada di bawah pengendalian Tuhan. Jiva adalah para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi. Sedangkan materi adalah apara-prakrti, tenaga yang lebih rendah. Keduanya berada di bawah pengendalian Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Beliau berkata, “Mayadhyaksena prakrtih, kedua prakrti ini berada di bawah kendaliKu” (Bg.9.10). Dengan kata lain, segala mahluk hidup dan alam material dikendalikan oleh Tuhan. Begitu pula badan jasmani yang dihuni sang jiva ini berada di bawah kendali Tuhan.
Murid: Jikalau sang jiva berkedudukan di bawah kendali Tuhan, itu berarti ia harus tunduk pada aturan, kehendak dan kemauan Tuhan. Bukankah demikian Guru?
Guru: Memang demikian! Berkedudukan di bawah kendali Tuhan berarti sang jiva adalah pelayan kekal Tuhan. Inilah kedudukan dasar (constitutional position) sang jiva. Karena itu dikatakan, sang mahluk hidup adalah sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna (CC Madhya-Lila 20.108). Ekale isvara krsna ara saba bhrtya, pengendali hanya satu yakni Sri Krishna, semua mahluk lain adalah pelayan (CC Adi-lila 5.142).
Murid: Dapatkah anda menjelaskan tentang kedudukan dasar (svarupa) sang jiva sebagai pelayan Tuhan?
Guru: Pelayanan adalah dharma sang jiva, seperti halnya rasa manis adalah dharmanya gula, atau rasa asin adalah dharmanya garam. Di sini dharma berarti sifat atau ciri utama yang ada dan tidak terpisahkan dari suatu objek dan menyebabkan objek itu memiliki nama atau sebutan tertentu. Begitulah, karena memiliki rasa manis, maka benda itu disebut gula. Karena rasa asin, maka benda itu disebut garam. Karena memiliki kemampuan membakar, maka disebut api. Begitu pula karena berhakekat melayani, maka mahluk hidup disebut jiva.
Murid: Saya belum begitu paham tentang dharma sang jiva sebagai pelayan Tuhan. Dapatkah anda menjelaskan dengan contoh praktis dalam kehidupan ini?
Guru: Setiap orang sesuanggungnya adalah pelayan, tidak peduli apapun dan bagaimanapun kedudukannya di masyarakat. Presiden melayani Negara, Gubernur melayani provinsi, kades melayani masyarakat desa, istri melayani suami, suami melayani keluarga, anak melayani orang tua dan demikian juga sebaliknya. Semua pelayanan ini bersifat material dan tidak sungguh-sungguh membahagiakan. Tetapi pelayanan kepada Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersifat kekal dan sungguh-sungguh membahagiakan karena berhakekat spiritual.
Murid: Tetapi hampir semua orang di masyarakat berpikir bahwa dirinya bukan pelayan, sebab mereka bisa melakukan kegiatan sesuai dengan keinginannya. Lalu bagaimana komentar anda mengenai hal ini Guru?
Guru: Mereka berpikir demikian karena tidak pernah mau merenungi hakekat hidupnya. Bukankah setiap orang diikat kuat oleh tugas kewajiban hidupnya sendiri agar bisa hidup? Jikalau seseorang berpikir bahwa dirinya tidak melayani siapapun, maka dia berpikir secara bodoh. Dia tidak sadar bahwa dirinya sibuk bekerja melayani indriya-indrya badan jasmaninya, sehingga dia menjadi go-dosa, budak indrya-indrya jasmani.
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa sang jiva adalah tatastha sakti, tenaga marginal Tuhan Krishna. Apakah jiva sebagai tenaga Tuhan berwujud atau tidak berwujud?
Guru: Dalam Bhagavad Gita, Sri Krishna berkata; “Mamaivamso jiva loke jiva bhuta sanatanah, sang mahluk hidup yang jatuh dan terperangkap di alam material adalah bagian percikan kecil terpisah (amsah) nan abadi dariKu” (Bg. 15.7). Sri Krishna adalah kepribadian spiritual abadi paling utama (Purusottama) dengan potensi tak terbatas. Sebagai percikan kecil terpisah dariNya, sang jiva pun adalah kepribadian spiritual nan kekal (purusa), tetapi dengan potensi yang kecil dan terbatas. Dengan kata lain, sang jiva adalah individu spiritual kekal nan sadar dan berpotensi terbatas, dan merupakan bagian dari keberadaan Tuhan.
Murid: Apakah Sastra Veda memang mengatakan bahwa Jiva adalah individu yang spiritual nan kekal?
Guru: Ya, sebab Tuhan Sri Krishna berkata, “na tu evaham jatu nasam natvam neme janadhipah na caiva na bhavisyamah sarve vayam atah param, tidak pernah ada saat pada masa lalu ketika Aku tidak ada, anda tidak ada, dan juga semua raja ini tidak ada. Dan pada masa mendatang, tidak satu pun dari kita akan berhenti ada” (Bg. 2.12).
Murid: Dapatkah anda memberikan analogi yang menjelaskan bahwa jiva adalah amsa, perbanyakan kecil terpisah dari Tuhan?
Guru: Jikalau Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna diibaratkan sebagai matahari, maka para jiva yang jumlahnya tidak terhitung adalah foton cahaya matahari tersebut yang merupakan partikel terkecil dalam dualism cahaya yang bersifat sebagai energi dan juga partikel. Cahaya Matahari adalah percikan-percikan amat kecil dari Matahari. Seperti itulah keberadaan Jiva dalam hubungannya dengan Tuhan.
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa ukuran sang jiva adalah sepersepuluh ribu ujung rambut, dan bahwa jiva yang amat kecil ini adalah individu spiritual nan kekal dan sadar. Lalu bagaimana kita bisa mengerti bahwa jiva yang amat kecil ini bisa menghidupkan dan menggerakkan badan jasmani yang jauh lebih besar darinya sendiri?
Guru: Sebelumnya saya sudah menjelaskan bahwa badan jasmani adalah bagaikan kendaraan dan sang jiva adalah pengemudinya. Seseorang pengemudi dengan mudah menjalankan kendaraan dengan menuruti aturan dan mekanisme mengemudi, meskipun kendaraan itu jauh lebih besar dari dirinya.
Murid: Lalu kapankah sang jiva diciptakan oleh Tuhan?
Guru: Jiva sudah ada sejak Tuhan ada , sebab ia adalah tenaga marginal(tatastha sakti) Beliau. Oleh karena Tuhan adalah anadi, tanpa awal, maka sang jiva pun adalah anadi, tanpa awal pula (perhatikan Bg. 13.20). Jadi sang jiva yang spiritual tidak pernah diciptakan. Istilah “diciptakan” hanya terkait dengan hal-hal material.
Murid: Ada berapa jenis jiva disebutkan dalam Veda?
Guru: Ada dua jenis jiva yaitu: a. Jiva yang jatuh dan tinggal menderita di dunia fana, disebut ksara atau nitya baddha. B. Jiva yang tinggal di dunia rohani dalam kebahagiaan, disebut aksara atau nitya mukta.
Murid: Apakah sebabnya sang jiva jatuh dan menderita di alam fana?
Guru: Salah satu dari enam ciri ke-Tuhan-an Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna adalah Beliau Maha Bebas atau Maha Merdeka. Sebagai bagian/percikan kecil dai diriNya, sang jiva pun memiliki kebebasan atau kemerdekaan, tetapi kebebasan atau kemerdekaan kecil dan terbatas. Kebebasan ini berupa pilihan, melayani Tuhan atau tidak melayani Beliau di dunia rohani. Karena itu, sang jiva diberikan tempat tinggal di alam material dimana ia bisa menikmati secara terpisah dari Tuhan.
Murid: Jadi sang jiva jatuh ke dunia fana karena ingin menikmati sendiri tanpa Tuhan, Begitu?
Guru: Ya, sang jiva memendam iccha, keinginan menikmati sendiri, dan dvesa, keengganan melayani Tuha di dunia rohani. Dikatakan, “ Iccha dvesa samutthena sarge yanti parantapa, karena ingin menikmati sendiri dan enggan melayani Tuhan di dunia rohani, maka sang makhluk hidup (jiva) jatuh ke alam material, O penakluk musuh” (Bg. 7. 27).
Murid: Tetapi banyak orang yang mengaku beragama merasa tidak pernah memiliki keinginan menikmati tanpa Tuhan, apalagi keengganan melayani Beliau. Lalu bagaimana komentar anda Guru?
Guru: Kelupaan adalah ciri pokok sang jiva yang kecil dan berpotensi terbatas. Saya dan anda tidak ingat kegiatan apa yang kita lakukan pada hari yang sama setahun yang lalu, apalagi kegiatan-kegiatan dalam masa penjelmaan sebelumnya. Begitulah, karena telah lupa bahwa dahulu dirinya pernah berbuat dosa yaitu melanggar aturan kehidupan di dunia rohani dengan tidak mau melayani Tuhan di sana sehingga jatuh ke dunia fana, maka orang-orang yang umumnya buta dan tuli kitab suci (Veda) ini berperasaan seperti itu.
Murid: Benarkah sang jiva yang jatuh ke dunia fana bebas menikmati kesenangan material sesuai dengan keinginan tanpa bergantung kepada Sri Krishna?
Guru: Tidak! Sang jiva secara palsu berpikir bahwa dirinya bebas berkegiatan dalam ikhtiarnya hidup bahagia di alam fana dengan mengejar kesenangan material. Ini disebut khayalan. Sesungguhnya, ia diikat kuat oleh tali-tali halus maya, tenaga material (apara-prakrti) Tuhan Krishna. Begitulah, maya mengikat sang jiva dengan tiga tali halusnya yang disebut tri-guna. Sang jiva berkegiatan sesuai dengan arah tarikan unsur-unsur tri-guna ini.
Murid: Tali-tali halus maya disebut tri-guna. Diikat oleh tri-guna, sang jiva tidak bebas berkegiatan. Dapatkah dijelaskan tentang triguna ini yang mengikat sang jiva di dunia fana?
Guru: Tri-guna berarti tiga tali. Tiga tali maya nan halus ini lebih dikenal dengan sebutan “tiga sifat alam material” yaitu: a. Sifat sattvam (kebaikan), b. Sifat rajas (kenafsuan), dan c. Sifat tamas (kegelapan/kebodohan). Ketiga sifat alam material ini mengikat semua jiva di dunia fana.
Jika badan jasmani sang jiva didominasi oleh sifat sattvam, maka ia senang belajar ilmu pengetahuan dan filsafat, dan dikenal sebagai orang saleh, bajik dan berpengetahuan. Jika badan jasmani sang jiva didominasi oleh sifat rajas, maka ia sibuk bekerja untuk mendapatkan kekayaan material dan dikenal sebagai orang pamerih dan serakah. Dan jika sifat tamas mendominasi badan jasmani sang jiva, maka ia suka bermalas-malasan dan senang melakukan tindak kekerasan yang menyengsarakan makhluk lain, dan ia dikenal sebagai orang bodoh.
Murid: Tetapi mengapa setiap orang sama-sekali merasa tidak diikat oleh tri-guna, dan malahan dengan bangga berkata bahwa dirinya bebas berkegiatan?
Guru: Sebab mereka hampa pengetahuan spiritual Veda dan tidak insyaf diri. Cobalah renungi fakta-fakta berikut. Orang yang diliputi sifat sattvam berpendapat bahwa mendengar ceramah rohani sungguh bermanfaat. Karena itu, dia pergi ke Ashram untuk bertemu dengan sang guru kerohanian (acarya). Orang yang diliputi sifat rajas berpikir bahwa nonton “Beauty Contest” sambil makan dan minum sepuas-puasnya sungguh menyenangkan. Karena itu, dia pergi ke Hotel untuk menonton acara tersebut. Dan orang yang diliputi sifat tamas berpendapat bahwa rilek dan tidur sepuas-puasnya sungguh menyenangkan. Karena itu, dia tinggal di rumah saja bermalas-malasan. Semua fakta ini membuktikan bahwa sang jiva berbadan jasmani tidak bebas berkegiatan. Dia berkegiatan sesuai dengan unsur tri-guna yang paling dominan menyelimuti badan jasmaninya.
Murid: Saya melihat di masyarakat banyak orang menunjukkan prilaku, kesenangan dan kecendrungan berbeda dari waktu ke waktu. Mengapa begitu?
Guru: Dalam Bhagavad-gita (14.10) Tuhan Sri Krishna berkata bahwa ketiga sifat alam material ini selalu berusaha mendominasi satu dengan yang lain. Sifat alam sattvam (kebaikan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan para rohaniawan (sadhu). Sifat alam rajas (kenafsuan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan orang-orang bisnis. Dan sifat alam tamas (kegelapan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan para pemabuk, perampok dan penjudi.
Jadi seseorang menunjukkan prilaku, kesenangan dan kecendrungan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu karena kadar dominasi unsur-unsur triguna dalam dirinya berubah-ubah sesuai dengan macam pergaulan yang dilakukan, jenis ilmu pengetahuan yang dipelajari, jenis informasi tentang suatu hal yang diterimanya, dsb.
Murid: Anda telah mengatakan bahwa segala makhluk hidup (jiva) dan seluruh alam material dikendalikan oleh Tuhan. Lalu dimana letak peranan Tuhan sebagai pengendali para jiva yang dibelenggu oleh tri-guna?
Guru: Sesuai dengan unsur-unsur tri-guna yang dominan menyelimuti badan jasmaninya, sang jiva melakukan beraneka-macam kegiatan. Tuhan Krishna (dalam aspekNya sebagai Paramatma) bertindak sebagai saksi (upadrasta) atas segala kegiatan yang dilakukan sang jiva. Selanjutnya, Beliau bertindak sebagai penentu (anumanta) hasil (phala) dari kegiatan-kegiatan (karma) yang dilakukan oleh sang jiva. Dan selanjutnya Beliau menentukan jenis badan jasmani yang sang jiva harus huni dalam penjelmaan berikutnya sesuai dengan karmanya itu (perhatikan Bg. 13. 23. Dan 18. 61).
Murid: Pada penjelasan anda sebelumnya, anda mengatakan bahwa Tuhan (sebagai Paramatma) tinggal bersama sang jiva di dalam hati badan jasmani. Mengapa Tuhan yang maha mengetahui dan maha kuasa membiarkan sang jiva sesat dalam kegiatan-kegiatan tidak bajik alias jahat?
Guru: Sebab Tuhan Krishna senantiasa menghargai kebebasan kecil, sedikit dan terbatas yang dimiliki oleh sang jiva. Jikalau Beliau menghalangi sang jiva melakukan kegiatan jahat, itu berarti Beliau melanggar kebebasan sang jiva. Urusan Beliau sebagai Paramatma hanyalah menyaksikan karma yang dilakukan sang jiva dan memberikan phala setimpal atas karmanya itu. Tetapi melalui kitab sudi Veda yang diwahyukanNya, Tuhan Krishna sudah memberikan petunjuk-petunjuk yang lebih dari cukup kepada para jiva berjasmani manusia supaya mereka menjauhi kegiatan berdosa dan mengembangkan kegiatan bajik.
Murid: Mengapa sampai terjadi para jiva yang amat banyak ini harus menghuni badan jasmani yang berbeda-beda?
Guru: Itu terjadi demikian sesuai dengan phala dari karma mereka masing-masing. Dan jenis karma ini ditentukan oleh unsur-unsur tri-guna yang dominan menyelimuti badan jasmaninya. Dikatakan, “Sattvam sangad rain devan ra jasasura manusam tamasa bhuta-tiyaktvam, jika (pada saat ajal) diliputi sifat sattvam (kebaikan), sang jiva memperoleh badan rishi dan deva. Jika diliputi sifat rajas (kenafsuan), sang jiva memperoleh badan asura atau manusia. Dan jika diliputi sifat tamas (kegelapan), ia memperoleh badan hantu atau hewan” (Bhag. 11. 22. 52).
Murid: Tetapi bukankah jenis badan jasmani amat banyak? Kenapa ada jiva berjasmani Raja. Politikus atau pengemis di masyarakat manusia? Kenapa ada jiva berjasmani tampan dan ada pula yang cacat?
Guru: Jawaban sebelumnya adalah penjelasan Sastra yang bersifat sangat umum. Dengan menghuni jasmani asura atau manusia yang didominasi sifat rajas (kenafsuan), sang jiva menjadi amat melekat pada kenikmatan indriyawi. Akibatnya, ia harus lahir lagi di dunia fana. Sesuai dengan kadar phala dari karma baik atau karma buruk yang dilakukannya dalam masa penjelmaan sebelumnya sebagai manusia, maka kini sang jiva lahir sebagai Raja atau pengemis. Jika selama menghuni badan manusia sang jiva mengembangkan sifat alam sattvam dengan melakukan kegiatan spiritual, maka selama hidupnya sebagai manusia sang jiva mengembangkan sifat alam tamas dengan melakukan banyak tindak kekerasan dan kegiatan berdosa, maka ia akan lahir dengan jasmani manusia cacat atau lahir dengan jasmani hewan.
Murid: Jadi selama seseorang sebagai jiva diikat oleh salah satu unsur tri-guna, maka ia akan menjalani punarbhava atau reinkarnasi yakni lahir lagi di alam fana?
Guru: Ya, selama masih ada reaksi (phala) perbuatan baik (subha-karma) ataupun perbuatan buruk (asubha-karma) yang menyelimuti kesadaran (pikiran)nya, sebagai akibat dari pengaruh tri-guna atas dirinya, maka sang jiva pasti akan lahir lagi dengan badan material baru tertentu. Dikatakan, “Deho’pi daiva vasagah khalu karma yavat, badan material ini bekerja dibawah pengendalian Tuhan, dan badan material ini akan terus ada (diperoleh sang jiva) selama masih ada hutang karma” (Bhag. 11. 13. 37). Hutang karma adalah reaksi (phala) perbuatan (karma) yang harus ditanggung sang jiva.
Murid: Lalu apa yang harus dilakukan oleh sang jiva agar tidak mengalami punarbhava atau reinkarnasi di alam material yang menyengsarakan ini?
Guru: Tentu saja sang jiva harus melepaskan diri dari ikatan tri-guna. Atau, ia harus menjauhkan diri dari pengaruh tri-guna. Sebab dikatakan, “ Karanam guna sango’sya sad-asad yoni janmasu, karena diikat oleh tri-guna, maka sang makhluk hidup (jiva) harus merasakan kesenangan dan kesusahan dalam berbagai jenis badan jasmani” (Bg. 13. 22).
Murid: Bagaimana caranya sang jiva melepaskan diri dari ikatan tri-guna?
Guru: Caranya adalah dengan berserah diri kepada Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krisna. Sebab Beliau berkata; “ Daivi hy esa guna mayi mama maya duratyaya mam eva ye prapadyante mayam etam ri tri-guna, sungguh sulit diatasi. Tetapi siapapun yang berserah diri kepadaKu, dengan mudah mengatasinya” (Bg. 7. 14).
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa maya mengikat sang jiva di dunia fana dengan ketiga tali halusnya yang disebut tri-guna. Dapatkan saya katakan bahwa perjuangan sang jiva yang sesungguhnya adalah melepaskan diri dari cengkraman maya supaya bisa keluar dari lingkaran samsara, kelahiran dan kematian berulang-kali di dunia fana?
Guru: Tepat sekali, dan para acarya (guru kerohanian) pada umumnya selalu berkata bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh ingin mengakhiri derita kehidupan materialnya di dunia fana, harus berjuang keras melawan maya dengan berserah diri kepada Tuhan Krishna.
Murid: Berserah diri kepada Tuhan Krishna adalah solusi untuk mengatasi dan mengalahkan maya. Apa yang harus saya lakukan agar bisa berserah diri kepada Beliau?
Guru: Sibukkan dirimu dalam kegiatan spiritual bhakti-yoga. Sebab Sri Krishna berkata, “ Mam ca yo’vyabhicarena bhakti-yogena sevate sa gunan samatityaitan brahma bhuyaya kalpate, orang yang menyibukkan diri dalam pelayanan bhakti kepadaKu dan tidak pernah gagal dalam jalan spiritual ini, seketika mengatasi (ikatan maya yaitu) tri-guna dan mencapai tingkat spiritual yang disebut brahma-bhuta” (Bg. 14. 26).
Murid: Saya belum bisa memahami maksud sloka yang anda kutip ini Guru, dapatkah anda menjelaskannya?
Guru: Bhakti secara literal berarti cinta-kasih. Secara praktis bhakti berarti menyibukkan seluruh indriya jasmani untuk melayani penguasa segala indriya yaitu Hrsikesa atau Krishna (Narada-panca-ratra). Dengan kata lain, bekerjalah sesuai dengan petunjuk kitab suci (Veda) dan persembahkan hasil kerja anda kepadaNya. Dengan cara ini, anda akan subhasibha phalair evam moksyase karma-bandha-naih. Tidak terkena reaksi (phala) perbuatan (karma) baik ataupun buruk (Bg. 9. 28). Dengan cara ini, anda mengatasi jerat maya nan halus yaitu tri-guna. Dan pada saat yang sama cinta-kasih (bhakti) kepada Tuhan Krishna berangsur-angsur bangkit di dalam hati anda. Bilamana cinta-kasih (bhakti) ini kepada Tuhan Krishna sudah begitu matang, maka anda otomatis berserah diri kepadaNya.
Murid: Dalam sloka yang anda kutip ini disebutkan bahwa setelah mengalahkan maya beserta jerat halus trigunanya, seseorang mencapai tingkat spiritual brahma-bhuta. Bagaimana kehidupan seseorang pada tingkat spiritual ini?
Guru: Tuhan Krishna berkata, “Brhama-bhutah prasannatma na socati na kanksati samah sarvesu bhutesu mad-bhaktim labhate param, orang yang telah berkedudukan spiritual demikian, senantiasa riang hati. Dia tidak pernah sedih ataupun menginginkan sesuatu yang material dan bertindak sama kepada semua makhluk hidup. Dan pada tingkat spiritual ini dia mencapai bhakti (cinta-kasih) murni kepadaKu” (Bg. 18. 54).
Murid: Status orang yang telah mencapai tingkat spiritual pelayanan bhakti murni kepada Tuhan Krishna disebut brahma-bhuta. Lalu, apa namayang dicengkram kuat oleh maya di dunia fana?
Guru: Namanya jiva-bhuta. Dikatakan bahwa sang jiva-bhuta sibuk ya-yedam dharayate jagat, mengeksploitasi alam material dalam usahanya hidup bahagia di dunia fana (Bg. 7. 5). Dikatakan pula, “Jiva-bhutah sanatanah manah sasthanindriyani prakrti-sthani karsati. Para jiva-bhuta yang berhakekat kekal ini bekerja amat keras di alam fana dengan memanfaatkan keenam indriya termasuk pikirannya (Bg. 15.7). Kerja amat keras berarti menderita.
Murid: Jadi hanya setelah berstatus sebagai brahma-bhuta sang jiva berjasmani manusia benar-benar hidup bahagia?
Guru: Ya! Dikatakan pula. “Gunan etan atitya-trin vimukto’ mrtam asnute, bila sang makhluk hidup (jiva) telah mampu mengatasi (jerat maya nan halus yaitu) tri-guna, maka ia seketika hidup bahagia bahkan dalam kehidupannya di dunia fana ini” (Bg. 14. 20).
Murid: Tetapi saya lihat di masyarakat banyak orang nampak hidup bahagia dalam kesenangan material meskipun tidak tahu hal-hal spiritual apapun. Bagaimana komentar anda mengenai hal ini Guru?
Guru: Ya mereka hidup bahagia dalam maya-sukha, kesenangan material semu dan sementara. Sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh bahagia, sebab kesenangan material seperti ini harus dicapai dengan kerja amat keras. Sepintas mereka nampak hidup bahagia. Tetapi jika diperhatikan lebih seksama, mereka tidak bahagia. Sastra mengatakan, “ Maya-sukhaya bharam udvahato vimudha, orang-orang bodoh bekerja amat keras untuk menikmati kesenangan material semu dan sementara (Bhag. 7. 9. 43). Kurvan duhkha pratikaram sukhavan manya-te grhi, keberhasilan sementara mengatasi satu masalah kehidupan dirasakan sebagai kebahagiaan oleh orang yang amat melekat pada kehidupan berkeluarga (Bhag. 3. 30. 9)”.
Murid: Kalau begitu, menurut Veda, orang hidup bahagia bukan dengan memiliki banyak kekayaan material tetapi dengan lepas dari jerat maya nan halus yaitu tri-guna. Atau, orang hidup sungguh bahagia jika dia mampu secara praktis merobah status dirinya dari jiva-bhuta menjadi brahma-bhuta. Benarkah kesimpulannya demikian Guru?
Guru: Benar sekali! Tetapi, oleh karena dikhayalkan oleh maya dengan tirai tri-gunanya, orang-orang materialistik tidak bisa mengerti petunjuk kitab suci Veda tentang bagaimana caranya agar hidup sungguh bahagia. Dan oleh karena terserap pada paham badaniah. “ Aku adalah badan jasmani ini dengan nama si Anu dan urusanku adalah mengejar kesenangan material agar hidup bahagia di dunia fana ini”, maka praktis kegiatan pemuasan indriya jasmani dijadikan landasan hidup bahagia.
Murid: Akibat-akibat buruk apa yang timbul di masyarakat dari paham jasmaniah yang keliru ini?
Guru: Banyak. Pertama, para jiva berjasmani manusia tidak pernah puas atas hasil kerja yang dicapainya. Jika tidak puas, bagaimana mungkin bahagia? Kedua, mereka terpaksa bekerja semakin dan semakin keras untuk mengejar apa yang disebut kebahagiaan hidup duniawi. Kerja keras berarti menderita. Ketiga, mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Keempat, alam dan lingkungan hidup semakin rusak oleh beraneka-macam kegiatan pemuasan indriya. Kelima, moralitas sang manusia merosot. Keenam, Tindak kekerasan tidak pernah bisa di atasi sehingga kehidupan menjadi semakin tidak aman dan tidak nyaman. Ketujuh, manusia berumur pendek karena terserang beraneka-macam penyakit pada usia muda.
Murid: Meskipun begitu, paham jasmaniah “Aku adalah badan jasmani ini dengan nama si Anu” secara material dianggap benar, sehingga dijadikan landasan hidup bahagia melalui program “kemajuan ekonomi”. Meskipun secara filosofis salah, tetapi paham jasmaniah ini telah menjadi pondasi kehidupan individual, nasional maupun intenasional. Mengapa hal ini bisa terjadi demikian?
Guru: Ini terjadi demikian semata-mata karena pengaruh buruk kali-yuga. Dikatakan, “Sa kaler tamasa smrtah, ketika sifat alam tamas (kegelapan/kebodohan) dominan menyelimuti dunia, maka masa itu disebut Kali-Yuga” (Bhag. 12. 3. 30). Ciri pokok sifat alam tamas adalah, “Adharmam dharmam iti ya manyate tamasavrta sarvarthan viparitams ca buddhih sa partha tamasi, pemahaman yang menganggap kebenaran sebagai kepalsuan dan kepalsuan sebagai kebenaran akibat khayalan dan selalu mengarah ke jalur sesat, O Partha, adalah pemahaman dalam sifat alam tamas” (Bg. 18. 32).
Begitulah, ungkapan Veda yang maha besar, “Aku adalah jiva rohani nan abadi pelayan kekal Tuhan Krishna” dianggap kepalsuan. Sedangkan pernyataan mereka, “ Aku adalah badan jasmani dengan nama si Anu dan bisa hidup bahagia di dunia fana dengan bekerja keras”, di anggap kebenaran.
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa jiva disebut pula para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi dari materi. Sedangkan materi atau alam material manifestasi maya disebut apara-prakrti, tenaga yang lebih rendah dari jiva. Sebagai para-prakrti, mengapa sang jiva bisa lupa pada hakekat dan kedudukan dirinya yang spiritual sebagai pelayan kekal Tuhan begitu ia menghuni badan jasmani yang merupakan apara-prakrti, produk maya?
Guru: Sang jiva bisa lupa seperti itu karena ia berpotensi kecil dan terbatas. Karena itu, begitu sang jiva menghuni badan material, ia seketika lupa pada hakekat dirinya yang spiritual dan kedudukan dasarnya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna. Sang jiva sering diibaratkan sebagai setitik bunga api, sedangkan Tuhan Krishna diibaratkan sebagai api unggun nan besar.
Begitu terpisah dari api unggun yang menjadi sumber atau asalnya, titik bunga api itu seketika kehilangan kilauan cahayanya. Begitu pula, sang jiva seketika kehilangan kesadaran spiritual atau kesadaran Krishnanya, begitu ia meninggalkan Tuhan di dunia rohani dan jatuh kedunia fana, dan menghuni badan material produk maya.
Murid: Jika dalam masa hidupnya sekarang sang jiva berjasmani manusia mampu mencapai pelayanan bhakti murni kepada Tuhan Krishna dan dengan demikian berada pada tingkat spiritual brahma-bhuta, bagaimana nasibnya setelah mati?
Guru: Pada saat ajal dia hanya ingat Tuhan Krishna karena cinta-kasih (bhakti) nya yang murni kepada Beliau. Selanjutnya dia pulang kembali ke rumah asal, asli, sejati, alam rohani kebahagiaan abadi Vaikuntha-Loka. Sebab Beliau berkata, “Anta ka le ca mam eva smaran muktva kalevaran yah prayati sa mad-bhavam yati nasty atra samsayah, siapapun yang pada saat ajal meninggalkan badan jasmaninya dengan hanya ingat kepadaKu saja, seketika mencapai alam rohani tempat tinggalKu. Tidak ada keraguan tentang hal ini” (Bg. 8. 5). Ingat Tuhan Krishna pada saat ajal berarti kembali pulang kedunia rohani.
Murid: Apa yang dilakukan sang jiva setelah mencapai alam rohani Vaikuntha-Loka?
Guru: Disana sang jiva kembali pada kedudukan dasar (svarupa)nya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna. Disana dia sibuk dalam beraneka-macam pelayanan kepada Beliau berdasarkan hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik denganNya. Pelayanan spiritual bhakti demikian kepada Tuhan memberikan kebahagiaan yang terus bertambah tambah kepada sang jiva.
Murid: Tolong Guru jelaskan mengapa dengan melayani Tuhan sang jiva menjadi bahagia?
Guru: Dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik antara sang jiva dengan Tuhan Krishna, ada dua pihak. Pihak pertama yaitu sang jiva adalah pihak bawahan yang dikendalikan, yang melayani, yang dinikmati, yang diperintah dan yang dikuasai. Sedangkan pihak kedua yaitu Tuhan Krishna adalah pihak atasan yang mengendalikan, yang dilayani, yang menikmati, yang memerintah dan yang menguasai. Oleh karena Tuhan Krishna adalah sac cid ananda vigrahah, perwujudan kekekalan, pengetahuan dan kebahagiaan (BS. 5.1). Maka dengan melayani beliau, otomatis sang jiva menjadi senang dan bahagia.
Murid: Saya belum mengerti betul bagaimana sang jiva yang berkedudukan sebagai bawahan atau pelayan yang dikendalikan hidup bahagia dengan melayani Tuhan. Dapatkah anda menjelaskan secara lebih rinci lagi?
Guru: Marilah kita ambil contoh hubungan suami-istri. Istri berstatus sebagai pihak yang melayani, sedangkan suami adalah pihak yang dilayani. Apakah anda berpikir bahwa sang istri tidak bahagia karena berkedudukan sebagai pelayan suaminya? Meskipun masing-masing memiliki kedudukan dan fungsi berbeda, oleh karena hubungan suami-istri dilandasi cinta-kasih, maka baik si istri maupun si suami merasakan kepuasan, kesenangan dan kebahagiaan dari hubungan cinta-kasih timbal-balik seperti itu. Dan faktanya adalah meskipun si suami berstatus sebagai pihak yang dilayani, namun praktis dia bekerja, berbuat dan berkegiatan untuk menyenangkan istri tercinta. Begitulah kehidupan berlangsung di dunia fana yang relatif ini. Lalu, apa yang mesti dikatakan tentang kehidupan di dunia rohani yang berhakekat mutlak?
Tentu saja disana sang jiva yang khusuk melayani Tuhan Krishna dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal-balik. Hidup amat bahagia. Disana sang jiva secara leluasa dapat meminta Tuhan untuk melakukan berbagai hal guna menambah kesenangan dirinya. Begitulah, baik sang pelayan (jiva) maupun sang Tuan (Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna) sama-sama menikmati dan berbahagia.
Murid: Apakah setelah tinggal di alam rohani Vaikuntha-Loka berarti sang jiva mencapai mukti?
Guru: Ya, sebab sang jiva telah kembali pada kedudukan dasar (svarupa) nya sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna di alam rohani. Dikatakan, “Muktir hitvanya rupam svarupena vyavasthitih, mukti berarti lepas dari kehidupan material dan kembali pada kedudukan dasar yang asli sejati (Bhag. 2. 10. 6)
Murid: Tetapi selama ini saya mengerti mukti berarti bersatu lebur dengan Brahman (Tuhan). Apakah pengertian ini keliru Guru?
Guru: Tidak. Bersatu lebur dengan Brahman, Tuhan Impersonal, adalah cita-cita para penganut filsafat advaita-vada, vivartha-vada atau mayavada. Menurut Veda, Brahman adalah brahmajyoti, cahaya spiritual yang memancar dari diri pribadi Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan YME Krishna. Mukti dengan bersatu lebur kedalam Brahman disebut sayujya-mukti. Tetapi setelah mencapai Brahman, sang jiva yang kekal akan jatuh lagi ke dalam fana karena tidak betah tinggal di dalam Brahman, sebab disana tidak ada kegiatan apapun. Dikatakan, “Aruhya krcchrenaparam padam tatah pantaty adho’nadrta yusmad anghrayah, meskipun para rohaniawan yang tidak mengakui adanya wujud pribadi rohani Tuhan YME, telah melakukan pertapaan ketat dan keras sehingga mencapai mukti (dengan bersatu ke dalam Brahman impersonal), namun pada akhirnya mereka jatuh lagi ke dunia fana karena tidak mau memuja kaki padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa” (Bhag. 10. 2. 32).
Murid: Begitu pula, selama ini saya berpendapat bahwa jiva yang tinggal di alam fana adalah pada hakekatnya Brahman (Tuhan) yang ditutupi maya. Betulkah demikian?
Guru: Ini adalah pendapat orang-orang mayavadi. Mengapa dan apa sebabnya Brahman (Tuhan) bisa ditutupi maya lalu menjadi jiva yang jatuh melarat di dunia fana? Dengan kata lain, mengapa Tuhan (Brahman berwujud spiritual yaitu Bhagavan) yang maha-kuasa yang hidup sengsara? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tidak bisa dijawab oleh orang-orang mayavadi. Karena itu, teori mereka tentang jiva adalah kepalsuan.
Murid: Dikatakan lebih lanjut bahwa jiva adalah refleksi (bayangan) Brahman, seperti halnya bayangan matahari nampak di air. Begitu pula, dikatakan, Brahman menjadi jiva bila Ia terrefleksikan oleh maya.
Guru: Ini versi lain orang-orang mayavadi dalam menjelaskan tentang jiva. Jikalau seperti yang mereka katakana bahwa Brahman berhakekat satu, tak terbatas, tak terbagi-bagi dan serba meliput, bagaimana mungkin Ia bisa terrefleksikan? Dan apakah maya itu? Lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tidak bisa dijawab secara logis dan rasional oleh mereka. Karena itu, teori mereka tentang jiva adalah palsu.
Murid: Dahulu ketika saya ajukan pertanyaan-petanyaan serupa, orang yang disebut sang guru kerohanian mereka, menjawab, “Anda akan secara otomatis dapat jawab sendiri bila anda telah bebas dari maya, khayalan”. Betulkah begitu Guru?
Guru: Dia menjawab begitu karena tidak mampu menjawab secara logis dan rasional berdasarkan kitab suci Veda.
Murid: Bebas dari maya atau khayalan berarti seseorang menyadari dan menginsyafi bahwa dirinya bukan badan jasmani tetapi jiva nan abadi. Bukankah anda juga mengajarkan demikian?
Guru: Betul, tetapi saya tidak mengajarkan bahwa makhluk hidup (jiva) identik atau sama dengan Tuhan (Brahman). Makhluk hidup tetap makhluk hidup, dan Tuhan tetap Tuhan.
Murid: Bukankah di dalam Veda Tuhan dan makhluk sama-sama disebut atma, Brahman, isvara dan purusa? Bukankah ini menunjukkan bahwa makhluk hidup (jiva) identik dengan Tuhan (Brahman)?
Guru: Saya memahami ajaran Veda berdasarkan filsafat acintya bheda-bheda tattva, Tuhan dan makhluk hidup secara tak terpikirkan sama dan berbeda pada saat yang sama. Artinya begini, Tuhan dan makhluk hidup keduanya disebut atma, Brahman, purusa atau isvara karena sama yakni sama-sama berhakekeat spiritual-kekal. Tetapi pada saat yang sama, oleh karena Tuhan berpotensi tak terbatas dan mengendalikan sang makhluk hidup yang berpotensi kecil dan terbatas, sebagai pengendali maka Tuhan disebut Paramatma (makhluk hidup paling utama), Paramesvara (Pengendali paling utama), Parambrahman (Makhluk hidup paling utama), dan Purusottama (Kepribadian paling utama). Demikian Veda menjelaskan. Apakah anda menolak penjelasan Veda ini?
Murid: Terus terang, semua penjelasan anda tentang sang jiva kepada saya benar-benar merupakan pengetahuan spiritual baru bagi diri saya. Dapatkah anda menjelaskan lebih lanjut tentang kekeliruan filsafat monistik ini?
Guru: Jika sang makhluk hidup (jiva) dianggap sama dengan Tuhan (Brahman berwujud spiritual yaitu Bhagavan) Dalam segala hal dan aspek, maka praktis satu Tuhan sebagai pengendali tertinggi dianggap tidak ada. Terus, tidak perlu ada kitab suci (Veda) sebagai penuntun kehidupan, sebab setiap orang dianggap Tuhan yang maha mengetahui. Hukum karma-phala tidak berlaku, sebab setiap orang adalah Tuhan yang tidak tunduk pada hukum kehidupan ini. Selanjutnya, jika filsafat monistik ini sungguh-sungguh dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pasti kacau, sebab setiap oang menganggap dirinya Tuhan yang menguasai dan mengendalikan alam fana.
Murid: Saya sering merenung begini, “Jika saya adalah Tuhan yang maha kuasa, mengapa saya sering binggung, tertimpa banyak masalah dan hidup melarat? Dalam keadaan tidak berdaya, kepada siapa saya harus berdoa minta pertolongan?”, Apakah keraguan seperti ini menunjukan bahwa filsafat monistik advaita-vada (non dualistic) yang saya tekuni selama ini adalah ajaran palsu?
Guru: Ya! Veda mengatakan bahwa nama lain filsafat ini adalah vivarta-vada atau mayavada. Dikatakan, “Mayavadam asac chastram, filsafat mayavada ini adalah ajaran kerohanian palsu” (Padma-Purana Uttara-Kanda 25. 7).
Murid: Kembali pada topic kita tentang jiva. Anda telah menjelaskan bahwa sang jiva mampu melepaskan diri dari cengkraman maya dan mencapai mukti, jika ia secara tekun dan tulus melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna. Tetapi mengapa kebanyakan jiva berjasmani manusia tidak mau menekuni jalan spiritual bhakti-yoga ini?
Guru: Tuhan Krishna berkata, “Bhogaisvarya prasaktanam tayapahrta-cetasam vyavasayatmika buddhih samadhau na vidhiyate, orang yang pikirannya amat melekat pada kenikmatan indriya jasmani dan kekayaan material dan dibingungkan oleh hal-hal ini, tidak mau secara tulus melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan” (Bg. 2. 44). Sebab kedua adalah kebanyakan atau hampir semua orang yang mengaku menganut ajaran Veda, telah dijangkiti filsafat mayavada sehingga mereka lebih senang berdiskusi berdasarkan angan-angan pikiran tentang Brahman impersonal yaitu Tuhan yang tak berwujud, bersifat dan berciri apapun.
Murid: Mohon dijelaskan secara singkat bagaimana perbedaan kehidupan sang jiva ketika masih tinggal di alam material dan setelah mencapai mukti dengan tinggal di alam spiritual?
Guru: Selama tinggal di alam material, sang jiva berkegiatan dengan badan material. Ia hanyut dalam gelombang suka-duka kehidupan material dunia fana. Setelah mencapai mukti dan tinggal di alam spiritual Vaikuntha-Loka, sang jiva berkegiatan dengan badan spiritualnya yang asli-sejati dalam kebahagiaan pelayan kepada Tuhan Krishna berdasarkan cinta-kasih (bhakti) timbal balik denganNya.
Murid: Karena selama hidupnya di dunia fana hanya sibuk dalam kegiatan material memuaskan indriya jasmani, maka setelah ajal sang jiva harus ber-punarbhava, lahir lagi di alam fana dengan menghuni badan jasmani baru tertentu. Bagaimanakah proses sang jiva memperoleh badan jasmani baru?
Guru: Segala kegiatan (karma) yang dilakukan sang jiva selama hidupnya terekam dalam pikiran (manah) yang merupakan salah satu unsur badan material halusnya. Pada saat ajal, kegiatan (karma) yang paling sering dilakukan dan paling disukai, menentukan suasana pikiran (mentalitas) nya. Dan berdasarkan macam mentalitas ini sang jiva mengembangkan jenis badan baru tertentu dalam pikirannya. Kemudian, atas pengaturan para deva pengendali urusan material dunia fana, sang jiva yang hanya berjasmani halus (tersusun dari ego, kecerdasan dan pikiran), dimasukkan kedalam rahim ibu yang cocok dengan mentalitasnya itu. Begitulah, di dalam rahim si ibu ia berkembang menjadi janin dan kemudian lahir dengan badan material baru.
Murid: Dapatkah anda menjelaskan secara lebih rinci tentang proses perpindahan sang jiva dari badan jasmani lama ke badan jasmani baru tertentu?
Guru: Jenis perbuatan (karma) menentukan macam mentalitas. Jika selama hidupnya sang jiva hanya sibuk dengan kegiatan memuaskan lidah dan perut dengan makan dan minum sepuas-puasnya dan tidur lelap, itu berarti dia telah mengembangkan mentalitas babi dalam pikirannya. Sesuai dengan mentalitasnya itu, dengan hanya mengenakan badan material halus, sang jiva dimasukkan kedalam rahim babi betina melalui sperma babi jantan, dan kemudian dia lahir sebagai babi. Karena itu, badan jasmani ini disebut karma-cittah, perwujudan reaksi (phala) kegiatan (karma) yang dilakukan dengan badan jasmani lama. Sedangkan pikiran sang jiva berjasmani manusia dikatakan, “Manah karma-mayam nrnam, pikiran sang manusia berbentuk sesuai dengan macam karma yang dilakukan dengan badan jasmani lama (perhatikan Bhag. 11. 22. 37).
Murid: Lalu bagaimana tentang hukuman siksa di neraka yang harus dijalani oleh sang jiva berjasmani manusia berdosa?
Guru: Siksaan di neraka pasti dijalani oleh sang jiva berdosa yang harus merosot dalam penjelmaan berikutnya dengan mendapatkan badan jasmani yang tingkatannya lebih rendah. Kembali pada contoh diatas. Karena tidak sadar dirinya mengembangkan mentalitas babi dalam pikirannya, sebelumnya dimasukkan ke dalam rahim babi betina, sang jiva terlebih dahulu “dilatih” di neraka oleh deva Yama supaya terbiasa hidup sebagai babi. Dan “latihan” kejam amat menyakitkan dan menyengsarakan ini disebut siksaan neraka.
Begitulah disana sang jiva (yang hanya berbadan halus) dipaksa berendam di Lumpur, tidur di tempat kotor penuh tinja berbau busuk, makan sisa-sisa makanan yang sudah basi, minum air kotor dan amis, dimasukkan kedalam keranjang lonjong nan sempit dan dibuat berguling-guling, dipukul berulang-kali dengan tongkat, dsb. Setelah “ latihan “ kejam ini dianggap cukup, maka sang jiva yang bermentalitas babi ini dimasukkan kedalam rahim babi betina dan kemudian lahir sebagai babi. Setelah dewasa, si babi di jual kepada sang jagal dan disembelih menjadi lawar. Dahulu ketika berjasmani manusia, ia (sang jiva) senang sekali makan lawar. Dan kini tiba gilirannya dijadikan lawar. Inilah karma phala, hukum sebab-akibat yang tak bisa digagalkan.
Murid: Tetapi pada jaman yang disebut modern sekarang, kebanyakan orang tidak lagi perduli pada hukum karma-phala ini. Mereka sibuk melakukan bermacam-macam himsa-karma dengan menyembelih jutaan hewan setiap hari demi kenikmatan lidah sesaat. Mengapa mereka tak takut pada akibatnya yang sungguh mengerikan seperti itu?
Guru: Saya hanya bisa berkata bahwa fenomena kejam ini adalah bagian dari ciri-ciri buruk Kali-Yuga yang kini sedang berlangsung. Oleh karena sifat alam tamas (kegelapan) begitu tebal menyelimuti kesadaran penduduk Bumi, maka mereka malahan bersuka-ria membunuh hewan-hewan malang ini. Dikatakan bahwa Kali-Yuga dimulai kira-kira 5.000 tahun yang lalu setelah Sri Bhagavan. Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna kembali ke tempat tinggalNya Goloka-dhama di langit rohani. Begitu Kali-Yuga menyelimuti Bumi, maka papeyad ramate janah, manusia mulai bersuka-ria dalam bermacam-macam kegiatan berdosa (Bhag. 12. 2. 29).
Murid: Fakta yang saya lihat adalah karena kebanyakan sarjana duniawi dengan bermacam-macam gelar akademik dan dihormati sebagai orang-orang yang sungguh berpengetahuan, menyatakan bahwa tidak ada jiva spiritual-abadi yang menghidupkan badan jasmani, maka rakyat merasa tidak berdosa membunuh dan makan binatang. Bukankah begitu?
Guru: Mereka yang disebut sarjana dengan bermacam-macam gelar akademik, sesungguhnya bukan orang-orang berpengetahuan. Orang yang sungguh berpengetahuan adalah orang yang insyaf diri. Dia sadar betul pada perbedaan antara badan jasmani yang material dan sementara dengan sang jiva yang spiritual-abadi. Dialah orang yang berpengetahuan. Oleh karena kesadarannya digelapkan oleh maya dengan sifat alam tamas, maka cara-cara memuaskan indriya jasmani secara lebih canggih mereka sebut sebagai pengetahuan.
Murid: Para sarjana duniawi khususnya mereka yang berkecimpung dibidang biologi telah membuktikan secara pasti melalui penelitiannya berulang-kali di laboratorium bahwa apa yang disebut jiva atau roh tidak ada dalam badan jasmani, sebab mereka tidak melihatnya. Komentar anda?
Guru: Bagaimana mungkin mereka bisa melihat jiva yang spiritual dengan mata materialnya? Tuhan Krishna sudah mengatakan bahwa sang jiva adalah avyaktah, tidak berwujud material, dan acintyah, tidak terpahami secara material. Karena itu, mereka tidak mungkin melihat dan mengerti sang jiva dengan mata dan pikiran materialnya.
Murid: Barangkali mereka merasa bahwa penjelasan Veda tentang sang jiva tidak cukup detail dan tidak ilmiah, sehingga para sarjana duniawi ini berkata, “Bagaimana mungkin kami menyatakan jiva yang tak terlihat mata itu memang ada?”.
Guru: Veda (Khususnya Bhagavad-gita) telah menjelaskan tentang sang jiva secara detail dengan menyebut sifat dan ciri sang jiva, ukurannya dan tempat tinggalnya di dalam badan jasmani. Dan juga Veda telah menyatakan bahwa sang jiva hanya bisa diketahui ada berdasarkan penjelasan filosofis dan proses keinsyafan diri, bukan dengan apa yang disebut cara ilmiah yaitu penelitan di laboratorium dengan memanfaatkan berbagai peralatan material dan indriya-indriya jasmani kasar yang tidak sempurna.
Murid: Tetapi beberapa sarjana duniawi berkata, “Dengan peralatan yang lebih canggih dan prinsip-prinsip pengetahuan yang lebih maju, nanti dimasa datang kami yakin mampu mengerti keberadaan sang jiva di dalam badan jasmani”. Apakah anda percaya pada kata-katanya ini?
Guru: Saya tidak percaya. Oleh karena sang jiva tidak tunduk pada hukum-hukum materi alam fana yakni tidak terbakar oleh api (adahyah), tidak basah oleh air (akledyah), tidak kering oleh angin (asosyah), dsb. Karena ia berhakekat spiritual, maka Tuhan Krishna berkata, “Beberapa orang memandang sang jiva (roh) sebagai sesuatu yang menakjubkan beberapa orang lain menjelaskan sang jiva sebagai sesuatu yang menakjubkan. Dan beberapa orang lain lagi, meskipun telah mendengar tentang sang jiva, sama sekali tidak mengerti tentang dia” (Bg. 2. 29).
Murid: Anda telah menjelaskan tentang proses sang jiva berpindah kebadan jasmani baru. Dapatkah diperjelas lagi tentang proses perpindahan ini?
Guru: Dengan berkendaraan badan jasmani halus (yang tersusun dari ego, kecerdasan dan pikiran), atas pengaturan para deva pengendali urusan material dunia fana, sang jiva dimasukkan ke dalam rahim ibu yang cocok dengan mentalitas atau paham kehidupannya. Badan material halus yang membawa sang jiva dengan mentalitas tertentu, diibaratkan seperti angin yang membawa aroma (perhatikan Bg. 15. 8). Karena itu, perpindahan sang jiva ke badan jasmani baru adalah proses yang amat halus dan berada diluar jangkauan penglihatan material. Tetapi proses perpindahan yang amat halus ini dapat dimengerti berdasarkan penjelasan filosofis Veda. Karena itu dikatakan, “Pasyanti jnana caksusah, perpindahan sang makhluk hidup (jiva) dapat dilihat oleh sang rohaniawan yang telah terlatih melihat berdasarkan pengetahuan spiritual Veda” (Bg. 15. 10).
Murid: Bagaimana metalitas atau paham kehidupan ini terbentuk dalam pikiran (manah) yang merupakan salah satu unsur jasmani halus?
Guru: Saya telah katakan bahwa jenis karma (pebuatan) menentukan macam mentalitas. Jika seseorang menghabiskan masa hidupnya sekarang dengan kegiatan surfing (berselancar) dilautan, maka ingatan pada air dan ombak samudra serta kenikmatan meliuk kesana-kemari diantara deburan ombak-ombak mendominasi pikirannya. Ini berarti dia sudah mengembangkan mentalitas ikan dalam pikirannya. Dikatakan, “Srotram caksuh sparsanam ca rasanam ghranam eva ca adhisthaya manas cayam visayan upasevate, sang makhluk hidup (jiva) mengembangkan jenis indriya pendengar (telinga), indriya penglihat (mata), indriya pengecap (lidah), indriya pencium (hidung) dan indriya perasa (kulit) tertentu yang semuanya terkumpul dalam pikiran. Begitulah kemudian ia memperoleh badan jasmani baru tertentu untuk menikmati obyek-obyek indriya tertentu pula” (Bg. 15. 9). Demikianlah proses terbentuknya mentalitas dalam pikiran.
Murid: Jadi, sebelum benar-benar mendapatkan jasmani kasar berupa ikan untuk berkegiatan fisik di lautan, sang jiva sesungguhnya sudah mendapatkan badan halus berupa ikan meskipun ia masih menghuni jasmani manusia. Benarkah demikian?
Guru: Ya benar. Veda menjelaskan hal ini dengan analogi ulat. Sang ulat berpindah-pindah dari satu daun ke daun lain. Sebelum meninggalkan satu daun, ia sudah terlebih dahulu berpegangan pada daun lain yang akan ditempatinya. Begitu pula, sebelum meninggalkan badan jasmani manusianya yang sekarang pada saat kematian, sang jiva sudah masuk kedalam badan jasmani halus baru tertentu yang ia akan huni dalam penjelmaan berikutnya.
Murid: Saya perlu klarifikasi tentang peranan Tuhan (Paramatma) dan para deva pengendali urusan material dunia fana dalam perpindahan sang jiva dari satu badan ke badan material lain. Dapatkah anda menjelaskan secara singkat?
Guru: Sastra menyatakan, “Karmana daiva netrena jantur dehopapattaye stryah pravista udaram pumso retah kanasrayah, dibawah pengawasan (pengendalian) Tuhan Yang Maha Esa dan sesuai dengan perbuatan (karma) nya, sang makhluk hidup (jiva) dimasukkan kedalam rahim si ibu melalui mani sang ayah untuk memperoleh badan jasmani baru tertentu” (Bhag. 3. 31. 1). Jadi, proses perpindahan sang jiva ke badan jasmani baru dikendalikan oleh Tuhan Krishna dalam aspek Beliau sebagai Paramatma, Tuhan yang bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Sedangkan proses fisik halus perpindahan tersebut dilaksanakan oleh para deva pengendali urusan material dunia fana sesuai dengan karma (kegiatan) sang jiva dalam penjelmaan sebelumnya.
Murid: Bagaimana keadaan sang jiva setelah dimasukkan kedalam rahim ibu tertentu?
Guru: Selama lima bulan pertama dalam rahim si ibu, sang jiva seperti tidur nyenyak saja, tidak ingat apapun. Pada akhir bulan ke lima, ia mulai merasakan lapar dan dahaga. Pada akhir bulan keenam, ia mulai bisa bergerak-gerak dengan jasmani baru nya (berupa bayi) dalam perut si ibu. Sementara jasmaninya tumbuh semakin besar, sang jiva mulai merasakan derita dalam rahim yang amat sempit, menjijikkan, penuh kotoran dan air ketuban. Berulang-kali ia digigit oleh jasat renik kelaparan yang muncul dari kotoran dalam rahim dan tinggal bersamanya. Makanan terlalu pedas, terlalu asin, asam atau terlalu pahit yang dikonsumsi si ibu, menyebabkan sang jiva (yang disebut si bayi) merasakan derita (panas) bukan kepalang dalam rahim sang ibu. Demikianlah penjelasan Veda tentang sang jiva berjasmani bayi yang terkungkung dalam rahim (Bhag. Skanda III Bab 31).
Murid: Tetapi para sarjana duniawi khususnya mereka yang disebut pakar medis, menyatakan bahwa sang bayi tinggal senang dan nyaman dalam kandungan si ibu sebelum lahir keluar rahim. Bagaimana pendapat anda?
Guru: Pendapat mereka salah. Sebab, setelah lahir keluar rahim tidak seorangpun ingat pada penderitaan tersekap dalam rahim si ibu meskipun nyata-nyata pernah tinggal di dalamnya. Atas pengaturan maya, tenaga material Tuhan Krishna, sang bayi secara fisik tumbuh meskipun menderita bukan kepalang didalam perut si ibu. Untuk mendapatkan badan jasmani baru tertentu, sang jiva harus menderita seperti itu sampai saat kelahiran. Itulah sebabnya Veda menyatakan bahwa kelahiran (janma) adalah penderitaan.
Murid: Mengapa sang jiva lupa pada penderitaan yang pernah dialaminya dalam rahim si ibu?
Guru: Sebab begitu ia lahir sebagai bayi, maya seketika memeluknya dan mengikat dia dengan tali tri-gunanya yang mengkhayalkan. Dikatakan, “Sattvam rajas tama iti gunah prakrti-sambhavah nibadhnanti maha-baho dehe dehinam avyayam, alam material memiliki tiga sifat yaitu sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan), dan tamas (kegelapan). Begitu sang makhluk hidup (jiva) berhubungan dengan alam matrial (yaitu lahir ke dunia fana), maka ia seketika diikat oleh ketiga sifat alam tersebut” (Bg. 14. 5). Demikianlah, karena diikat oleh jerat maya nan halus yakni tri-guna yang mengkhayalkan, maka begitu lahir sang jiva menjadi lupa total terhadap segala derita tinggal dalam kandungan si ibu.
Murid: Apakah itu berarti bahwa selama tinggal menderita dalam rahim si ibu, sang jiva berjasmani bayi belum dicengkram maya?
Guru: Ya, maya belum mencengkram dirinya, sehingga si bayi masih tetap insyaf diri sebagai jiva rohani-abadi. Dia berdoa kepada Tuhan Sri Visnu bahwa dirinya bersyukur mendapat badan jasmani manusia, dan berjanji bahwa kelak setelah lahir dirinya hanya akan berlindung pada kaki-padma Beliau agar terhindar dari sergapan maya. Dikatakan bahwa dalam keadaan menderita bukan kepalang seperti itu, jika cukup beruntung memiliki banyak karma bajik, sang jiva bisa ingat segala penderitaan yang di alaminya dalam seratus kali penjelmaannya yang telah lewat. Demikian dijelaskan oleh Inkarnasi Tuhan Kapila Muni kepada ibuNya Devahuti.
Murid: Setelah lahir dengan jasmani manusia, bagaimana maya mengkhayalkan sang jiva dengan tirai tri-gunanya?
Guru: Maya mengkhayalkan sang jiva dengan prinsip-prinsip kehidupan berikut: a. Ahanta, “Aku adalah badan jasmani ini dengan nama si Anu dan urusanku adalah mengejar kesenangan duniawi. b. Mamanta, “Segala sesuatu yang terkait dengan badan jasmaniku adalah milikku”. Dan c. Maya-sukha, “ Kesenangan duniawi dan kenikmatan indriya jasmani adalah kebahagiaan sejati”.
Murid: Jikalau prinsip-prinsip kehidupan materialistik ini terus mengotori kesadarannya sampai saat ajal, bagaimana nasib sang jiva selanjutnya?
Guru: Dia kembali terperangkap dalam mrtyu-samsara vartmani, jalur derita kelahiran dan kematian di dunia fana (perhatikan Bg. 9. 3). Dan dia (sang jiva) punas punah carvita carvananam, mengunyah lagi apa yang telah dikunyah sebelumnya (Bhag. 7. 5. 30). Maksudnya, dia mengulang lagi kegiatan-kegiatan yang telah pernah dilakukan dalam setiap penjelmaannya yang telah lewat.
Murid: Tetapi penjelasan Veda tentang kelahiran kembali atau punarbhava (reinkarnasi) ini tidak diperdulikan oleh kebanyakan orang yang mengaku penganut ajaran Veda. Mengapa demikian?
Guru: Sebab, seperti anda telah katakan bahwa kebanyakan sarjana duniawi yang dihormati sebagai orang-orang yang berpengetahuan, menyatakan tidak ada jiva (roh) spiritual-abadi yang menghidupkan badan jasmani, maka rakyat bodoh menjadi tidak perduli pada hukum punarbhava (reinkarnasi) ini. Sebab kedua adalah para pemuka ajaran Veda yang tidak sadar dirinya dikhayalkan oleh maya dengan sifat alam rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan), mengajarkan kepada umatnya bahwa dengan melaksanakan ritual (yajna) tertentu pada saat kematian, sang jiva disucikan dari dosa-dosa sehingga, katanya, “Ia (sang jiva) tidak mengalami punarbhava lagi”.
Murid: Betulkah ritual (yajna) rumit kurban binatang mampu mensucikan sang jiva sehingga ia tidak mengalami punarbhava (reinkarnasi) lagi dan mencapai mukti?
Guru: Pertama, kita harus tahu bahwa dalam masa Kali-Yuga sekarang tidak ada brahmana yang betul-betul berkualifikasi sebagai yajnika-brahmana yakni brahmana ahli pelaksana ritual yang mengandung himsa-karma kurban binatang. Karena itu, yajna kurban binatang dilarang dilaksanakan oleh Veda pada jaman Kali sekarang (Brahma-vaivarta-Purana Krsna Kanda 115. 112-113).
Kedua, dari percakapan antara Devarishi Narada dengan Raja Pracinabarhi (Bhag. Skanda IV Bagian 4) kita diberitahu bahwa ritual kurban binatang amat riskan. Sedikit saja terjadi kesalahan, ritual ini menjadi tidak bermanfaat, dan malahan membebani si pelaksana dan pelaku ritual dengan reaksi dosa-dosa membunuh hewan-hewan yang dikurbankan.
Ketiga, nasib sang jiva setelah jasmaninya mati sesungguhnya ditentukan oleh macam kesadarannya pada saat ajal. Dikatakan, “Yam yam vapi smaran bhavam tyajaty ante kalevaram tam tam evaiti kaunteya sada tad-bhava-bhavitah, keadaan apapun yang seseorang ingat pada saat ajal, pasti keadaan itu yang dia akan capai” (Bg. 8. 6). Sekarang anda bisa simpulkan sendiri apakah yajna kurban binatang mempu mensucikan sang jiva dari dosa-dosa yang telah diperbuat.
Murid: Lalu, yajna yang bagaimana benar-benar mampu mesucikan sang jiva berjasmani manusia dalam masa Kali-Yuga sekarang?
Guru: Sankirtana yajna yakni yajna dengan mengucapkan nama-nama suci Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Banyak sekali sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa sankirtana ini adalah satu-satunya praktek spiritual yang sungguh-sungguh manjur dan mujarab untuk mensucikan para jiva berjasmani manusia Kali-Yuga dan menuntunnya menuju mukti, kelepasan dari kehidupan material dunia fana yang selalu menyengsarakan.
Murid: Bagaimana prosesnya sehingga hanya dengan mengucap nama-nama suci Tuhan Krishna jiva bisa disucikan?
Guru: Tuhan Krishna berhakekat mutlak (absolute) sehingga nama suci Beliau dengan diri pribadiNya tidak berbeda. Nama suci Beliau adalah bagaikan matahari meniadakan kegelapan dan bau busuk setiap tempat kotor. Begitu pula, dengan secara tekun dan teratur mengucapkan nama-nama suciNya setiap hari, segala sifat-sifat asurik (jahat) yang mengotori hati dan pikiran dengan beraneka-macam dosa, berangsur-angsur dilenyapkan. Demikianlah, pelan tetapi pasti sang jiva menjadi tersucikan.
Murid: Apakah kata “tersucikan” berarti sang jiva lepas dari jerat maya nan halus yaitu tri-guna yang mengkhayalkan?
Guru: Ya, sebab dikatakan, “Guna bhavyena karmanah, perbuatan (karma) baik ataupun buruk (yang reaksinya mengotori kesadaran) timbul dari interaksi tri-guna yang mengkhayalkan, sang jiva kembali insyaf diri, “Aku adalah jiva rohani-abadi pelayan kekal Tuhan Krishna, bukan badan jasmani ini yang dipanggil si Anu. Dan aku hidup sungguh bahagia dengan kembali melayani Beliau dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal-balik denganNya”.
Dan sebagaimana telah kita bicarakan sebelumnya, “tersucikan” juga berarti berada pada tingkat spiritual brahma-bhuta.
Murid: Bagaimanakah ciri-ciri sang jiva berjasmani manusia yang telah lepas dari tri-guna?
Guru: Dia tidak membenci pencerahan spiritual, ikatan material atau khayalan jika hal-hal itu datang, atau menginginkannya jika hal-hal itu lenyap. Dia tidak pernah gelisah atau goyah, tetap tabah dalam segala keadaan, merasakan kesusahan dan kesenangan sama saja, melihat segumpal tanah, sebiji batu dan sekerat emas dengan pandangan sama, bijaksana, bersikap sama terhadap cacian dan pujian, tidak terpengaruh oleh penghormatan ataupun penghinaan, memperlakukan kawan dan musuh dengan cara sama, dan tidak melakukan kegiatan pemerih apapun (Bg. 14. 22-25).
Murid: Dengan demikian, sang jiva yang bebas dari ikatan tri-guna telah mencapai mukti, meskipun masih hidup dengan jasmani manusia di alam material. Betulkah begitu?
Guru: Ya benar. Ia (sang jiva) mencapai mukti meskipun masih hidup di alam material dengan jasmani manusia. Dikatakan, “Iha yasya harer dasye karmana manasa gira nikhilesu apy avasthasu jivanmukta sa ucyate, orang yang menyibukkan diri dalam pelayanan kepada Tuhan Hari melalui kata-kata, pikiran dan perbuatan, telah bebas dari derita kehidupan material meskipun masih tinggal di alam fana, dan dia disebut jivan-mukta” (BRS. 1. 2. 187).
Murid: Saya ingin mendengar dari anda tentang orang bijak dan orang bodoh. Bagaimana Veda mendefinisikan jiva berjasmani manusia bijak atau bodoh?
Guru: Dikatakan, “Pandito bandha moksavat, orang bijak adalah dia yang mengerti proses melepaskan diri dari derita kehidupan material dunia fana (Bhag. 11. 19. 41). Dan, murkho dehady aham buddhih, orang bodoh adalah dia yang menganggap badan jasmaninya sebagai dirinya sejati (Bhag. 11. 19. 42)”.
Murid: Berdasarkan definisi tersebut, apakah para jiva berjasmani sarjana duniawi dengan bermacam-macam gelar akademik dapat disebut orang bijak?
Guru: Tidak! Mereka tergolong manusia bodoh karena tidak insyaf diri. Mereka terserap dalam paham jasmaniah, “Aku adalah badan jasmani dengan nama si Anu yang telah mencapai kesempurnaan hidup dengan memiliki gelar akademik”.
Murid: Lalu bagaimana pengetahuan yang mereka dapatkan dari Universitas atau Akademi?
Guru: Itu bukan pengetahuan, tetapi cara-cara memuaskan indriya jasmani. Dan cara-cara memuaskan indriya jasmani secara lebih cepat, lebih mudah, lebih canggih dan lebih efisien, mereka sebut sebagai pengetahuan.
Murid: Kalau begitu, menurut anda apakah pengetahuan itu?
Guru: Tuhan Krishna berkata, “Ksetra-ksetra jnayor jnanam yat taj jnanam matam mama, mengerti perbedaan antara badan jasmani yang material dan sementara (ksetra) dengan sang jiva (ksetra jna) yang rohani-abadi disebut pengetahuan. Itulah pendapatKu” (Bg. 13. 3).
Murid: Wah, saya baru mendengar definisi pengetahuan menurut Veda. Karena itu, saya baru bisa mengerti bahwa jika seseorang benar-benar berpengetahuan, maka dia pasti menekuni kegiatan spiritual dan disebut yogi, Bukankah begitu?
Guru: Ya, sebab jnana (pengetahuan spiritual) menuntun seseorang menuju vairagya, ketidak-melekatan pada hal-hal material. Dan vairagya ini adalah pondasi bagi sang yogi untuk mencapai mukti, kelepasan dari derita kehidupan material dunia fana.
Murid: Saya heran, mengapa kebanyakan sarjana duniawi yang tergolong orang-orang cerdas tidak perduli pada kegiatan spiritual. Malahan banyak dari mereka mencemooh para acarya (guru kerohanian) yang sibuk dalam kegiatan spiritual. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Guru: Sebab, sebagaimana saya telah katakana, mereka bukan orang-orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan. “Jnanavan mam prapadyante, orang yang sungguh berpengetahuan berserah diri kepadaKu”, kata Tuhan Krishna (Bg. 7. 19). Mereka tidak berminat pada hal-hal spiritual, apalagi berserah diri kepada Tuhan. Dan malahan mereka mencemooh para rohaniawan. Kenapa begitu? Sebab, menurut Veda, mereka adalah mayayapahrta-jnana, orang-orang intelektiual yang pengetahuannya telah dicuri oleh maya, khayalan (perhatikan Bg. 7. 15).
Murid: Orang yang menekuni kegiatan spiritual disebut yogi. Lalu orang yang hanya sibuk dalam urusan material agar hidup lebih enak dan lebih nyaman melalui pemuasan indriya jasmani secara lebih mewah disebut apa?
Guru: Dia disebut bhogi, penikmat. Oleh karena tujuannya memperoleh gelar akademik adalah supaya bisa hidup lebih baik, lebih nyaman dan lebih mewah, maka praktis mereka yang disebut sarjana duniawi tergolong bhogi.
Murid: Tujuan material agar hidup lebih enak, lebih nyaman dan lebih mewah tanpa disadari menyebabkan tabiat serakah dan watak-watak asurik (jahat) lainnya tumbuh subur dalam pikiran.
Guru: Ya, demikianlah. Keserakahan sesungguhnya akar masalah kesengsaraan yang menimpa masyarakat dewasa ini. Oleh karena sesungguhnya tergolong bhogi bertabiat serakah, maka semakin banyak jiva berjasmani sarjana duniawi gentayangan di masyarakat, kehidupan rakyat bukan semakin damai, makmur dan sejahtera, tetapi semakin tidak damai, tidak makmur dan tidak sejahtera.
Murid: Saya pernah mendengar bahwa jika seseorang hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan material memuaskan indriya jasmani agar hidup bahagia di dunia fana, dia dikatakan tidak berbeda dari hewan. Mengapa dikatakan begitu?
Guru: Sebab dia hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan hewani yaitu makan, tidur, berketurunan dan bertahan diri. Semua kegiatan material ini secara alamiah dapat dilakukan oleh binatang yang tidak pernah bersekolah. Karena itu dikatakan, “ Ahara nidra-bhaya maithunam ca etat pasubhir naranam, jika seseorang hanya sibuk dengan kegiatan makan, tidur, bertahan diri dan berketurunan, maka dia tidak berbeda dari hewan” (Hitopadesa 25).
Murid: Tetapi bukankah setiap orang ingin agar bisa makan lebih enak, tidur lebih nyenyak, berhubungan badan (sex) lebih nikmat dan bertahan diri secara lebih canggih?
Guru: Hanya mereka yang bertabiat materialistik memiliki keinginan-keinginan demikian. Mereka tidak sadar bahwa dengan berkeinginan seperti itu, dirinya menjadi krpana, manusia malang. Sebab, dengan sibuk dalam keempat kegiatan hewani ini, indriya-indriya jasmaninya menjadi semakin tidak terkendali, dan pada akhirnya membuat dirinya sengsara saja.
Murid: Menurut anda, kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa membedakan manusia dari binatang?
Guru: Hanya ada satu kegiatan yaitu kegiatan spiritual keinsyafan diri dengan mempelajari kitab suci Veda dan mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari dibawah bimbingan guru kerohanian (acarya). Cuma itu! Karena itu dikatakan, “Dharmena hinah pasubhih samanah, jika seseorang tidak menuruti ajaran dharma (kitab suci Veda), maka dia sama saja dengan binatang” (Hitopadesa 25). Lebih lanjut dikatakan, “Purusasya atma darsanam, tujuan hidup sang manusia adalah menginsyafi diri sebagai atma atau jiva spiritual nan abadi (Bhag. 3. 26. 2). Dan menginsyafi diri ini hanya bisa dilakukan dengan mempelajari Veda dan mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Murid: Kalau boleh saya simpulkan, sang jiva berjasmani manusia hanya punya dua pilihan jalan kehidupan yaitu: a. Jalan kehidupan material, atau b. Jalan kehidupan spiritual. Jika dia cukup cerdas, maka dia menempuh jalan kehidupan spiritual dengan mengendalikan indriya-indriya badan jasmaninya. Tetapi jika dia bertindak bodoh karena amat kuat dikhayalkan oleh maya (tenaga material Tuhan Sri Krishna), maka dia menempuh jalan kehidupan material dengan bekerja keras memuaskan indriya-indriya jasmani. Betulkah kesimpulan saya ini?
Guru: Betul sekali. Dan Veda memang menyediakan dua jalan kehidupan yang harus ditempuh oleh para jiva berjasmani manusia yaitu: a. Nivrtti-marga, jalan kehidupan spiritual bagi mereka yang berwatak surik (daivi-sampad), dan b. Pravrtti-marga, jalan kehidupan material bagi mereka yang berwatak asurik (asuri-sampad).
Tetapi sayang, akibat pengaruh buruk Kali-Yuga, jalan kehidupan material (pravrtti-marga) yang dimaksudkan untuk secara berangsur-angsur mengangkat sang jiva ke tingkatan spiritual dengan menuruti berbagai macam tapa dan vrata, tidak diperdulikan oleh kebanyakan orang jaman sekarang, apalagi jalan kehidupan spiritual (nivrtti-marga).
Murid: Kali-Yuga yang kini sedang berlangsung sungguh menyesatkan para jiva berjasmani manusia dengan berbagai macam pengaruh buruknya. Akibatnya, manusia amat sulit maju dalam jalan kehidupan spiritual (nivrtti-marga). Adakah cara praktis dan mudah tetapi manjur yang diberikan oleh kitab suci Veda agar para jiva berjasmani manusia Kali-Yuga bisa maju dalam jalan spiritual keinsyafan diri?
Guru: Ada, dan cara yang diberikan oleh Veda adalah sankirtana-yajna. Hal ini telah kita bahas sebelumnya. dikatakan, “Kaler dosa nidhe rajan asti hy eko mahan gunah kirtanan eva krsnasya mukta sangah param vrajet, O sang Raja, meskipun Kali-Yuga penuh dengan kegiatan berdosa, tetapi jaman Kali ini membawa satu keberuntungan besar yaitu hanya dengan mengucapkan nama-nama suci Tuhan Krishna, seseorang dapat bebas dari derita kehidupan dunia fana dan dituntun menuju dunia rohani” (Bhag. 12. 3. 51). Ada banyak sloka Veda yang mengatakan bahwa sankirtana-yajna adalah praktek spiritual paling sah, paling manjur dan paling mujarab pada jaman Kali sekarang.
Murid: Dapatkah anda mengutipkan beberapa sloka lain?
Guru: Dalam Kali-santarana Upanisad dikatakan, “Hare Krsna Hare Krsna, Krsna Krsna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare, iti sodasakan nam nam kali kalmasa nasanam, maha-mantra Hare Krsna yang terdiri dari 16 nama suci Tuhan ini secara pasti meniadakan segala pengaruh buruk Kali-Yuga.
Dalam Brhan-Naradiya-Purana (38. 126) dikatakan, “Harer nama harer nama harer nama iva kevalam kalau nasty eva nasty eva nasty eva gatir anyata, pada jaman Kali tidak ada cara lain, tidak ada cara lain, tidak ada cara lain untuk maju dalam jalan kehidupan spiritual selain dari pada mengumandangkan nama suci, nama suci, nama suci Tuhan Hari”.
Praktek sankirtana yajna untuk jaman Kali sekarang tercantum pula dalam Bhagavata-Purana 12. 3. 52, Visnu-Purana 6. 2. 17, Padma-Purana Uttara-Kanda 72.35, Brhan-Naradiya-Purana 38.97 dan Bhagavad-gita 9.14.
Murid: Meskipun Veda telah memberikan petunjuk amat jelas agar para jiva berjasmani manusia melaksanakan sankirtana-yajna pada jaman Kali sekarang, tetapi kebanyakan dari mereka tidak perduli. Lalu bagaimana nasib mereka ini?
Guru: Nasib mereka sungguh malang. Dikatakan, “Ara kali hata janah, mereka menjadi korban keburukan-keburukan Kali-Yuga” (CC Madhya-Lila 11.99). Jika sang jiva sudah menjadi korban keburukan Kali-Yuga, itu berarti ia pasti terseret kedalam lingkaran samsara yang lebih dalam.
Murid: Terimakasih atas semua penjelasan anda tentang jiva, makhluk hidup, diri sejati setiap orang.
Guru: Semoga jawaban-jawaban yang saya berikan bermanfaat. Haribol!
No comments:
Post a Comment