Horizontal Page

Dialog Tentang KARMA

Filsafat Mahabharata.
Sisya: Apakah karma itu Guru?

Guru: Karma berarti perbuatan, kegiatan atau pekerjaan. Berkarma berarti berbuat, berkegiatan atau bekerja. Secara umum dikatakan bahwa setiap perbuatan atau kegiatan yang terkait dengan usaha memelihara badan jasmani agar tetap hidup sehat disebut karma.

Sisya: Ada berapa macamkah karma itu?

Guru: Karma ada bermacam-macam, jumlahnya tak terhitung. Tetapi secara umum karma dikelompokkan menjadi dua, yaitu Subha Karma atau perbuatan bajik dan Asubha Karma atau perbuatan buruk.

Sisya: Bagaimana kita bisa membedakan antara subha karma dengan asubha karma?

Guru: Suatu perbuatan dikatakan tergolong subha karma jika perbuatan itu sesuai dengan dharma yang dilandasi petunjuk sastra Veda. Jika bertentangan dari petunjuk sastra, maka perbuatan itu tergolong asubha karma.

Sisya: Apakah Veda memberikan kriteria jelas agar kita bisa dengan mudah membedakan subha dan asubha karma?

Guru: Ya, tentu saja. Kriterianya adalah jika seseorang berbuat sesuai dengan prinsip-prinsip dharma (SB. 1.17.24) yaitu kesucian diri (saucam), kejujuran (satyam), kasih sayang (daya) dan hidup sederhana (tapasya); maka perbuatan orang tersebut tergolong subha karma. Sebaliknya, jika seseorang berbuat berlandaskan prinsip-prinsip adharma (SB. 1.17.38) yaitu; berzinah (striyah), berjudi (dyutam), melakukan tindak kekerasan (sunah) dan mabuk-mabukan (panam); maka perbuatannya tergolong asubha karma.

Sisya: Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip dharma ini secara praktis dalam kehidupan sehari-hari?

Guru: Tentu saja dengan tidak berbuat adharma. Jangan berzinah sehingga kesucian diri tetap terjaga. Jangan pernah berjudi dalam bentuk apapun agar kita tetap bisa berpegang teguh pada kejujuran. Jangan pernah melakukan tindakan kekerasan dengan menyakiti mahluk hidup lain agar rasa kasih sayang tetap menghiasi hati dan pikiran. Dan senantiasa waspada agar tidak mabuk kenikmatan indriyawi yang bersumber pada kekayaan material dan kedudukan duniawi agar bisa hidup sederhana.

Sisya: Tapi pada jaman modern sekarang ini, prinsip-prinsip dharma kelihatannya semakin pudar dan prinsip-prinsip adharma merajalela. Mengapa hal ini bisa terjadi Guru?

Guru: Menurut Veda, pada jaman modern sekarang ini adalah jaman Kali atau Kali Yuga. Dikatakan, “sa kaler tamasa smrtah, ketika sifat alam tamas (kegelapan) amat tebal menyelimuti kesadaran penduduk dunia, maka masa itu disebut jaman Kali” (SB. 12.3.30). Ciri utama sifat alam tamas adalah adharmam dharmam iti yah, yang adharma dikatakan dharma dan dharma dikatakan adharma. Dan sarvarthan viparitams ca, kegiatan manusia selalu mengarah ke jalur yang salah (Bg. 18.32). Akibatnya, pape yad ramate janah, orang-orang yang tersesat ini bersuka-ria dalam beranekaragam asubha karma, perbuatan buruk, jahat dan berdosa (SB. 12.2.29). Itulah sebabnya pada jaman modern ini perbuatan dan kegiatan yang tergolong asubha karma semakin berkembang.

Sisya: Apakah ada kaitannya antara pola hidup dengan karma yang dilakukan seseorang?

Guru: Pasti ada. Jika kita berpola hidup materialistik, melekat pada kesenangan badaniah yang bersumber dari pemuasan indriya jasmani, maka sifat-sifat asurik atau asuri sampad tumbuh subur mengotori hati kita. Dan atomatis kita akan sibuk dengan beraneka-macam asubha karma. Tetapi, jika kita berpola hidup spiritual dengan secara ketat mengendalikan indriya-indriya badan jasmani dengan menuruti berbagai tapa dan vrata, maka sifat-sifat kedewataan (daivi sampad) akan menghiasi hati anda. Dan otomatis kita akan dengan senang hati melakukan banyak subha karma.

Sisya: Lalu bagaimana nasib seseorang jika selama hidupnya selalu sibuk dalam beraneka-macam ashubha karma?

Guru: Sudah saya jelaskan bahwa asubha karma timbul dari asuri sampad, watak asurik (jahat). Watak asurik ini tumbuh dari pola hidup materialistik. Dikatakan, “nibandhayasuri mata, watak asurik mengikat orang di dunia fana (Bg. 16.5). Dengan kata lain, beraneka-macam asubha karma yang dilakukan seseorang selama hidupnya, menyebabkan dia terus terperangkap dalam lingkaran samsara, kelahiran dan kematian berulang kali.

Sisya: Lalu bagaimana dengan mereka yang selalu dalam kegiatan subha karma?

Guru: Subha karma muncul dari watak kedewataan (daivi sampad). Watak kedewataan ini lahir dari pola hidup spiritual. Dikatakan, “daivi sampad vimoksaya, watak dewani menuntun seseorang menuju moksa atau mukti, kelepasan dari kehidupan material yang selalu menyengsarakan (Bg. 16.5), dan kembali pulang ke dunia rohani yang sat cit ananda.

Sisya: Tapi kalau seandainya seseorang banyak melakukan subha karma, namun dia masih memiliki watak materialistik atau atheistik apa mungkin dia mencapai mukti juga Guru?

Guru: Orang yang anda sebut sebagai orang yang senantiasa melakukan subha karma tetapi berwatak material atau atheistik hanya ada dalam angan-angan anda saja. Sebab jika seseorang sudah berwatak materialistik ataupun atheistik, pasti dia banyak berbuat asubha karma selama hidupnya. Menurut Veda, ada orang-orang berwatak pamrih yang meyakini dan memanfaatkan ajaran Veda untuk mencapai kesenangan material yang lebih tinggi di alam fana ini dengan menuruti aturan-aturan hidup yang tercantum dalam kitab Karma Kanda Veda. Mereka disebut orang-orang karmi. Dikatakan bahwa dengan melakukan banyak subha karma dengan melaksanakan berbagai yajna atau korban suci kepada para dewa, setelah ajal mereka akan lahir di alam sorgawi. Di sana mereka hidup senang dalam kehidupan dewani (Bg. 9.20). Tetapi dikatakan lebih lanjut, “ksine punye martya-lokam visanti, setelah hasil dari subha karmanya habis dinikmati disana, mereka akan lahir lagi di Bumi (Bg. 9.21). Sedangkan nasib setelah ajal orang-orang materialistik dan atheistik yang tidak peduli pada petunjuk Veda dan sibuk dalam bermacam-macam asubha-karma sangatlah malang. Dikatakan bahwa mereka akan dicampakkan ke dalam samudra kehidupan material dengan lahir dalam berbagai jenis kehidupan rendah dan jahat. Mereka akan terus merosot dengan lahir dalam jenis-jenis kehidupan yang amat kotor dan menjijikkan (perhatikan Bg. 16.19-20).

Sisya: Saya menjadi agak bingung Guru. Sebelumnya anda menyatakan bahwa subha-karma menuntun orang kembali pulang ke dunia rohani yang kekal dan membahagiakan. Kemudian anda mengatakan bahwa subha karma mengantar orang mencapai kehidupan senang di alam sorgawi dan setelah subha karmanya habis akan kembali lahir di Bumi. Kenapa bisa demikian Guru?

Guru: Subha karma yang dilakukan secara tulus ikhlas semata-mata sebagai pelayan untuk menyenangkan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krishna tanpa rasa pamrih atau motif apapun, menuntun seseorang kembali pulang ke dunia rohani vaikuntha loka yang kekal dan membahagiakan. Melakukan subha karma seperti ini dengan kesadaran dan tujuan untuk menyenangkan Tuhan disebut bhakti. Sebab dikatakan, “Hrsikesa hrsikena sevanam bhaktir ucyate, menyibukkan seluruh indriya jasmani untuk melayani penguasa segala indriya (hrikesa) disebut bhakti” (Narada pancaratra). Hrsikesa adalah nama lain Sri Krishna. Sedangkan subha karma yang dilakukan secara pamerih dengan motif mendapatkan balasan kesenangan material melalui pemujaan kepada para dewa dengan bersembahyang berbagai macam yajna, mengantarkan seseorang mencapai alam sorgawi. Hendaklah diketahui bahwa sorga atau svarga loka tidaklah kekal. Sebab svarga loka adalah salah satu dari empat belas susunan planet yang ada di alam material ini.

Sisya: Subha karma sebgai pelayanan untuk memuaskan Krishna berarti bhakti. Lalu bagaimana cara melakukan bhakti ini?

Guru: Sri Krishna berkata, “yat karosi yaj asnasi yaj juhosi dadasiyat, yat tapasyasi kaunteya tad kurusva mad arpanam, O putra Kunti, apapun yang kamu lakukan, apapun yang kamu makan, apapun yang kamu dermakan, dan juga pertapaan apapun yang kamu jalankan, lakukanlah semua itu sebagai persembahan kepadaKu” (Bg. 9.27). Sloka ini sangat jelas mengungkapkan bahwa kita harus bekerja untuk Krishna.

Sisya: Bagaimana kita bisa membedakan tindakan subha karma yang ada dalam kalan bhakti kepada Tuhan dengan subha karma yang bermotif pamerih demi pahala?

Guru: Karma sudhi mad arpanam, perbuatan itu menjadi tersucikan jika dilakukan sebagai persembahan kepadaKu”. Kata Sri Krishna dalam Bhagavata Purana 11.21.15. Maksudnya, karma yang dilakukan tidak menimbulkan akibat apapun yang mengikat si pelaku di dunia fana. Dan dengan mempersembahkan hasil kerja tersebut kepada Tuhan, seseorang akan menjadi tersucikan. Inilah subha karma dalam bhakti kepada Tuhan yang membuat seseorang memiliki kualifikasi kembali pulang ke dunia rohani. Di dunia rohani, kita sebagai jiva rohani yang abadi dapat menikmati kebahagiaan sejati yang kekal (brahma sukha). Tetapi subha karma bermotif pamerih dalam pemujaan kepada para dewa menimbulkan pahala yang mengikat si pelaku di dunia fana dengan lahir kembali di alam sorgawi yang menyediakan kebahagiaan material semu dan sementara (maya sukha).

Sisya: Anda menjelaskan bahwa karma yang dilakukan sesuai prinsip-prinsip dharma, maka karma itu tergolong subha karma. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak ada karma apapun yang seratus persen baik. Misalnya seorang polisi, karena tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan, maka dia harus melakukan tindakan kekerasan melawan dan membunuh penjahat. Lalu bagaimana Veda menjelaskan hal ini?

Guru: Veda mengatakan bahwa sva-dharma atau tugas kewajiban setiap golongan sosial (varna) di masyarakat manusia pasti ada saja cacatnya. Begitulah, brahmana kadang-kadang harus berkorban binatang ke dalam api yajna. Seorang kesatriya harus berkelahi dan membunuh musuh di medan perang. Seorang vaisya harus berbohong agar bisa memperoleh keuntungan dalam bisnis. Dan seorang sudra harus melaksanakan pekerjaan yang secara fisik kejam, kotor dan menjijikkan. Semua cacat yang melekat pada karma ini berlawanan dari prinsip-prinsip dharma dan secara pasti menimbulkan akibat buruk yaitu dosa. Karena itu supaya terhindar dari dosa, Sri Krishna berulang kali meminta agar kita hanya bekerja untuk Beliau saja dengan menghaturkan hasil kerja sebagai persembahan kepadaNya. Beliau berkata, “yahnarthat karmanah, lakukan kerja itu untukKu sebagai yajna. Anyatra loko’ yam karma bandhanah, jika tidak, kerja itu hanya akan mengikat kamu di dunia fana ini (Bg. 3.9). mayi sarvani karmani, lakukan semua kerja itu untukKu (Bg. 3.30). Mat karma krn, lakukan kerja itu untukKu (Bg. 11.55). Mad-artham api karmani, laksanakan kerja itu dengan Aku sebagai tujuannya (Bg. 12.10)”. Demikianlah, dengan melaksanakan karma itu dalam bhakti kepada tuhan, kita bisa terlepas dari reaksi dosa yang mengikat kita di dunia fana.

Sisya: Apakah ini berarti bahwa prinsip bhakti yaitu bekerja untuk menyenangkan Tuhan membolehkan setiap orang berbuat dosa dalam batas-batas tertentu?

Guru: Dalam Veda tidak ada dikatakan bahwa orang boleh berbuat dosa dalam batas-batas tertentu atau boleh berbuat sedikit dosa. Oleh karena setiap karma yang terkait dengan svadharma setiap varna manusia pasti ada cacat atau dosanya, maka, supaya tidak terbelenggu oleh dosa, Veda meminta agar setiap orang melaksanakan svadharmanya atau svakarmanya masing-masing secara ketat dan mempersembahkan hasil kerjanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna untuk kesenanganNya semata. Dengan menuruti prinsip bhakti ini, seseorang dijamin mencapai kesempurnaan hidup. Dikatakan, “sva-karmana tam abyarcya siddhim vindati manavah, dengan mempersembahkan hasil kerja yang diperoleh dari melaksanakan tugas-kewajibannya pada Tuhan, manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup” (Bg. 18.46). Kesempurnaan hidup adalah mukti, kelepasan dari kehidupan material dunia fana yang menyengsarakan.

Sisya: Saya meyakini bahwa setiap karma pasti akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana seseorang bisa dikatakan tidak terkena reaksi dari setiap karma yang dilakukannya?

Guru: Seseorang dikatakan terkena akibat dari perbuatannya jika dia bekerja secara pamrih, yaitu bekerja untuk memuaskan indriya jasmaninya semata dalam usahanya hidup bahagia di dunia fana. Orang yang berkarma seperti itu disebut karmi. Berbuat atau bekerja secara pamrih dengan berbagai akibatnya secara umum disebut karma. Selanjutnya, seseorang dikatakan tidak terkena akibat dari karma yang dilakukannya jika dia bekerja tanpa keterikatan pada hasil, senantiasa merasa puas dan senang dalam bekerja, bebas dari rasa kepemilikan, bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup paling pokok agar bisa hidup sederhana, tidak terpengaruh oleh keberhasilan ataupun kegagalan (perhatikan Bg. 4.19-22) dan mempersembahkan hasil kerjanya sebagai yajna kepada Tuhan. Bekerja dalam bhakti tanpa menimbulkan akibat baik ataupun buruk seperti ini disebut akarma. Sedangkan segala perbuatan adharma, yaitu beraneka-macam asubha karma yang terlarang disebut vikarma. Segala vikarma mengakibatkan dosa dan menyebabkan mahluk hidup jatuh ke neraka setelah ajal dan kemudian lahir dan jenis-jenis kehidupan rendah dan hina.

Sisya: Jadi meskipun seseorang sibuk melakukan bermacam-macam karma, sebenarnya dia melakukan akarma jika dia tidak melekat pada hasil kerjanya. Apakah demikian Guru?

Guru: Ya. Karena itu dikatakan bahwa orang yang bisa mengerti karma sebagai akarma dan akarma sebagai karma disebut buddhiman, orang cerdas. Dan karena melaksanakan karma menjadi akarma, maka dikatakan, sa yuktah krtsna-karma-krt, dia bekerja pada tingkatan spiritual meskipun sibuk dalam beraneka macam kegiatan (Bg. 4.18).

Sisya: Akarma sebagaimana telah anda katakan adalah perbuatan tanpa menimbulkan akibat baik ataupun buruk yang mengikat si pelaku di dunia fana. Apakah bisa saya katakan bahwa orang yang tidak bekerja adalah orang yang melakukan akarma?

Guru: Apa yang anda maksud dengan tidak bekerja? Secara fisik mungkin seorang bisnisman rumah potong hewan terlihat diam saja dan tidak melakukan kegiatan apapun. Tetapi secara mental dia bekerja dengan keras karena dia memikirkan rencana perluasan bisnisnya karena perluasan rumah potong hewan yang dia rencanakan harus segera dioperasikan. Meskipun tidak aktif secara fisik, pengusaha ini harus terkena akibat buruk dari kegiatan menyembelih hewan setiap hari. Karena itu, orang yang terlihat secara fisik tidak bekerja bukan berarti akarma.

Sisya: Jadi kriteria pokok bahwa seseorang melakukan akarma hanya jika dia tidak terikat pada hasil kerja dan semata-mata sebagai pelayanan bhakti kepada Tuhan?

Guru: Betul. Dengan mempersembahkan hasil kerja kepada Tuhan, maka segala akibat baik ataupun buruk yang muncul dari pelaksanaan kerja itu ditiadakan. Dengan kata lain, pekerjaan dan si pelaku kerja menjadi tersucikan.

Sisya: Berdasarkan penjelasan anda tentang karma, akarma dan vikarma, kegiatan pelayanan bhakti kepada Tuhan adalah akarma. Apakah dengan demikian dapat dikatakan akarma adalah berhakekat spiritual?

Guru: Tepat sekali. Kegiatan pelayanan bhakti selamanya spiritual karena berhubungan langsung dengan Sri Krishna yang mutlak spiritual. Kegiatan pelayanan bhakti mensucikan sang bhakta karena berhubungan langsung dengan Krishna yang maha suci. Dan kegiatan pelayanan bhakti dikatakan akarma karena ia naiskarmya, meniadakan segala akibat baik ataupun buruk dari kegiatan kerja yang dilakukan. Seperti halnya matahari meniadakan bau harum ataupun bau busuk setiap tempat dengan sinarnya. Begitu pula, Sri Krishna meniadakan segala akibat baik ataupun buruk dari kegiatan kerja yang dilakukan sebagai pelayanan bhakti kepadaNya. Sri Krishna berkata, “tad kurusva mad arpanam, dengan menghaturkan segala hasil kegiatan yang dilakukan sebagai persembahan kepadaKu, subhasubha phalair evam moksyase karma bandhanaih, anda akan terbebaskan dari akibat kerja, baik ataupun buruk. Sannyasa yoga yuktatma vimukto mam upaisyasi, berdasarkan prinsip ketidakterikatan seperti ini, anda akan terbebas dari kehidupan material dan mencapai tempat tinggalKu” (Bg. 9.27-28). Pelayanan bhakti kepada Tuhan secara pasti meniadakan dosa yang timbul dari kegiatan kerja yang dilakukannya. Hal ini disampaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Krishna kepada bhaktanya Uddhava, “Seperti halnya api membakar kayu menjadi abu, tatha mad visaya bhaktir uddhaivainam sa krtsnah, begitu pula O Uddhava, pelayanan bhakti kepadaKu membakar menjadi abu kegiatan berdosa yang mungkin dilakukan oleh penyembahKu” (SB. 11.14.19). Beliau juga berkata, “bhaktir punati mam nistha svapakan api sambhavat, dengan melakukan pelayanan bhakti kepadaKu, bahkan si pemakan daging anjing sekalipun dapat disucikan dari kehidupan yang berdosa (SB 11.14………..). Brahma sang pencipta dunia fana berkata, “karmani nirddhati kintu ca bhakti bhajam, pelayanan bhakti (kepada Sri Govinda) menghapus segala akibat buruk yang timbul dari kegiatan-kerja” (Brahma Samhita 4.54).

Sisya: Mengapa untuk bisa kembali pulang ke dunia rohani, seseorang harus bebas dari akibat baik subha karma dan juga dari akibat buruk asubha karma?

Guru: Sebab akibat baik subha karma dan akibat buruk asubha karma sama-sama mengikat mahluk hidup di alam material. Pahala baik subha karma mengikat sang jiva di alam fana dengan kesenangan material yang semu dan sementara (maya sukha). Sedangkan pahala buruk dari asubha karma mengikat sang jiva dalam alam kesengsaraan dan penderitaan. Karena itu untuk bisa kembali pulang ke alam rohani, seseorang harus bebas dari segala akibat subha karma dan asubha karma.

Sisya: Pada umumnya semua orang waras tahu apa itu subha karma dan asubha karma. Tetapi mengapa begitu gampangnya orang melakukan tindakan asubha karma?

Guru: Karena mereka terseret arus tri guna, tiga sifat alam material, yaitu sattvam, rajas dan tamas dalam kadar yang berbeda-beda. Jika sitaf alam sattvam dominan menyeliputi diri seseorang, maka dia akan menjadi orang baik yang senang melakukan subha karma. Jika lebih banyak diselimuti oleh sifat rajas, maka dia akan menjadi orang serakah dan banyak melakukan perbuatan asubha karma dengan merusak kehidupan mahluk lain. Jika sifat alam tamas yang dominan menyelimuti, maka dia akan dikenal sebagai orang bodoh dan malas yang cenderung asubha karma.

Sisya: Jadi apakah hanya orang yang dominan diliputi sifat sattvam yang bisa melakukan subha karma?

Guru: Ya, sebab dikatakan, “sattvam sanjayate jnanam, dari sifat alam sattvam berkembang pengetahuan spiritual” (Bg. 14.17). Pengetahuan spiritual membuat seseorang insaf akan diri dan berwatak dewani. Dan dari watak dewani ini lahir bemacam-macam subha karma.

Sisya: Dapatkah anda memberikan contoh-contoh praktis dalam kehidupan bahwa setiap orang berkarma sesuai dorongan sifat-sifat alam material yang paling dominan menyelimuti?

Guru: Tuan Amri tahu bahwa berzinah adalah perbuatan berdosa, tetapi mengapa dia melakukannya juga? Sebab sifat alam rajas yang sangat tebal menyelimuti dirinya memaksa dia melakukan asubha karma yang terlarang ini. Tuan Murad tahu bahwa jika dirinya disiksa, dia akan menderita bukan kepalang, tetapi mengapa dia senang menyiksa binatang? Sebab sifat alam tamas amat tebal menyelimuti dirinya sehingga dia senang melihat mahluk lain menderita. Tuan Minas menolak secara sopan dan halus ikut serta dalam safari membunuh binatang sebab dia ada dalam sifat alam sattvam.

Sisya: Dikatakan dalam Veda bahwa kondisi kehidupan orang-orang dimasyarakat berbeda-beda antara satu dengan yang lain karena perbuatan mereka berbeda-beda dalam masa penjelmaan sebelumnya. Dapatkah anda menjelaskan hal ini secara ringkas?

Guru: Menurut Veda, setiap karma pasti menimbulkan pahala. Ini disebut hukum karma phala atau hukum sebab akibat. Dikatakan bahwa ada karma yang seketika menghasilkan phala yang disebut prarabha karma. Contohnya saat kita memakan cabai, maka seketika itu juga kita merasakan pedas. Ada karma yang phalanya baru dirasakan beberapa waktu kemudian dalam masa kehidupan sekarang ini yang disebut kriyamana karma. Contohnya, Tuan Dany tiba-tiba masuk penjara karena baru diketahui melakuan perampokan setahun yang lalu. Dan ada karma yang phalanya akan dirasakan pada masa penjelmaan berikutnya yang disebut sancita karma. Contohnya sang majikan menyiksa si pembantu sampai menderita cacat fisik. Karena berhasil menyogok hakim, sang majikan berhasil bebas dari jeratan hukum. Tetapi dia pasti akan merasakan akibatnya dalam masa penjelmaannya yang akan datang. Jadi dari ketiga macam karma ini, sancita karma lah yang menentukan kondisi kehidupan setiap orang dalam penjelmaan berikutnya. Sancita karma ini sering diistilahkan sebagai hutang karma, sebab phalanya belum dijalani. Oleh karena setiap orang memiliki hutang karma dalam kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda, maka kondisi kehidupan mereka dalam penjelmaan sekarang berbeda-beda.

Sisya: Apa hubungan karma phala dengan takdir, nasib dan usaha Guru?

Guru: Takdir adalah kondisi kehidupan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam aspekNya sebagai Paramatma berdasarkan kualitas dan kuantitas hutang karma, dan akan dijalani oleh sang mahluk hidup dalam penjelmaan berikutnya. Kondisi kehidupan yang telah ditetapkan ini mencakup lima hal yaitu: usia, pekerjaan, rejeki, pengetahuan dan kematian. Dikatakan, “ayuh karma ca vittam ca vidya nidhanam eva ca pancaita ni hi srjyante garbhasthasyeya dehinah, usia, pekerjaan, kekayaan, pengetahuan dan kematian telah ditentukan semasih seseorang berada dalam kandungan: (CN 4.1). Nasib adalah akibat baik atau buruk, menyenangkan atau menyengsarakan dari takdir. Sedangkan usaha adalah perbuatan yang dapat dilakukan seseorang agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik dalam penjelmaan berikutnya.

Sisya: Jika saya ditakdirkan hidup sengsara, bagaimana mungkin saya bisa berusaha sehingga sukses merubah nasib saya menjadi lebih baik?

Guru: Usaha anda memperoleh nasib jelek jadi baik dalam masa kehidupan sekarang ini mungkin tidak berhasil sebagai akibat hutang karma anda yang belum lunas. Tetapi usaha anda untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dalam penjelmaan berikutnya dengan melakukan berbagai subha karma dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan dijamin berhasil. Karena itu, Veda menasehati agar kita sebagai manusia beragama hendaknya senantiasa tabah dan sabar menjalani penderitaan sambil terus berusaha keras menyibukkan diri dalam pelayanan bhakti kepada Beliau.

Sisya: Dapatkah anda menjelaskannya lebih jelas lagi?

Guru: Begini, jika kita memiliki uang sedikit diibaratkan takdir, maka nasib kita adalah naik kereta api kelas ekonomi untuk sampai tujuan. Kita tidak bisa merubah keadaan gerbong yang pengap dan duduk berdesakan menjadi suasana yang menyenangkan. Kita harus menjalaninya dengan sabar. Sementara duduk tidak nyaman seperti itu, kita masih punya kesempatan dan kebebasan memanfaatkan waktu. Kita bisa saja tidur, baca koran, atau ngobrol dengan penumpang lainnya. Jika kita duduk saja sambil tidur, berarti kita menyia-nyiakan waktu. Tetapi dengan membaca koran mencari lowongan pekerjaan dan membicarakannya dengan penumpang lain maka ada kemungkinan kita menemukan pekerjaan yang lebih baik yang membuat kehidupan kita menjadi lebih baik pula. Begitulah, hidup melarat sekarang adalah takdir bagi kita sehingga dikatakan kita bernasib malang. Tetapi sementara kita harus tabah hidup sengsara, kita punya waktu dan kesempatan melakukan berbagai subha karma agar dalam penjelmaan berikutnya kita bisa menikmati kehidupan yang lebih baik. Jika tidak berusaha berbuat kebaikan, itu artinya kita menyia-nyiakan hidup kita sebagai manusia.

Sisya: Jadi apakah itu artinya setiap orang yang memiliki sancita karma maka dia pasti mengalami punarbhava atau kelahiran kembali?

Guru: Ya, dikatakan oleh Veda, “deho’ pi daiva vasagah khalu karma yavat, badan jasmani yang bekerja di bawah kendali Tuhan, akan terus diperoleh (sang jiva) selama ia masih memiliki hutang karma (SB. 11.13.37). Dengan kata lain, selama kita masih memiliki hutang karma, kita harus berpunarbhava dalam berbagai jenis kehidupan di dunia fana. Jika semua hutang karma kita telah lunas, barulah kita bisa kembali pulang ke dunia rohani.

Sisya: Sancita karma atau hutang karma menyebabkan punarbhava. Bagaimana proses terjadinya punarbhava ini Guru?

Guru: Segala macam karma yang pahalanya belum terjadi dan disebut hutang karma, terekam dalam manah (pikiran) yang merupakan salah satu unsur badan jasmani halus mahluk hidup. Pada saat ajal, karma yang paling sering dilakukan dan paling disenangi membentuk suasana mental dalam pikiran. Suasana mental ini disebut paham kehidupan. Dan paham kehidupan ini adalah keinginan menikmati alam material dengan cara dan pola tertentu. Paham kehidupan ini menentukan jenis kehidupan atau badan jasmani yang akan diperoleh sang jiva ketika berpunarbhava atau lahir kembali ke dunia fana. Demikianlah proses terjadinya punarbhava ini.

Sisya: Jika memang demikian, bila seseorang selama hidupnya hanya sibuk dengan kegiatan memuaskan indriya jasmani sehingga mentalitas babi terbentuk dalam pikirannya. Apakah ini berarti dia akan menjelma menjadi babi?

Guru: Pasti. Oleh karena kegiatan pesta pora menyantap beraneka macam makanan dan minuman di berbagai tempat menyelimuti pikirannya pada saat ajal, maka mentalitas babi terbentuk dalam pikirannya. Dia ingat pada kegiatan pesta pora seperti itu pada saat ajal. Dan itu berarti dia ingin melakukannya lagi. Sri Krishna maha pemurah. Apapun yang diinginkan oleh mahluk hidup pada saat meninggalkan ajal pasti dikabulkan olehNya. Karena itu Beliau berkata, “yam yam vapi smaram bhavam tyajaty ante kalevaram tatm tam evaiti kaunteya sada tad bhava bhavitah, keadaaan apapun yang diingat oleh seseorang ketika meninggalkan badan jasmaninya, pasti keadaan itu yang akan dia peroleh” (Bg. 8.6).

Sisya: Hukum karma phala adalah hukum sebab akibat, seperti misalnya jika kita menanam jagung, maka pasti akan menghasilkan jagung. Tetapi mengapa hanya karena ingat pada kegiatan pesta pora pada saat kematian menyebabkan orang bereinkarnasi menjadi babi? Bagaimana ini bisa terjadi?

Guru: Hukum karma phala tidaklah sesederhana seperti yang kita pikirkan. Ia amat rumit. Seseorang melakukan berjuta-juta karma selama hidup di dunia fana. Karena itu dia harus merasakan berjuta-juta pahala yang timbul dari karmanya itu. Ketika ajal, segala hutang karma yang amat banyak itu tersimpulkan dalam pikiran berupa suasana mental atau faham kehidupan. Dan faham kehidupan ini menentukan jenis badan jasmani dalam punarbhava berikutnya. Begitulah, ingatan pada kenikmatan pesta pora pada saat kematian melahirkan mentalitas babi dalam pikiran. Dan dari mentalitas babi ini kemudian sang mahluk hidup lahir sebagai babi.

Sisya: Jadi jutaan hutang karma beserta pahalanya melahirkan jutaan mentalitas atau faham kehidupan dalam pikiran. Dan jutaan faham kehidupan ini melahirkan jutaan jenis kehidupan atau badan jasmani. Apakah demikian?

Guru: Betul. Menurut Veda, di alam semesta material kita ini terdapat 8.400.000 jenis badan jasmani yang disediakan oleh sang pencipta Brahma untuk menampung paham kehidupan atau mentalitas yang dikembangkan oleh setiap mahluk hidup. Jutaan jenis badan jasmani ini terinci sebagai berikut. 400.000 jenis humanoid, 3.000.000 jenis binatang dan reptil, 1.000.000 jenis burung, 100.000 jenis serangga, 2.000.000 jenis pohon dan tanaman dan 900.000 jenis kehidupan aquatik.

Sisya: Bagaimana anda menjelaskan berdasarkan hukum karma phala tentang suasana kehidupan manusia yang amat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya di masyarakat?

Guru: Itu ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hutang karma setiap orang. Seseorang hidup sebagai pengemis karena banyak memiliki hutang asubha karma. Seseorang hidup mewah sebagai raja karena memiliki banyak hutang subha karma. Seseorang hidup sebagai petani miskin karena memiliki sedkit hutang subha karma dan banyak hutang asubha karma. Dan sebagainya.

Sisya: Bagaimana peranan Tuhan dalam pelaksanaan hukum karma phala yang mengikat kehidupan segala mahluk di alam material ini?

Guru: Veda menjelaskan sebagai berikut. Tuhan dalam aspeknya sebagai Paramatma menjadi saksi (upadrasta) atas segala karma yang dilakukan oleh mahluk hidup dengan badan jasmani yang dihuninya. Kemudian Beliau sebagai Paramatma bertindak sebagai penentu (anumana) akibat atas perbuatan yang dilakukan oleh sang mahluk hidup (perhatikan Bg. 13.23). Perpindahan sang jiva dari badan lama ke badan baru sesuai dengan hutang karmanya dilaksanakan oleh para dewa pengendali urusan material dunia fana di bawah pengawasan Tuhan. Dikatakan, “Karmana daiva netrena jantur dehopapattaye stryah pravisto udaram pumso retah kanasrayah, di bawah pengawasan Tuhan Yang Maha Esa yang sesuai dengan perbuatannya, sang mahluk hidup dimasukkan ke dalam rahim si ibu melalui mani sang ayah untuk memperoleh badan jasmani baru tertentu” (SB. 3.31.1)

Sisya: Apakah pengetahuan tentang hukum karma phala dan punarbhava ini dapat dikatakan ilmiah Guru?

Guru: Pengetahun spiritual karma phala dan punarbhava ini dimengerti berdasarkan logika, rasional dan filsafat yang berpondasi pada sraddha, kepercayaan dan keyakinan teguh bahwa semua penjelasan Veda tentang kehidupan adalah kebenaran meskipun tidak semuanya bisa dilihat dengan mata. Jikalau ilmiah berarti bisa dibuktikan secara logika, rasional dan filosofis, maka pengetahuan karma phala dan punarbhava ini sangat ilmiah. Tetapi jika ilmiah semata-mata dimengerti bisa dilihat mata, dirasakan panca indria dan dibuktikan secara empiris, maka hukum karma phala dan punarbhava bukan pengetahuan ilmiah seperti yang dimengerti yang dimengerti oleh para sarjana duniawi yang berwatak materiastik.

Sisya: Mereka yang tidak mengakui hukum karma phala dan punarbhava mengatakan bahwa pengetahuan yang dikatakan spiritual ini hanyalah khayalan belaka.

Guru: Itu adalah pendapat orang-orang yang tidak mau berpikir dan berbicara berdasarkan logika, rasional dan filsafat. Mereka berpegang teguh pada pernyataan-pernyataan dogmatik ajaran rohani yang dianutnya. Dikatakan bahwa kodisi kehidupan yang berbeda-beda di masyarakat manusia adalah hasil pengaturan Tuhan Yang Maha Adil dan Bijak. Manusia tidak perlu mempermasalahkannya. Begitu mereka berkata. Tetapi pendapat dogmatik ini tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan tentang kondisi kehidupan manusia yang berbeda-beda. Pengetahuan spiritual (jnana) Veda ini berbicara tentang roh (jiva), badan jasmani, perbuatan baik dan buruk beserta akibat-akibatnya dan alam dunia yang juga diajarkan dalam semua kitab suci selain Veda. Lalu mengapa pengetahuan tentang karma dan reinkarnasi ini dikatakan khayalan belaka?

Sisya: Karma-phala adalah hukum sebab-akibat, aksi-reaksi. Karena itu, tidakkah dapat dikatakan bahwa hukum ini secara langsung mengajarkan manusia untuk membenarkan perbuatan jahat, amoral dan tindak kekerasan balas-dendam yang dilakukan oleh setiap orang?

Guru: Tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa karma-phala adalah hukum balas-dendam. Hanya orang yang mengkhayal secara tidak waras berkata bahwa dirinya membunuh si sahabat karena sahabatnya itulah membunuh dirinya dalam penjelamaan sebelumnya. Akibatnya adalah dia harus tinggal di penjara seumur hidup. Atau dia dihukum mati jikalau hukuman mati diberlakukan di negerinya. Hanya orang jahat berkata bahwa perbuatan korupsi yang dilakukannya adalah hasil (phala) dari subha-karma yang dilakukannya dalam penjelmaan sebelumnya, sehingga sekarang dirinya mendapat kesempatan bagus untuk mengumpulkan uang secara mudah. Jika selama hidupnya dia tidak terjerat oleh hukum, maka dalam penjelmaan berikutnya dia pasti akan merasakan pahalanya yang menyengsarakan. Veda mengajarkan bahwa hidup sebagai manusia adalah kesempatan bagus untk melakukan berbagai subha-karma agar hidup bahagia.

Sisya: Dikatakan oleh para penganut ajaran non-Vedic bahwa hukum karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi) sesungguhnya tidak mencerminkan keadilan dan kebijaksanaan Tuhan. Sebab, kata mereka, bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sampai hati menghukum anak kecil yang tidak tahu apapun tentang dirinya, dikatakan telah berbuat dosa dalam penjelmaan sebelumnya?

Guru: Veda mengajarkan agar saya dan anda mengerti kebenaran bukan dengan penglihatan berdasarkan pengetahuan spiritual Veda. Bila anda melihat dengan mata telanjang, lalu bagaimana anda harus menjelaskan bahwa Tuhan sungguh Maha Adil, Maha Bijak, dan Maha Benar dengan mentakdirkan si kecil Joseph lahir di satu keluarga amat miskin di gurun Ogaden Ethiopia dengan pakaian amat kotor compang-camping, tubuh amat kurus hanya tinggal tulang dibalut kulit akibat kekurangan makan selama bertahun-tahun. Sedangkan si kecil Johny lahir di Istana Buckingham dengan beraneka-macam kenyamanan dan kemewahan hidup. Mengapa Joseph harus hidup amat menderita seperti itu sedangkan Johny hidup amat nyaman dan senang?

Sisya: Jika seseorang dihukum, maka dia harus tahu sebab/ alasan dirinya dihukum. Oleh karena berdasarkan prinsip-prinsip karma dan punarbhava setiap orang tidak tahu pasti mengapa dirinya hidup menderita, lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa hukum karma-phala adalah wujud keadilan dan kebijaksanaan Tuhan?

Guru: Bila seorang penganut ajaran Veda berkata bahwa dia tidak tahu sebab-musabab dirinya hidup sengsara, maka dia sesungguhnya bukan penganut ajaran Veda. Oleh karena tidak pernah membaca dan mempelajari Veda, maka dia tidak tahu sebab dirinya hidup menderita. Veda telah menjelaskan secara panjang lebar tentang beraneka macam perbuatan (karma) dan akibat (phala) nya yang harus dirasakan oleh Sang Jiva berjasmani manusia yang melakukannya. Manusia yang disebut makhluk paling tinggi, paling cerdas, dan paling beradab wajib mempelajari Veda dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Karena itu, tidak adalah alasan untuk berkata, “Saya tidak tahu kenapa hidup melarat seperti ini, dan hukum karma-phala bukanlah wujud keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.”

Sisya: Bukankah tidak logis mengatakan bahwa orang yang sekarang hidup miskin dan melarat adalah penjahat dalam masa kehidupan/ penjelmaan yang telah lewat?

Guru: Jika kehidupan setiap orang dianggap bermula ketika lahir dan berakhir kelak ketika mati; atau jika kehidupan setiap orang dianggap hanya berlangsung sekali ini saja, tidak ada kehidupan material sebelum dan sesudah kehidupan sekarang, maka tidaklah logis mengatakan bahwa si Murad yang kini hidup sebagai pengemis, adalah seorang penjahat dalam kehidupan/ penjelmaan sebelumnya. Tetapi Veda menyatakan bahwa masa kehidupan setiap orang yang kini sedang berlangsung, adalah bagian kecil saja dari banyak kehidupan dalam masa pengembaraannya nan panjang dan lama di alam material untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu kembali pulang ke alam rohani Vaikuntha-Loka nan kekal dan membahagiakan. Karena itu, bukanlah tidak logis mengatakan bahwa si Murad yang sekarang hidup sebagai pengemis, adalah seorang penjahat dalam masa kehidupan/ penjelmaan sebelumnya.

Sisya: Mereka yang menolak adanya hukum karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi), berkata bahwa ingatan dan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masa penjelmaan sebelumnya hanyalah khayalan belaka. Dan dengan mengakui prinsip-prinsip karma dan reinkarnasi hanya menyebabkan pikiran dipenuhi khayalan. Apa komentar anda terhadap pernyataan ini?

Guru: Bila seseorang berpikir berdasarkan nalar pikiran materialnya sendiri dan ditopang oleh kecerdasannya yang terbatas dan tidak sempurna tentang peristiwa-peristiwa dalam masa kehidupan sebelumnya, maka itu disebut khayalan. Tetapi jika seseorang berpikiri berdasarkan logika, rasionalitas, dan filsafat yang berfondasikan sraddha kepada kitab suci Veda tentang kehidupan di mana-mana yang telah lewat, maka itu disebut jnana, pengetahuan spiritual yang sungguh bermanfaat sebagai pedoman hidup.

Sisya: Cacat fisik yang diderita bukanlah akibat (phala) dari perbuatan jahat (asubha-karma) yang dilakukan seseorang dalam masa penjelmaan sebelumnya, tetapi karya setan. Bagaimana tanggapan anda akan hal ini?

Guru: Tuan Pardi dan Nyonya Mira adalah suami-istri dermawan, baik budi, tidak pernah jahat terhadap orang lain. Jika putranya yang cacat fisik adalah karya setan, mengapa Tuhan membiarkan setan berbuat sewenang-wenang? Mengapa Tuhan menimpakan kemalangan kepada mereka yang tergolong bajik ini? Atau mengapa dan apa alasan Tuhan mengijinkan setan membuat anak mereka cacat fisik seumur hidup? Dimana letak keadilan dan kebijaksanaan Tuhan? Bagi orang yang tidak suka merenung dan tidak langsung merasakan derita mental seperti yang dialami oleh Tuan Pardi dan Nyonya Mira, maka jawaban dogmatik, “Itu sudah menjadi kehendak Tuhan”, mungkin bisa memuaskan. Tetapi bagi Pardi dan Mira yang menanggung derita mental demikian, jawaban dogmatis ini tentu saja sangat tidak menyenangkan dan memuaskan.

Sisya: Lalu bagaimana pendapat anda tentang terapi hipnotis yang membuktikan bahwa punarbhava adalah fakta?

Guru: Itu adalah cara sederhana yang tidak sempurna. Sebab informasi tentang kehidupan sekarang, kerapkali terungkap secara campur aduk atau tidak sistematik. Sehingga informasi yang diperoleh dengan memundurkan ingatan seseorang jauh ke masa silam sering membingungkan dan menjadi tidak masuk akal.

Sisya: Lalu bagaimana cara anda meyakini kebenaran hukum karma dan punarbhava ini?


Guru: Pertama, berdasarkan pemikiran logis, rasional dan filosofis yang berpondasi pada sradha kepada kitab suci Veda. Kedua, berdasarkan fakta, yaitu kondisi kehidupan individual yang berbeda-beda membenarkan tentang bekerjanya hukum karma phala dan punarbhava dalam kehidupan di dunia ini.

Sisya: Bukankah sangat logis menyatakan bahwa si bayi yang baru lahir memang suci, tidak ternoda oleh dosa apapun sebab ia belum terkena karma karena dia belum bisa berkegiatan?


Guru: Jika anda hanya percaya pada penglihatan mata yang tidak sempurna, maka anda berkata begitu yakin setiap bayi lahir suci tanpa dosa. Renungilah fakta berikut ini. Dalam sebutir biji beringin yang amat kecil dan ringan, telah terkandung potensi pohon yang sangat besar sehingga jika ditanam, biji tersebut akan tumbuh menjadi satu pohon beringin amat besar. Begitu pula dalam pikiran si bayi telah tersimpan beraneka macam hutang karma bajik ataupun buruk yang menentukan apakah dia kelak menjadi orang bajik atau jahat, orang cerdas atau bodoh, hidup senang atau sengsara. Karena itu jika anda berpikir hanya berdasarkan penglihatan mata, maka anda berpikir tidak lebih cerdas dari si anak kecil yang berkata kepada ayahnya begini, “papa, biarlah anak macan yang mungil dan lucu ini menjadi teman sepermainanku”. Hanya orang-orang yang tidak cerdas yang berkata bahwa si bayi bagaikan kertas putih yang belum ditulisi beraneka-macam pengalaman hidup sesuai dengan alam lingkungannya.


Sisya: Tetapi tidakkah benar bahwa suasana dan keadaan alam lingkungan menentukan nasib seseorang?

Guru: Jikalau benar demikian, mengapa tiga orang bersaudara yang dibesarkan dalam satu keluarga dan dalam lingkungan sama, dididik dengan cara sama, diberikan makanan sama dan diperlakukan sama, harus dan pasti bernasib berlainan?

Sisya: Anda telah menjelaskan bahwa orang berbuat asubha-karma karena sifat alam rajas dan tamas yang begitu tebal menyelimuti dirinya. Tetapi para pengikut ajaran non-vedic mengatakan bahwa orang berbuat jahat karena godaan setan. Bagaimana menurut anda Guru?


Guru: Pertama, apa sebenarnya setan itu? Apakah ia mahluk hidup seperti manusia pula? Menurut mereka, setan adalah maluk hidup yang bisa berkembang biak dan beranak cucu seperti kita. Tetapi setan selalu berkegiatan berdosa menyesatkan manusia dari jalan ketuhanan dan dengan demikian hidupnya akan berakhir di neraka selamanya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Tuhan yang maha adil, maha tahu, bijak dan benar mentakdirkan roh-roh tertentu yang menjadi anak-cucu setan dan kelak menjadi penghuni neraka abadi? Oleh karena pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara logis dan rasional, maka beberapa orang tertentu yang bergelar sarjana agama penganut ajaran agama yang katanya paling mutakhir mengartikan setan sebagai virus kejahatan yang bisa berbiak, lalu menyebar kemana-mana dan menyebabkan banyak orang berbuat jahat. Kedua, Veda menyatakan bahwa apa yang disebut setan adalah salah satu saja dari sekian banyak mahluk halus bertabiat jahat dan termasuk golongan bhuta. Oleh karena begitu tebal diliputi sifat alam tamas, maka sang mahluk hidup berjasmani setan atau bhuta ini senang melakukan perbuatan mencelakakan dan menyesatkan mahluk hidup lain. Begitu pula jika diri seseorang begitu tebal diliputi sifat alam tamas, maka otomatis dia berwatak kesetanan, jahat dan senang menyusahkan mahluk lain. Veda menjelaskan lebih lanjut bahwa jika sifat alam tamas begitu tebal menyelimuti diri seseorang, maka dia menjadi bertabiat demonic atau asurik dan disebut demon atau asura. Karena berperingai asurik, jahat, maka dia senang melakukan perbuatan merusak kehidupan mahluk lain.


Sisya: Para penganut ajaran non-vedic juga mengatakan bahwa paham punarbhava tidak logis dan tidak rasional, karena mengajarkan bahwa manusia bisa lahir menjadi binatang. Bagaimana saya bisa menjelaskan hal ini kepada mereka Guru?


Guru: Mereka mengatakan hal itu karena tidak mampu membedakan jiva spiritual yang abadi dengan badan material yang bersifat sementara ini. Hidup manusia dimaksudkan untuk menginsyafi diri sebagai jiva yang sejati dalam hubungannya dengan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna. Pondasi keinsyafan diri adalah pengendalian indriya-indriya jasmani dengan menuruti berbagai tapa dan vrata. Dengan cara demikian seseorang bisa senantiasa berpikir tentang Beliau dan selalu ingin bersamaNya dalam hubungan cinta kasih bhakti. Pada saat ajal, dia hanya ingat Tuhan, maka Tuhan yang maha bijaksana dan pemurah dengan senang hati menganugrahkan badan spiritual kepadanya dan selanjutnya dia tinggal bersama Beliau di alam rohani Vaikuntha Loka. Tetapi jika manusia menggunakan badan jasmaninya semata-mata untuk menikmati kesenangan duniawi sehingga mentalitas babi atau anjing menyelimuti pikirannya pada saat ajal; maka Tuhan yang maha bijaksana dengan senang hati akan menganugrahkan badan babi atau anjing kepadanya agar dia bisa merealisasikan mentalitas kebinatangannya di dunia fana.


Sisya: Banyak juga para sarjana filsafat dan kalangan non-vedic menyatakan bahwa ajaran karma dan punarbhava tidak mampu menjelaskan asal-usul dosa dan kemalangan yang menimpa manusia. Betulkah demikian Guru?

Guru: Mereka menyatakan demikian karena menganggap filsafat mayavada yang juga dikenal dengan sebutan advaita-vada atau vivarta-vada adalah filsafat Veda yang sebenarnya. Penganut filsafat mayavada yang disebut mayavadi tidak mengakui adalah Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebgai aspek ketuhanan yang tertinggi. Sehingga mereka tidak mau menerima penjelasan Veda bahwa dirinya jatuh ke alam material ini karena telah meninggalkan kedudukan dasarnya sebagai pelayan Tuhan di dunia rohani. Dengan teori spiritualnya sendiri, orang-orang mayavadi tidak bisa menjelaskan secara rasional bahwa jika dirinya pada hakekatnya adalah Tuhan (Brahman) pula, lalu mengapa dirinya bisa dikhayalkan oleh maya hingga jatuh ke dunia fana dan selanjutnya hanyut dalam samudra derita kehidupan material?

Sisya: Mereka juga mengatakan bahwa ajaran karma dan punarbhava berlawanan dari hakekat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


Guru: Pertama, apakah yang akan dilakukan oleh seorang ayah yang bijak jika putranya berbuat kesalahan yang merusak kehidupan keluarganya? Tentu saja sang ayah menghukum si anak setimpal dengan kesalahannya itu. Jika tidak, sang ayah bukanlah orang bijak tetapi manusia tolol. Dan Tuhan tidak pernah berbuat bodoh seperti itu. Dengan tinggal di neraka selama beberapa waktu untuk menjalani hukuman dan kemudian lahir kembali dalam kehidupan yang lebih rendah, sang jiva merasakan derita akibat kesalahan yang telah diperbuatnya. Kemudian, melalui proses evolusi spiritual, ia kembali memperoleh kesempatan dengan lahir sebagai manusia sehingga memungkinkannya kembali pulang ke dunia rohani. Kedua, apakah ajaran yang menyatakan, “Orang yang berbuat dosa selama hidup di Bumi akan disiksa di neraka selamanya”, tidak lebih berlawanan dari pada hakekat Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang? Tindakkah hukuman kekal di neraka lebih kejam daripada merosot jatuh dalam kehidupan yang lebih rendah dan kemudian memperoleh lagi kesempatan lahir sebagai manusia untuk pulang ke dunia rohani?

Sisya: Kenyataan menunjukkan bahwa pada jaman modern dewasa ini kebanyakan manusia hidup dengan tidak menuruti petunjuk kitab suci. Dengan kata lain, kebanyakan manusia berdosa, sehingga menurut prinsip karma dan punarbhava, mereka kelak lahir dalam jenis kehidupan lebih rendah yaitu sebagai binatang, serangga atau cacing. Tidakkan ini menunjukkan bahwa kitab suci Veda tidak mengakui adanya program penyelamatan oleh Tuhan agar manusia tidak merosot jatuh dengan lahir sebagai hewan?


Guru: Veda menjelaskan bahwa bilamana praktek dharma merosot dan praktek adharma merajalela di masyarakat manusia, maka pada saat itu juga Tuhan sendiri akan turun ke dunia fana untuk membasmi mereka yang berkegiatan adharma dan menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma (Bg. 4.7-8). Tetapi jika Tuhan menganggap belum perlu datang sendiri ke dunia fana, maka Beliau mengirim utusanNya yaitu orang-orang suci dari waktu ke waktu untuk membimbing keselamatan spiritual kepada manusia agar manusia tidak merosot dengan lahir sebagai hewan. Inilah program penyelamatan yang berlangsung dari jaman ke jaman. Karena ada program penyelamatan yang berkesinambungan seperti itu oleh Tuhan, maka manusia banyak mendapat sastra-vibhinah, kitab suci yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi kehidupan manusia dimana kitab suci tersebut diturunkan. Pada jaman modern ini, Tuhan telah pula meluncurkan program penyelamatanNya yaitu Hari Nama Sankirtana yang dimulai sejak sekitar 500 tahun yang lalu ketika Beliau ber-avatara ke dunia fana dalam wujud seorang penyembahNya sendiri dengan nama Sri Chaitanya Mahaprabhu.

Sisya: Orang-orang yang berkesadaran materialistik berkata, “Hukum karma phala adalah hukum sebab akibat, sehingga setiap orang jahat kelak merosot dan otomatis lahir (ber-reinkarnasi) sebagai hewan. Tetapi mengapa Veda menyatakan bahwa setiap pendosa dihukum oleh deva tertentu pula? Bukankah ini penjelasan tidak logis dan tidak rasional?”


Guru : Saya balik bertanya, apakah setiap aturan atau ketentuan hukum yang dilanggar oleh seseorang dengan sendirinya menyebabkan orang itu datang sendiri ke penjara? Dan apakah ada orang yang mau menghukum/ menyiksa dirinya sendiri atas segala dosa yang diperbuanya? Kalau ada hukum, maka harus ada aparat atau penegak hukum. Jika tidak, hukum tidak bisa diberlakukan. Karena itu, Veda menjelaskan bahwa pada saat ajal para pendosa diseret ke neraka oleh para Yama-duta (utusan Yama, dewa kematian), kemudian si pendosa (sebagai jiwa abadi-rohani) dimasukkan oleh dewa lain yang berwenang ke dalam badan jasmani baru tertentu sesuai dengan macam kesadarannya pada saat ajal untuk meneruskan keinginannya menikmati alam material. Mereka yang berkesadaran materialistik ini berkata begitu, sebab mereka selalu berpikir bahwa segala sesuatu terjadi di alam material secara mekanis. Tidak ada Tuhan sebagai pengendali tertinggi alam material ini. Dan tidak pula ada dewa-dewa pengendali urusan material dunia fana yang bertindak sebagai bawahan Beliau dan melaksanakan perintah-perintahnya.


Sisya : Menurut ajaran karma dan punarbhava (reinkarnasi), sang makhluk hidup (jiva) harus mengalami proses evolusi spiritual lama dan panjang untuk mencapai kesempurnaan yaitu hidup suci-rohani agar bisa kembali berhubungan dengan Tuhan dan tinggal bersama-Nya di alam rohani. Tidakkah ini berarti ia (sang makhluk hidup) harus menderita amat berkepanjangan dalam beraneka macam badan jasmani binatang, reptil, serangga, dan makhluk rendah lain, suatu fakta bahwa ajaran karma dan reinkarnasi bertentangan dari hakekat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang?

Guru : Veda menyatakan bahwa badan jasmani adalah ibarat pakaian bagi sang makhluk hidup (jiva)—Bg 2.22. Apakah dengan berganti pakaian anda menjadi menderita? Tentu saja tidak. Veda menyatakan pula bahwa badan jasmani adalah ibarat kendaraan bagi sang jiva (Bg. 18.61). Apakah dengan berganti kendaraan anda jadi sengsara? Tentu saja tidak. Dengan berganti pakaian atau kendaraan, anda merasakan tingkat kenyamanan dan kesenangan berbeda. Oleh karena sang makhluk hidup (jiva) ingin menikmati alam material dengan beraneka macam pola dan cara yang berbeda-beda dalam ikhtiarnya hidup bahagia di dunia fana, maka Tuhan Krishna menyediakan badan jasmani beraneka macam untuknya. Jadi keleluasaan sang jiva berganti-ganti badan jasmani bukanlah derita baginya, tetapi bukti dari hakekat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah. Namun dalam badan jasmani apapun sang jiva berada/ tinggal, ia harus merasakan derita material dunia fana yaitu perjuangan keras untuk hidup dalam lingkaran samsara berupa: kelahiran (janma), usia-tua (jara), penyakit (vyadhi) dan kematian (mrtyu). Dengan menderita seperti itu dalam setiap badan jasmani dari satu kelahiran ke kelahiran (punarbhava) berikutnya, Tuhan berharap agar pada akhirnya sang jiva jadi muak dan bosan hidup di dunia fana, dan kembali berserah diri kepada-Nya dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal-balik dengan-Nya.

Sisya : Tetapi tidakkah kesempurnaan hidup bisa dicapai tanpa melalui proses evolusi spiritual sebagaimana dikemukakan di atas?

Guru : Ya, itu juga bisa dicapai dalam satu masa kehidupan/ penjelmaan ini juga. Namun harus diingat bahwa kesempurnaan hidup dalam satu kali penjelmaan umumnya dicapai oleh sang makhluk hidup (jiva) yang sengaja diutus Tuhan untuk satu misi spiritual tertentu ke dunia fana. Dengan kata lain, utusan Tuhan tidak tunduk pada hukum karma dan punarbhava, dan dengan sendirinya beliau tidak perlu menjalani proses evolusi spiritual. Jikalau ada jiva berjasmani manusia yang tergolong roh biasa (ordinary soul) bisa mencapai kesempurnaan hidup dalam masa kehidupannya sekarang ini juga, itu harus dimengerti bahwa kehidupannya sekarang adalah akhir dari proses evolusi spiritual yang harus dijalaninya.


Sisya : Tuhan punya hak prerogatif (hak khusus) penuh dan mutlak untuk mengampuni dosa-dosa seseorang yang timbul dari bermacam-macam asubha-karma yang dilakukannya. Dimanakah letak hak prerogatif Tuhan ini dalam ajaran karma dan punarbhava (reinkarnasi)?


Guru : Point yang harus selalu diingat adalah bahwa Tuhan Krishna yang maha bijaksana, pasti tidak pernah bertindak ceroboh. Beliau hanya menghapus dosa-dosa bhakta (penyembah) Nya yang sudah tidak pernah berbuat dosa lagi dan seratus persen berserah diri kepada-Nya. Hak prerogatif menghapus dosa ini hanya diberlakukan bagi para bhaktaNya. Sebab, hanya jalan kerohanian bhakti berhakekat naiskarmya, meniadakan segala akibat (phala) subha-karma dan asubha-karma yang dilakukan sang manusia. Begitulah, dengan melaksanakan pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna, sang bhakta bebas dari hukum karma-phala dan dengan demikian bebas dari proses evolusi spiritual. Dalam setiap penjelmaan berikutnya, dia memperoleh kesempatan bagus untuk menyempurnakan bhaktinya kepada Tuhan.


Sisya : Apabila sang makhluk hidup (jiva) hanya mengandalkan kemampuannya sendiri untuk bebas dari belenggu derita kehidupan material dunia fana tanpa ada program penyelamatan khusus dari Tuhan, tidakkah dia akan selamanya terjerat oleh hukum karma dan punarbhava? Atau dengan kata lain, tidakkah dia akan terus-menerus berputar-putar dalam lingkaran samsara dunia fana dengan berganti-ganti badan jasmani?


Guru : Tidak! Sebab Veda menyatakan bahwa kegiatan spiritual bhakti sekecil apapun akan memberikan hasil permanen (perhatikan Bg. 2.40 dan SB 1.5.17). Ini berarti seseorang yang menekuni jalan kerohanian bhakti, dijamin tidak akan merosot dengan lahir dalam jenis kehidupan yang lebih rendah pada penjelmaan (punarbhava) berikutnya. Melainkan, dia akan lahir lagi sebagai manusia untuk menyempurnakan kegiatan bhakti yang telah ditekuninya dalam kehidupan sebelumnya. Setelah menjalani banyak kali kelahiran dan kematian, bhaktinya jadi sempurna dan setelah ajal dia kembali pulang ke dunia rohani Vaikuntha-Loka. Perlu ditambahkan bahwa menurut Veda, program penyelamatan para makhluk hidup (jiva) oleh Tuhan berlangsung setiap saat dari waktu ke waktu dan dari zaman ke zaman. Cuma masalahnya adalah kebanyakan manusia tidak mau ikut program penyelamatan ini dengan hidup suci mengendalikan indria-indria jasmani. Veda tidak pernah menyatakan bahwa seseorang akan diselamatkan/ dibebaskan dari lingkaran samsara dunia fana cukup hanya dengan berulang kali mengakui Tuhan sebagai penyelamat dirinya satu-satunya dan mengakui segala dosa yang telah diperbuat tanpa perlu hidup suci seperti yang dilakukan sekarang oleh banyak orang di masyarakat.

Sisya : Banyak orang bajik dan saleh hidup menderita. Bukankah fakta ini merupakan susunan/ rancangan/ pengaturan Tuhan sendiri supaya mereka lebih dekat kepada-Nya?


Guru : Ya, Veda-pun mengatakan begitu. Penderitaan mereka bukanlah akibat (phala) dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan dalam kehidupan/ penjelmaan sebelumnya. Tetapi itu adalah pengaturan oleh Tuhan agar mereka segera bebas dari derita kehidupan material dunia fana.

Sisya : Banyak orang yang mengaku pemeluk ajaran rohani paling mutakhir dan menganggap ajaran yang dianutnya adalah penyempurna ajaran-ajaran rohani sebelumnya, menyatakan bahwa karma-phala dan punarbhava adalah ajaran keliru dan menyesatkan. Komentar anda?


Guru : Setiap orang boleh saja berkata macam-macam tentang hukum karma dan punarbhava (reinkarnasi) yang tidak diyakini dan tidak dianutnya. Jikalau karma dan reinkarnasi memang ajaran salah, keliru dan menyesatkan, semestinya dahulu ia sudah dicampakkan oleh masyarakat manusia. Tetapi kenyataannya malahan terbalik. Dalam era globalisasi sekarang, kata “karma” dan “punarbhava/ reinkarnasi” semakin meluas dikenal masyarakat dunia. Dan semakin banyak manusia menerimanya sebagai kebenaran dengan berkata, “Tanpa mengakui prinsip karma dan reinkarnasi dalam kehidupan, kita tidak akan pernah bisa mengerti bahwa Tuhan itu sungguh Maha Adil, Maha Bijak, dan Maha Benar.” Mereka yang mengaku penganut ajaran rohani mutakhir tidak mau peduli bahwa orang-orang intelektual modern sudah sakit hati oleh nasehat dogmatik. “Ini terjadi karena dosa turunan”, atau “Ini sudah takdir dari Tuhan Yang Maha Adil dan Bijak demi kebaikan anda”, atau “Tuhan sedang menguji anda punya iman”. Puaskah anda dengan mendengar nasehat-nasehat seperti itu, sementara sekujur tubuh anda menderita luka bakar atau satu kaki anda putus terkena ledakan bom sang teroris? Mereka yang mengaku penganut ajaran rohani mutakhir ini pun tidak peduli bahwa pendapat-pendapat dogmatiknya sendiri hanya menyebabkan rakyat di negara-negara maju (yang menjunjung tinggi kebebasan individual) berkata, “Religion No, spiritualism Yes”. Begitulah, orang-orang yang tergolong dalam gerakan New Age, yang dianggap sesat oleh para penganut ajaran rohani mutakhir tetapi kini sedang tumbuh subur di berbagai bagian dunia dengan pola kehidupan dan praktek spiritual berbeda-beda; telah menjadikan prinsip karma dan reinkarnasi sebagai fondasi berpikir dalam ikhtiarnya untuk bisa mengerti tentang kondisi kehidupan manusia yang amat berbeda-beda di muka Bumi.


Sisya : Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pengetahuan tentang karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi) semakin meluas diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat manusia?


Guru : Ada beberapa faktor penyebab yaitu: pertama, ajaran-ajaran rohani yang muncul dalam masa Kali-yuga tidak mampu menjelaskan secara logis, rasional dan filosofis tentang kondisi kehidupan manusia yang amat berbeda-beda. Problem of evil tetap tidak terjawab secara memuaskan oleh ajaran-ajaran rohani tersebut. Kedua, kebebasan individual yang menjadi fondasi masyarakat kapitalis, semakin kuat menjadi paham kehidupan manusia modern. Kenyataan ini mendorong manusia untuk melepaskan diri dari aturan dan paham hidup dogmatik yang dianggap mengekang kebebasan berpikir dan tidak memuaskan. Ketiga, kondisi kehidupan modern yang semakin ruwet dan kompleks, menyebabkan hidup manusia semakin tidak aman, tidak tenang dan tidak damai. Dengan kata lain, kehidupan modern yang berfondasi pada pemuasan indria jasmani, menyebabkan semakin banyak manusia menderita sakit fisik dan mental. Fakta ini mendorong mereka yang disebut kaum intelektual mencari jawaban atas derita fisik dan mental yang semakin meluas menimpa masyarakat manusia, dengan berusaha mengerti filsafat Veda. Dan keempat, ilmu pengetahuan material (maya-tattva) yang lebih dikenal dengan sebutan teknologi dan kini mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia, tidak mampu memberikan ketenangan dan kedamaian hidup kepada sang manusia, si pencipta teknologi itu sendiri. Dengan kata lain, teknologi tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual sang manusia.


Sisya: Manfaat apa yang bisa didapat oleh seseorang dengan meyakini bekerjanya hukum karma-phala dan punarbhava dalam kehidupan ini?


Guru: Manfaat utama yang bisa di dapat adalah seseorang selalu terdorong untuk melakukan subha-karma, kegiatan bajik. Manfaat berikutnya adalah seseorang akan mengerti dengan benar bahwa Tuhan maha adil dan maha bijaksana dalam mengatur kehidupan semua mahluk hidup di dunia fana. Sebab Tuhan memperlakukan semua mahlukNya sesuai dengan karma yang dilakukannya. Seseorang juga akan menjadi sangat toleran kepada semua orang karena dia sadar bahwa setiap orang berada pada tingkat evolusi spiritual yang berbeda-beda yang menyebabkan mereka memiliki cara berpikir, pola hidup dan kesenangan yang berbeda-beda. Manfaat berikutnya adalah seseorang hidup tenang dan damai, tidak digoyahkan oleh gelombang suka-duka kehidupan material dunia fana karena dia sadar dirinya sebagai jiva rohani-abadi sesungguhnya tidak punya kaitan apapun dengan badan jasmani yang berkegiatan sesuai dengan dorongan sifat-sifat alam material tri guna yang menyelimutinya. Dan seseorang juga akan menjadi mantap dalam menempuh jalan spiritual keinsyafan diri untuk kembali kepada Tuhan.


Sisya: Meskipun pengetahuan hukum karma dan punarbhava sangat logis dan rasional, tetapi mengapa tidak semua orang cerdas yang disebut kaum intelektual mau menerima dan menjadikannya pedoman hidup?


Guru: Menurut Veda, orang intelektual disebut sebagai brahmana, yakni orang yang insyaf akan diri, mengerti dan sadar betul bahwa dirinya sejati adalah jiva spiritual kekal-abadi, bukan badan jasmani yang material dan sementara ini. Oleh karena insyaf diri seperti itu, maka sang brahmana selalu berkegiatan pada tingkat spiritual dengan berpegang teguh pada doktrin karma dan reinkarnasi dalam kehidupannya. Tetapi orang-orang cerdas atau kaum intelektual pada jaman sekarang dengan beraneka macam gelar akademik bukanlah manusia-manusia insyaf diri, melainkan mereka adalah orang-orang yang buta dan tuli rohani. Pikiran mereka penuh dengan bermacam-macam rencana hidup bahagia di alam fana dengan memanfaatkan pengetahuan material (maya-tattva) sebagai pedoman hidupnya. Bagi mereka, karma dan punarbhava adalah bagian dari isi dongeng-dongeng kuno belaka. Sehingga mereka tidak peduli apakah dirinya kelak lahir sebagai babi, anjing, kucing, tikus atau keledai.


Sisya: Dapatkah anda menjelaskan mengenai jenis badan yang diperoleh berdasarkan pada karma setelah berpunarbhava ini secara logis Guru?


Guru: Hanya orang yang memiliki banyak uang yang bisa tinggal di kamar hotel mewah. Orang yang memiliki sedikit uang harus puas tinggal di kamar hotel sederhana. Sedangkan orang yang sama sekali tidak punya uang terpaksa menginap di koridor pertokoan atau tempat umum. Begitu pula, hanya orang yang memiliki banyak pahala kegiatan bajik yang bisa tinggal di Svarga-Loka dengan memperoleh badan jasmani dewata. Orang yang memiliki sedikit pahala perbuatan bajik harus puas dengan lahir lagi sebagai manusia di Bhu-loka atau Bumi ini. Sedangkan orang yang tidak memiliki pahala baik apapun, harus merosot dengan lahir sebagai hewan di masyarakat binatang. Jadi macam karma menentukan jenis badan jasmani yang diperoleh. Dan jenis badan jasmani menentukan tingkat kesenangan yang dinikmati dan kesusahan yang dirasakan oleh sang mahluk hidup.


Sisya: Bagaimana kalau seseorang bercita-cita mencapai Svarga-loka dengan banyak melakukan kegiatan saleh selama hidupnya di Bumi?


Guru: Itu adalah cita-cita orang-orang yang belum begitu cerdas. Veda berulangkali menjelaskan bahwa Svarga-loka adalah salah satu dari 14 susunan planet di alam semesta material ini. Tinggal di Sorga memang menyenangkan, tetapi di sana kita akan tetap berurusan dengan masalah material yang sama, yaitu: kelahiran (janma), usia tua (jara), penyakit (vyadhi) dan kematian (mrtyu). Bercita-cita mencapai alam sorgawi adalah sama saja dengan lebih nyaman dalam lingkungan penjara. Tetapi tinggal di dalam sel yang lebih baik tidak mengubah status kita sebagai seorang narapidana yang tidak punya kebebasan untuk tinggal di rumah sendiri dan hidup bahagia bersama keluarga. Begitu pula, dengan menjadi penduduk Svarga-loka, status kita tetap tidak berubah sebagai jiva-bhuta, mahluk hidup terikat yang berjuang keras untuk hidup di alam material. Kita tetap terjerat dalam lingkaran samsara kehidupan material dunia fana.


Sisya: Lalu bagaimana ajaran karma-phala dan punarbhava ini dapat menjelaskan mengenai penduduk dunia yang terus bertambah ini Guru?


Guru: Menurut Veda, jumlah mahluk humanoid, binatang, burung, serangga, tanaman, dan akuatik setiap loka atau planet secara keseluruhan selalu tetap, tetapi proporsinya yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan daya dukung loka tersebut. Sejak manusia menyebut diri modern dan paling beradab, alam lingkungan semakin rusak. Hutan-hutan semakin gundul dan daerah kering semakin meluas di permukaan Bumi. Akibatnya jumlah hewan, burung, serangga, pohon dan mahluk akuatik menjadi berkurang. Maka sesuai dengan pengaturan para deva pengendali urusan material yang bekerja di bawah pengawasan Tuhan, para jiva yang sebelumnya menghuni badan jasmani hewan berpurnarbhava atau lahir sebagai manusia dalam masa Kali Yuga ini. Sementara itu, Veda mengatakan banyak deva bertabiat asurik jatuh dari susunan planet-planet bagian atas alam semesta material dan lahir ke Bumi pada jaman Kali sekarang ini untuk merealisasikan keinginannya menjadi penguasa dunia. Karena itulah penduduk Bumi kelihatan terus bertambah. Oleh karena pemimpin masyarakat saat ini kebanyakan berperingai tidak bajik alias berwatak asurik, maka manusia tidak ada hentinya didera kesengsaraan oleh berbagai macam bencana alam, perbuatan amoral, kejahatan, perang, teror, bom bunuh diri, kemunafikan, korupsi dan prilaku dusta lainnya.


Sisya: Tetapi menurut ajaran non-Vedic, jumlah manusia terus bertambah karena memang kehendak Tuhan. Bagaimana menurut anda Guru?


Guru: Memang benar bahwasanya segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan. Tetapi kalau kita terima pernyataan dogmatis ini sebagai landasan berpikir tanpa mempedulikan aturan hidup universal, yaitu hukum karma dan punarbhava yang telah ditetapkan oleh Tuhan, maka kita akan terbentur lagi pada pertanyaan klasik, “Kenapa Tuhan mengatur sehingga sebagian jiva harus terlahir menderita di daerah gurun Ethiopia sementara sejumlah jiva yang lainnya hidup bergelimang harta dan kebahagiaan di California?”


Sisya: Anda telah menjelaskan bahwa orang bisa mencapai alam surgawi hanya dengan melakukan banyak perbuatan baik selama masa hidup di bumi. Lalu bagaimana dengan usaha para sarjana duniawi mencapai planet-planet yang lain dengan teknologi pesawat antariksa?


Guru: Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia fana atau alam material ini, diikat oleh begitu banyak aturan. Anda tidak bisa bebas bepergian ke negara yang lain jika anda tidak memiliki paspor atau visa, ijin tinggal, uang cukup dan sebagainya. Jadi jika anda memaksakan diri dengan menyelundup ke sana, maka anda akan seketika ditangkap dan dipenjara. Maka anda hanya akan menderita belaka.


Begitu pula, usaha para ilmuwan mencapai planet-planet lain dengan teknologi kasar model sekarang berupa pesawat antariksa, sesungguhnya melanggar aturan halus pemerintahan universal yang dijalankan oleh para deva pengendali urusan material dunia fana yang bekerja di bawah pengawasan Tuhan. Karena melanggar aturan, maka meski begitu jauh usaha mereka tetapi tetap berakhir dengan kegagalan. Lagi pula, usaha besar ini hanya menyengsarakan rakyat belaka. Sebab sudah demikian banyak awak pesawat mati konyol menjadi korban kecelakaan. Sedangkan pajak yang dibayar oleh rakyat, bukan dibelanjakan untuk program kesejahteraan masyarakat, tetapi dibelanjakan untuk program yang belum pasti manfaatnya.

Para ilmuwan berkata bahwa manusia telah berhasil mendarat di Bulan. Lalu manfaat apa yang telah diperoleh dari keberhasilan ini? Mereka menunjukkan keberhasilan programnya hanya dengan menunjukkan beberapa butir batuan bulan seraya berkata bahwa di Bulan tidak ada kehidupan. Mereka tidak peduli dengan penjelasan Veda bahwa planet Bulan-pun berpenduduk seperti di Bumi tetapi dengan dimensi kehidupan yang berbeda dengan yang ada di Bumi. Penduduk Bumi sekarang yang menyebut diri sebagai Chandra Vamsa adalah keturunan Chandra, dewa Bulan. Seandainya dengan teknologi halus tertentu pada masa yang akan datang penduduk Bumi bisa berkunjung ke planet lain seperti yang dilakukan oleh manusia jaman Kali dalam masa Catur Yuga yang telah lewat, program menguasai planet lain pun tidak akan sungguh-sungguh bermanfaat buat kehidupan manusia itu sendiri. Di sana, di planet asing tersebut manusia Bumi akan berbuat persis seperti yang diperbuat oleh orang-orang Eropa yang datang dan menguasai Amerika di masa lampau. Mereka akan membunuh dan mengusir penduduk asli, menjarah harta kekayaannya dan ladang milik nenek moyangnya. Dan selanjutnya mereka berkembang-biak sementara tetap terjerat dalam problem material yang sama yaitu: kelahiran (janma), penyakit (vyadhi), usia tua (jara) dan Kematian (mrtyu).

Sisya: Diantara begitu banyak perbuatan buruk (asubha-karma), perbuatan buruk apa yang dianggap paling jahat oleh Veda dan menyebabkan reaksi paling menyengsarakan?


Guru: Himsa karma, perbuatan menyakiti makhluk lain. Karena itu, Veda menyatakan, “Ahimsaya paro Dharma, prinsip dharma (agama) tertinggi adalah ahimsa. Tidak menyakiti atau membunuh makhluk lain”. Atau dengan kata lain, prinsip dharma tertinggi adalah daya, kasih sayang kepada semua makhluk. Oleh karena akibat dari himsa-karma ini begitu berat menyengsarakan, maka Veda menetapkan bahwa seorang pembunuh hendaknya dihukum mati agar tidak terlalu menderita di neraka setelah kematiannya kelak. Dan ajaran kerohanian yang tidak mengajarkan cinta kasih haruslah segera ditinggalkan. Tetapi orang-orang munafik berwatak asurik jaman sekarang memutarbalikkan petunjuk kitab suci ini dengan berkata bahwa menyakiti dan membunuh dan makan hewan bukan perbuatan berdosa. Maka himsa-karma ini meluas dan menyebar terus ke segala penjuru dunia. Akibatnya, perang, teror, bom bunuh diri, penganiayaan, penculikan, penyiksaan dan bermacam-macam tindakan kekerasan tiada hentinya mendera dan menyerang masyarakat manusia.


Sisya: Jadi menurut doktrin karma-phala, beraneka-macam malapetaka yang kini begitu sering menimpa penduduk bumi adalah karena himsa karma terhadap binatang dan makhluk rendah lainnya begitu meluas di masyarakat manusia modern. Bagaimana hal ini harus dimengerti?


Guru: Pertama, membunuh makhluk lain yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun terhadap si pembunuh adalah dosa. “jangan berbuat sesuatu terhadap makhluk lain yang engkau sendiri protes jikalau perbuatan itu dilakukan terhadap dirimu”, demikian orang-orang bijaksana berkata. Anda tidak ingin disakiti, apa lagi dibunuh. Tetapi mengapa anda melakukannya? Mengapa anda membunuh binatang yang tidak pernah berbuat jahat kepada diri anda? Bilamana anda mau jujur, maka anda akan menjawab begini; “Karena saya sudah tidak memiliki rasa belas kasihan”.

Kedua, Tuhan telah menetapkan jenis makanan alamiah tertentu bagi setiap makhluk hidup. Begitulah monyet hidup dengan buah-buahan. Harimau hidup dengan memakan daging binatang lain. Sapi hidup dengan memakan rerumputan. Dan manusia sesuai dengan struktur fisiologis jasmaninya harus hidup dengan makan biji-bijian, umbi-umbian dan berbagai macam sayuran. Memaksakan diri memakan daging dan menghindari makan sayur akan membuat badan manusia gampang terkena berbagai jenis penyakit. Semua makhluk hidup tunduk pada aturan alam yang dibuat oleh Tuhan. Maka sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling beradab, secara moral manusia wajib melindungi binatang dengan menuruti aturan alam tersebut. Karena itu, jikalau manusia melanggar atruan ini dengan membunuh dan memakan binatang sementara biji-bijian dan buah-buahan berlimpah, berarti mereka sengaja berbuat dosa.

Ketiga, dengan membunuh makhluk lain, maka prinsip dharma yaitu kasih sayang yang harus dijunjung tinggi oleh setiap manusia beradab, menjadi diabaikan. Dengan daya lenyap, maka prinsip-prinsip dharma lainnya seperti Satya (kejujuran), tapasam (hidup sederhana) dan saucam (kesucian diri) dengan sendirinya juga lenyap dari dalam hati. Oleh karena keempat prinsip dharma lenyap, maka sifat-sifat kedewataanpun lenyap dari dalam hati. Kemudia hati dipenuhi dengan prinsip-prinsip Widharma yang menyebabkan manusia terbenam dalam kegiatan-kegiatan berdosa yaitu: judi, pelacuran, tindak kekerasan dan mabuk-mabukan. Keempat kegiatan adharma ini menyebabkan sifat-sifat asurik tumbuh subur menyelimuti hati manusia. Akibat selanjutnya adalah manusia cenderung melakukan beraneka macam vikarma, perbuatan amoral, dan Agra-karma, perbuatan menyengsarakan.

Demikianlah reaksi buruk beruntun yang timbul dari himsa karma dan berakibat pada terjadinya bermacam-macam malapetaka dan bencana yang tiada henti mendera dan menyengsarakan masyarakat manusia. Jikalau malapetaka dan bencana seperti itu bukan berakar dari himsa-karma, lalu bagaimana lagi kita harus memahami jika kita tetap ingin berpegang teguh pada kebenran bahwa Tuhan sungguh maha pengasih dan maha penyayang?

Sisya: Apa yang mendorong orang-orang melakukan himsa-karma seperti itu? Apakah karena godaan setan atau sebab lain?

Guru: Menurut Veda, jika seseorang begitu tebal diselimuti sifat alam tamas (kegelapan), maka dia akan berperangai bagaikan raksasa, pisaca, preta, bhuta dan makhluk-mahluk jahat lain yang pada umumnya disebut setan. Dan jika seseorang begitu tebal diliputi sifat alam rajas, maka dia berperangai bagaikan asura, makhluk perusak yang umumnya disebut demon. Veda menyatakan bahwa dalam masa Kali Yuga atau jaman modern sekarang, sifat alam tamas dan rajas ini begitu tebal menyelimuti kesadaran penduduk Bumi, sehingga banyak orang menjadi berwatak keraksasaan atau kesetanan dan bertabiat demonik atau asurik. Semua watak yang tidak bajik ini menyebabkan orang-orang doyan makan daging. Inilah yang mendorong manusia melakukan himsa karma seperti yang anda maksud.

Selanjutnya, kebiasaan makan daging yang menyebabkan jutaan binatang mati tanpa daya setiap hari demi kepuasan lidah sesaat sang manusia, mengikis habis rasa belas-kasihan yang ada di lubuk hati si manusia. Kegiatan rutin membunuh binatang betul-betul melumpuhkan inteleknya, sehingga manusia tidak bisa berpikir tentang kebenaran. Perbuatan bengis dan kejam terhadap sang binatang dianggap perbuatan wajar. Dan perbuatan ini dijadikan hiburan yang menarik hati. Begitulah, dengan wajah tersenyum dan ketawa orang-orang menonton sang bintang yang sedang disembelih secara kejam.

Sementara itu, sifat alam tamas yang begitu tebal menyelimuti dirinya, menyebabkan mereka berpikir bahwa membunuh binatang yang diiringi pengucapan nama-nama Tuhan, adalah ritual keagamaan paling utama untuk mensucikan hati dan pikiran. Dan dengan “kesucian hati” seperti itu, mereka lalu menyatakan bahwa kitab suci anutannya yang diwahyukan Tuhan membenarkan cara-cara kekerasan untuk menegakkan ajaran Beliau di muka Bumi ini. Bagi mereka, siapapun yang mati menegakkan ajaran Tuhan dengan cara-cara yang mereka sebut tegas dan benar seperti itu, dijamin masuk alam surgawi, tempat tinggal Tuhan.

Sungguh, apa yang mereka pikir dan lakukan memang “benar” adanya. Lihatlah para teroris yang tertangkap. Meskipun perbuatan terornya telah membunuh ribuan manusia, tetapi mereka tetap tenang dan merasa tidak berdosa di hadapan khalayak ramai, sambil setiap saat mengacungkan tinju dan meneriakkan nama-nama Tuhan. Dan malahan ada diantara mereka yang selalu tersenyum dan tertawa ketika diwawancarai. Kemudian, ketika hakim memvonis dirinya dengan hukuman mati, dengan semangat mereka mengacungkan tinju dan berteriak “Tuhan sungguh maha besar”. Mereka tidak takut mati karena yakin dirinya berbuat benar, dan jika mati dirinya masuk sorga. Disamping perang, kerusuhan bermotif sara dan berbagai macam tindakan kekerasan lain, teror bom atau bom bunuh diri adalah salah satu reaksi dari himsa karma, kegiatan rutin membunuh jutaan hewan setiap hari yang terjadi di masyarakat manusia.

Sisya: Tidakkah Veda sendiri juga mengajarkan himsa-karma yaitu yajna ritual kurban binatang?

Guru: Benar! Tetapi yajna kurban binatang yang dilaksanakan oleh para brahmana ahli ritual Veda dalam masa Yuga Yuga sebelumhya, sesungguhnya jauh berbeda dengan kegiatan rutin penyemblihan jutaan binatang setiap hari untuk makanan yang dilakukan oleh orang-orang modern Kali Yuga. Kegiatan kejam dan amoral mereka untuk memuaskan lidah sesaat dan mengenyangkan perut dengan membunuh dan makan bangkai binatang yang tidak bersalah tentu saja merupakan kegiatan berdosa yang menimbulkan akibat buruk sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Pertama, yajna kurban binatang adalah sarana bagi para brahmana untuk menguji kemampuan spiritual dirinya. Jika sang brahmana mampu menghidupkan kembali sang binatang yang dikurbankan ke dalam api yajna dengan mengucapkan mantra-mantra Veda, itu berarti dia secara spiritual sudah maju. Sebenarnya praktek yajna seperti ini seperti menguji sejenis obat yang dilakukan seorang peneliti di laboratorium. Sebelum dijual ke masyarakat umum, obat tersebut terlebih dahulu diujicoba pada binatang seperti tikus atau kelinci. Setelah diyakini obat tersebut bekerja dengan baik, barulah kemudian diproduksi masal dan dilepas ke masyarakat luas.

Kedua, yajna kurban bintang adalah semacam ijin ketat bagi para manusia yang begitu tebal diliputi sifat alam tamas, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak makan daging. Maka mereka diperbolehkan menyemblih binatang dengan syarat-syarat yang amat ketat, yaitu dengan melaksanakan yajna yang telah ditentukan oleh Veda. Maksudnya adalah agar manusia tidak bisa bebas dan sewenang-wenang menyemblih binatang. Begitulah Veda menetapkan bahwa seseorang hanya boleh menyembelih binatang di hadapan arca Devi Druga pada hari tertentu, jam tertentu dan dengan cara-cara tertentu pula. Dan setelah selesai makan daging, si pembunuh harus melakukan prayascitta, penyucian diri dengan mendermakan barang-barang tertentu kepada para brahmana, berkunjung ke tempat-tempat suci, berpuasa dan sebagainya.

Ketiga, dalam Brahma Vaivarta Purana, Krsna Kanda 115.112-113 sendiri telah melarang pelaksanaan yajna kurban binatang pada Kali Yuga ini, sebab penduduk jaman Kali mayoritas adalah sudra. Tidak ada brahmana yang berkualifikasi melaksanakan yajna kurban binatang yang amat rumit dan riskan. Akan tetapi akibat pengaruh buruk Kali Yuga, orang-orang modern jaman sekarang tidak peduli dengan aturan ketat yang harus dituruti dalam melaksanakan yajna kurban binatang.

Sifat alam rajas dan tamas yang begitu tebal menyelimuti dirinya, menyebabkan mereka yang disebut pemuka agama berpendapat bahwa dengan mengucapkan mantra-mantra pujian kepada Tuhan ketika menyemblih binatang, dosa membunuh bisa terhapuskan. Kemudian mereka berkata kepada rakyat yang buta dan tuli kitab suci bahwa membunuh binatang untuk yajna adalah membunuh dengan cinta kasih sehingga tidak berdosa. Mereka tidak sadar dan tidak mau mengerti bahwa pendapat dan perbuatannya yang tolol ini hanya menuntun rakyat menuju avidya, kegelapan spiritual. Akibatnya, himsa-karma terhadap segala jenis binatang dianggap bukan perbuatan berdosa, tetapi kegiatan rutin yang wajar di masyarakat manusia.

Sisya: Ajaran karma-phala dan punarbhawa menyatakan bahwa jenis karma yang paling disenangi dan paling sering dilakukan, menentukan kesadaran seseorang pada saat ajal, yaitu ingat pada Tuhan atau tidak. Tetapi pada jaman modern sekarang, hampir setiap orang menghabiskan seluruh waktunya setiap hari untuk bekerja mencari nafkah agar bisa bertahan hidup. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa ingat Tuhan pada saat ajal kelak?


Guru: Dimana ada kemauan pasti ada jalan. Ini adalah ungkapan kebenaran yang telah begitu populer dan dikenal luas di masyarakat. Karena itu, jika anda punya kemauan besar dan kuat untuk menekuni jalan spiritual keinsyafan diri, maka anda pasti menemukan banyak kesempatan untuk mempelajari pustaka suci Veda, bergaul dengan para rohaniawan dan melaksanakan sadhana atau praktek spiritual yang disyaratkan. Bekerja keras sepanjang hari setiap hari agar bisa bertahan hidup adalah ciri kehidupan manusia Kali Yuga. Tetapi Tuhan Krishna yang maha bijaksana dan maha tahu, telah menyediakan program spiritual khusus yang sangat sederhana dan mudah untuk orang-orang Kali Yuga bernasib malang yaitu Hari Nama Sankirtana. Hanya dengan mengucapkan nama-nama suci Beliau: “Hare Krishna Hare Krishna Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare” secara tekun dan teratur setiap hari, setiap orang bisa membangkitkan lagi cinta kasihnya kepada Tuhan Krishna yang selama ini tidur di lubuk hatinya. Kecintaan kepada Beliau akan memungkinkan seseorang ingat kepadaNya pada saat ajal, dan dengan demikian kembali pulang ke rumah asal, alam rohani kebahagiaan abadi Vaikuntha-loka. Kita hanya perlu mengikuti program spiritual kirtanam ini saja.


Sisya: Banyak penganut ajaran Veda menyatakan bahwa jika Tuhan beravatara, turun ke dunia fana untuk menegakkan dharma, maka Beliau pun terkena hukum karma dan reinkarnasi. Apa alasan mereka menyatakan demikian?


Guru: Mereka menyatakan demikian karena terjangkiti oleh filsafat mayavada. Bagi mereka, Tuhan yang sebenarnya adalah Nirguna Brahman, Tuhan tanpa wujud, sifat dan ciri apapun. Bilamana Tuhan turun ke dunia fana, maka Ia menjadi Saguna Brahman, Tuhan dengan wujud, sifat dan ciri material. Jadi menurut mereka, semua Avatara Tuhan seperti Vamana, Nrsimha, Rama, Krishna dan lainnya berhakekat dan berkepribadian material. Karena itu, selanjutnya mereka mengatakan bahwa Tuhan terkena hukum karma dan reinkarnasi. Mereka tidak peduli pada kata-kata Tuhan Krishna, “Na mam Karmani limpati, Aku tidak terkena reaksi apapun dari kegiatan yang Aku lakukan. Na me karma-phala sprha, Aku juga tidak pernah mendambakan hasil apapun dari kegiatan yang Ku lakukan. Iti mam yo bhijanati karmabhirna sa badhyate, siapapun yang mengerti kebenaran ini tentang diriku, tidak akan terkena reaksi apapun dari kegiatan yang dilakukannya” (Bg. 4.14). Selanjutnya Beliau berkata, “Janma karma cam e diviyam, kelahiran dan kegiatan-kegiatanKu semuanya berhakekat rohani-suci. Eavm yo vetti tattvatah tyaktva deham punarjanma na iti, siapapun yang mengerti fakta ini pada saat ajal, maka dia tidak akan lahir lagi ke dunia fana, melainkan mam eti, mencapai tempat tinggalku di dunia rohani” (Bg. 4.9). Ketika berkunjung ke Dvaraka, para dewa berdoa kepada Tuhan Krishna sebagai berikut, “Nattair bhavan ajita karmabhir ajyate vai, O Tuhan Ajita (Krishna), Anda tidak pernah terkena reaksi kegiatan material apapun” (Bhag. 11.6.8). Masih banyak lagi sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa Tuhan tidak terkena rekasi apapun dari kegiatan-kegiatan yang Beliau lakukan untuk menegakkan dharma di dunia fana. Sebab, beliau senantiasa berkedudukan spiritual.


Sisya: Anda telah menjelaskan bahwa selama seseorang memiliki hutang karma baik ataupun buruk, seseorang pasti mengalami punarbhava, lahir lagi ke dunia fana dengan badan jasmani tertentu sesuai dengan hutang karmanya itu. Karena itu, Veda mengajarkan agar manusia membebaskan diri dari reaksi perbuatan baik maupun buruk. Lalu, dapatkah dikatakan bahwa Veda mengajarkan manusia untuk tidak berbuat baik ataupun buruk?


Guru: Tentu saja tidak. Masalahnya adalah setiap pekerjaan atau profesi di dunia ini tidak ada yang mutlak seratus persen baik. Setiap pekerjaan ada saja segi buruknya. Hal ini saya telah jelaskan sebelumnya. Karena itu, mengajarkan orang untuk tidak berbuat baik ataupun buruk adalah tindakan praktis yakni tidak mungkin bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, Veda mengajarkan agar manusia membebaskan dari dari reaksi perbuatan baik atau buruk dengan melaksanakan pelayanan Bhakti kepada Tuhan Sri Krishna.

Sisya: Pikiran adalah salah satu unsur halus makhluk hidup. Pikiran merekam segala macam kegiatan yang dilakukan. Bagaimanakah sesungguhnya pikiran ini dan cara kerjanya?

Guru: Keberadaan pikiran, kecerdasan dan keakuan palsu yang membentuk badan halus makhluk hidup, hanya bisa diketahui dari pengetahuan spiritual Veda. Khusus mengenai pikiran, orang-orang sering secara keliru menyamakan pikiran dengan otak yang terlihat tersusun secara amat rumit didalam pikiran setiap orang, pikiran tidak sama dengan otak, sebab ketika seseorang mati otak yang merupakan bagian dari badan jasmani kasar membusuk dan hancur tetapi pikiran membawa sang jiwa berpindah kebadan jasmani baru tertentu sesuai dengan karmanya. Pikiran dapat diibaratkan sebagai computer dengan hardisk yang mampu menyimpan bermacam-macam informasi. Veda menyatakan bahwa data tentang karma yang bisa direkam dalam pikiran seseorang melebihi jumlah rumput yang tumbuh diseluruh muka bumi. Dengan kecepatan kerja pikiran sungguh tidak bisa dibayangkan, sehingga dikatakan, “secepat pikiran”. Jadi pikiran adalah ibarat computer alam yang jutaan lebih canggih daripada computer digital buatan manusia.

Sisya: “Berbuatlah bajik selalu agar kelak cepat masuk surga, dan janganlah berbuat jahat agar kelak tidak masuk ke neraka”, begitulah perintah ajaran-ajaran rohani yang muncul dalam masa Kaliyuga. Tetapi Veda berkata, “lepaskan diri anda dari reaksi perbuatan baik ataupun buruk agar bisa kembali ke dunia rohani”. Apa latar belakang dari perintah yang berbeda-beda ini?

Guru: Latar belakangnya adalah ajaran-ajaran rohani yang muncul dalam masa Kaliyuga menganggap surga sebagai alam kebahagiaan kekal abadi, alam surgawi ini kata mereka hanya bisa dicapai oleh mereka yang saleh. Sedangkan neraka, menurut mereka disediakan oleh Tuhan untuk orang-orang jahat yang harus selamanya menderita disana. Tetapi Veda menyarankan bahwa alam surgawi adalah salah satu dari empatbelas susunan planet di alam semesta material ini. Disana seseorang hidup enak dan nyaman dalam kenikmatan material beranekaragam yang jauh lebih super daripada yang tersedia di bumi. Oleh karena berhakikat material, maka surga bukan tempat kekal, tetapi sementara sebab surga akan lebur pada saat pralaya/kiamat. Sedangkan neraka menurut Veda adalah tempat semacam “Pelatihan untuk menghuni badan jasmani yang lebih jelek”. Mereka yang tergolong penjahat dan harus merosot dalam kehidupan berikutnya dengan lahir sebagai hewan, terlebih dahulu dilatih secara kejam di neraka, agar terbiasa dengan kehidupan hewan yang kotor, kejam biadab dan menjijikan. Jadi Veda mengatakan dengan berbuat bajik seseorang mencapai alam surgawi dan menikmati kehidupan dewani yang semu dan temporer. Dengan berbuat jahat seseorang harus merosot memperoleh badan jasmani yang lebih rendah. Tetapi dengan bebas dari reaksi perbuatan bajik ataupun perbuatan buruk dengan melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan Sri Krisna, seseorang mencapai dunia rohani tempat tinggal beliau yang kekal dan membahagiakan.

Sisya: Veda menyatakan bila seseorang banyak sekali melakukan asubha karma, perbuatan jahat/berdosa maka dalam kehidupan berikutnya dia merosot dengan menjelma sebagai binatang. Kemudian setelah mengalami proses evolusi spiritual yang lama dia kembali memperoleh badan jasmani manusia untuk berbhakti kepada Tuhan. Apakah perbedaan pokok antara teori evolusi Veda dengan teori evolusi Darwin?

Guru: Menurut Veda evolusi berarti sang mahkluk hidup berpindah dari badan jasmani yang lebih rendah ketingkat badan jasmani yang lebih tinggi sampai akhirnya mencapai badan jasmani manusia atau Humanoid lainnya. Veda menjelaskan bahwa Brahma sang pencipta dunia fana, menyediakan delapan juta empat ratus ribu jenis badan jasmani bagi mahkluk hidup yang ingin menikmati alam material dengan berbagai pola dan cara. Karena itu, badan jasmani adalah ibarat sarana kendaraan bagi para jiwa untuk menikmati kesenangan material dunia fana. Seperti halnya kendaraan tidak pernah berubah bentuk sejak diciptakan begitu pula badan jasmani yang beranekaragam ini tidak pernah berubah bentuk sejak diciptakan oleh Brahma. Dan semuanya akan tetap berbentuk seperti itu dimasa-masa mendatang. Tetapi tidak semua badan jasmani ini ada dan hidup disetiap planet. Itu tergantung kondisi planet masing-masing. Misalnya hewan-hewan raksasa seperti dinasaurus, brontosaurus dan sebagainya tidak lagi hidup di bumi pada zaman Kali sekarang. Sebab alam dipermukaan bumi tidak lagi memungkinkan mahkluk-mahkluk raksasa itu hidup. Namun itu tidak berarti bahwa hewan-hewan super besar ini tidak ada lagi di alam semesta material. Di planet-planet lain yang kondisinya mendukung, jenis kehidupan hewan-hewan raksasa ini pasti ada. Akan tetapi menurut Darwin, evolusi berarti badan jasmani berangsur-angsur berubah bentuk dan wujud sesuai dengan kondisi alam sekitar. Hanya badan jasmani yang paling kuat yaitu yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, bisa hidup terus dan berkembang sampai keadaannya sempurna, seperti sekarang. Ini diistilahkan dengan sebutan survival of the fittest. Demikianlah kemudian disimpulkan bahwa monyet berevolusi selama berjuta-juta tahun sehingga akhirnya menjadi manusia modern, mahkluk paling beradab masa kini. Sesungguhnya, analisis yang dibuat oleh Darwin hanya didasarkan pada kemiripan belaka diantara beranekaragam bentuk kehidupan yang dilihat dan ditemuinya. Kerena itu, teori evolusi material ini hanyalah angan-angan pikiran belaka. Sebabnya adalah, pertama sampai saat ini tidak ditemukan fosil apapun yang disebut missinglink, yaitu mahkluk-mahkluk peralihan dan monyet ke manusia yang membuktikan bahwa evolusi jasmani yang diteorikan benar-benar terjadi. Kedua, semua fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa monyet-monyet yang hidup sekarang telah ada selama jutaan tahun yang lalu di berbagai tempat di bumi. Dan ketiga, sisa-sisa peninggalan sejarah menunjukkan bahwa manusia beradab telah hidup di bumi berjuta-juta tahun yang silam. Darwin yang namanya sangat terkenal dilingkungan akademik, sesungguhnya adalah ma yay a pa hrta jnana, orang intelektual yang pengetahuannya telah dicuri oleh maya, tenaga material Tuhan Sri Krisna. (perhatikan B.g. 7. 15). Oleh karena pengetahuan yang telah dicuri oleh maya, maka dalam otaknya hanya tinggal khayalan. Berdasarkan khayalan inilah Darwin menyusun teori evolusinya “ The origin of species” yang menyebabkan masyarakat manusia menjadi buta dan tuli secara rohani.

Sisya: Banyak penganut ajaran Veda berkata bahwa, pelayanan bhakti kepada dewa tertentu adalah sama saja dengan pelayanan bhakti kepada Sri Krisna, yaitu sama-sama berhakekat naiskarmya, meniadakan reaksi perbuatan baik maupun buruk. Betulkan demikian adanya?

Guru: Itu tidak betul. Mereka berkata demikian karena mereka menganut filsafat monistik mayavada yang juga disebut advaita vada. Filsafat ini menyatakan bahwa segala mahkluk pada hakikatnya satu dan sama sebagai Brahman atau Tuhan. Menurut mereka Sri Krisna, Dewa Indra, Varuna, Agni dan Dewa-dewa lainnya dan juga dirinya sendiri pada hakikatnya adalah Brahman, Tuhan. Tetapi mereka tidak peduli bahwa dirinya sendiri adalah Brahman mengapa mereka sibuk memuja dan melayani dewa tertentu? Veda menyatakan bahwa siapapun yang berpendapat bahwa kedudukan Sri Visnu atau Sri Krisna setara dengan kedudukan para dewa pengendali urusan material dunia fana seperti Indra, Surya, Chandra, Agni dan sebagainya maka Ia adalah pasandi, orang berwatak atheistik. Demikian dinyatakan dalam patma purana. Krisna adalah Sri Begawan kepribadian Tuhan yang Maha Esa, pengendali para dewa yang tergolong jiva tattva, mahkluk hidup yang tunduk terhadap hukum-hukum material dunia fana. Artinya, sang mahkluk hidup diangkat menjadi dewa pengendali seperti itu oleh Sri Visnu karena banyak melakukan subha karma dalam masa penjelmaan-penjelmaan sebelumnya. Karena itu, para dewa ini tidak memiliki kemampuan untuk meniadakan pahala perbuatan buruk seseorang. Para dewa pengendali ini hanya mampu menganugerahkan berkah material temporer sesuai dengan keinginan para penyembahnya atas perbuatan saleh yang telah mereka lakukan (perhatikan B.g. 7. 23). Sehingga pelayanan bakti kepada para dewa tersebut tidak berhakikat naiskarmya. Hanya Tuhan Krisna yang mampu menganugerahkan pembebasan dari hutang karma yang mengikat, pada siapapun yang melakukan pelayanan bhakti kepadaNya. Karena itu nama lain beliau adalah mukunda, si pemberi mukti. Dengan demikian hanya bhakti kepada-Nya berhakikat naiskarmya.

Sisya: Sejak manusia menyebut diri modern dan paling beradab karena mampu menciptkan teknologi canggih, alam dipermukaan bumi justru semakin rusak. Sehingga terjadilah bermacam-macam bencana alam yang menyengsarakan kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi para penganut ajaran rohani paling mutakhir berkata bahwa bencana-bencana alam seperti itu bukan merupakan pahala atau akibat dari perbuatan merusak (ugra karma) sang manusia, tapi merupakan peringatan Tuhan. Bagaimana pendapat anda?

Guru: Mengapa bersilat lidah? Banjir dan tanah longsor terjadi karena setiap hari hutan ditebang secara sewenang-wenang oleh manusia. Bukankah kedua bencana alam ini terjadi karena perbuatan merusak si manusia itu sendiri? Semua bencana alam ini adalah hukuman yang ditimpakan oleh Tuhan kepada manusia karena perbuatan yang jahat. Tetapi para penganut ajaran rohani mutakhir berkata bahwa bencana-bencana tersebut adalah peringatan Tuhan. Sebab mereka berfikir begini, “oleh karena Tuhan maha pengasih dan maha penyayang, tentu Tuhan tidak sampai hati menghukum manusia atas perbuatannya yang jahat ini”. Dan mereka tidak mau tahu bahwa bencana-bencana alam seperti itu terjadi karena berlakunya hukum universal karmaphala, hukum sebab akibat. Seorang ayah yang bijaksana pasti menghukum anaknya tercinta karena perbuatan jahat dan buruk yang dilakukannya berulang kali. Jika sang ayah hanya memberi peringatan, maka dia bukan ayah bijaksana. Begitu pula, Tuhan yang Maha bijaksana pasti menimpakan hukuman setimpal kepada manusia yang berulang kali dan terus menerus berbuat jahat. Sebab, dalam setiap kitab suci yang diturunkannya, Tuhan mengingatkan manusia untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Sisya: Para penganut ajaran rohani mutakhir menyatakan bahwa ajaran yang dianutnya adalah yang paling berkenan bagi Tuhan, sebab Ia adalah penyempurna ajaran-ajaran kerohanian yang telah ada sebelumnya. Karena itu, menurut mereka perbuatan bajik yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan pemeluk ajaran mutakhir ini, tidak dapat menyelamatkan dirinya dari hukuman di neraka. Bagaimana komentar anda?

Guru: Mereka berkata begitu karena menganggap ajaran yang dianutnya paling benar dan paling sempurna. Sedangkan ajaran-ajaran kerohanian lainnya bukan wejangan langsung dari Tuhan, sehingga tidak sempurna dan mengandung banyak kekeliruan. Mereka tidak perduli bahwa semua ajaran kerohanian lain ini sebelumnya telah secara detail mengajarkan apapun yang diperintahkan Tuhan dalam ajaran mutakhir anutannya yaitu agar manusia senantiasa berbuat bajik agar tidak jatuh ke neraka nanti setelah ajal. Seorang ayah bijaksan akan menganggap anaknya paling baik dan paling berkenan di hatinya diantara anak-anaknya yang lain, bukan karena si anak paling sering berkata bahwa dirinya hanya mengakui sang ayah sebagai bapak sejati, sangat menyayangi dan mencintainya; tetapi karena perbuatan si anak sehari-hari sesuai dengan perintah dan petunjuknya sehingga si ayah menjadi senang kepadanya. Begitu pula, Tuhan yang maha bijaksana akan menganggap seseorang sebagai hambanya tercinta, karena dia berbuat bajik sesuai dengan perintah dan petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, mungkinkah Tuhan menghukum hambanya tercinta di neraka?

Sisya: Apa akibat dan kerugiannya jikalau manusia tidak mengakui hukum universal karmaphala dan punarbava dalam kehidupannya di alam material?


Guru: Pertama, manusia tidak bisa menjelaskan secara logis, rasional dan filosofis tentang kehidupan individual kehidupan yang berbeda-beda di masyarakat manusia. Kedua, manusia tidak bisa memahami secara logis rasional dan filosofis tentang hakikat Tuhan yang maha kuasa, maha pengasih, maha adil. Ketiga, paham dokmatik yang melandasi ajaran-ajaran rohani yang muncul pada masa kaliyuga, telah menyebabkan banyak manusia tidak puas dan akhirnya mereka mempercayai paham atheistic, materialistic dan hedonistic dalam menempuh kehidupan dunia fana. Keempat, oleh karena dibingungkan oleh kondisi kehidupan yang berbeda-beda, ketidakadilan, kepalsuan, kejahatan, perbuatan amoral dan tindak kekerasan yang semakin meluas di masyarakat manusia, beberapa tokoh agamais malahan berteori bahwasanya Tuhan tidak maha kuasa, tidak maha pengasih, tidak maha adil dan tidak maha bijaksana. Sebab mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak mampu meniadakan hal-hal buruk seperti itu di masyarakat manusia. Kelima, oleh karena manusia banyak beralih kepaham materialistic akibat tidak puas dengan penjelasan dogmatik ajaran rohani yang diwarisinya, maka sifat-sifat asurik tumbuh subur menutupi hatinya. Akibatnya, bermacam-macam perbuatan jahat dan amoral seperti perjudian, pelacuran, penculikan, perampokan, penyiksaan, pencurian, korupsi, mabuk-mabukan, perang, terror, bom bunuh diri, bisnis narkoba dan berbagai macam tindak kejahatan lainnya tiada henti menyengsarakan kehidupan masyarakat manusia. Dan keenam, oleh karena tidak mau berfikir logis rasional dan filosofis dengan berpegang teguh pada pernyataan-pernyataan dogmatic ajaran rohani yang dianutnya banyak orang menjadi berwatak keras. Mereka berpendapat bahwa beraneka macam perbuatan amoral dan jahat di masyarakat harus dibasmi dengan cara-cara kekerasan. Itulah akibat dan kerugian yang timbul jika manusia tidak mengetahui hukum karmaphala dan punarbhava dalam kehidupannya di dunia fana.

Sisya: Tetapi tidakkah di antara penganut ajaran Veda itu sendiri banyak yang berwatak materialistic yakni lebih mempercayai teori-teori sarjana duniawi daripada teori karma dan reinkarnasi pustaka suci Veda?

Guru. Betul sungguh banyak manusia yang mengaku penganut ajaran Veda tidak pernah membaca Veda itu sendiri apalagi mempelajari dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa demikian? Sebab Veda mengatakan bahwa sifat alam rajas dan tamas begitu tebal menyelimuti dirinya sehingga mereka lebih tertarik mempelajari teori-teori indriya badan jasmani yang ditulis oleh para sarjana duniawi berkesadaran materialistic, dalam usahanya mencapai hidup bahagia di dunia fana yang sementara (anityam) dan menyengsarakan (asukham). Dan sedikitpun mereka tidak tertarik untuk menjadikan teori karma dan punarbhava sebagai pedoman hidup.


Sisya: Kembali kepada soal himsa karma. Anda mengatakan bahwa kegiatan himsa karma menyembelih hewan setiap hari yang kini merajarela di masyarakat manusia adalah penyebab terjadinya beraneka macam kekerasan yang menyengsarakan manusia itu sendiri. Dapatkah anda menjelaskan dengan satu analogi tentang akibat himsa karma ini terhadap kehidupan manusia?


Guru: Cobalah renungkan fakta ini. Dua batang pohon bambu kering bergesekan dan menimbulkan api yang membakar ribuan hektar area hutan. Mengapa terjadi kebakaran hutan? Berdasarkan penglihatan mata, jawabannya pasti karena dua batang pohon bambu kering itu bergesekan dan menimbulkan api. Tetapi ini bukan jawaban yang sebenarnya. Jawaban yang sebenarnya adalah karena angin kencang bertiup sedemikian rupa dan menyebabkan pohon bambu kering itu terus menerus bergesekan sehingga menimbulkan api yang membakar area hutan. Begitu pula, berdasarkan penglihatan mata perang, terror, bom bunuh diri, kerusuhan sosial dan sebagainya timbul karena adanya dua pihak yang saling bermusuhan tetapi ini bukan penyebab yang sebenarnya, penyebab yang sebenarnya adalah karena reaksi himsa karma bergerak sedemikian rupa sehingga kedua pihak itu berbeda pendapat dan menjadi bermusuhan sehingga terjadilah berbagai macam tindak kekerasan yang mengakibatkan menyengsarakan kehidupan manusia.


Sisya: Jadi menurut karmaphala segala macam tindakan kekerasan yang menyengsarakan kehidupan manusia hanya bisa diatasi hanya dengan menghentikan penduduk menyembelih binatang untuk dimakan. Apakah demikian?


Guru: Ya, inilah satu-satunya cara. Pada tahap awal paling tidak rakyat dianjurkan untuk mengurangi memakan daging. Anjuran demikian harus dibarengi dengan sosialisasi tentang “hidup sehat dengan menu vegetarian”. Anda tidak terlalu perlu menempuh jalur diplomasi dengan melakukan negosiasi, summit meeting, konferensi, dan sebagainya sebab semua usaha diplomasi seperti ini sudah terbukti tidak berhasil menegakkan perdamaian permanen di muka bumi.


Sisya: “Berhentilah menyembelih hewan” atau “Berhentilah makan daging” adalah solusi yang amat mudah dilaksanakan untuk mencapai kehidupan damai, aman dan saling mengasihi. Tetapi mengapa dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan sulit sekali meninggalkan kebiasaan makan daging meskipun mereka telah terdidik lebih dari cukup secara material dengan menyandang berbagai gelar akademik?

Guru: Sebab mereka sudah ketagihan makan daging. Seperti halnya perokok si perokok tidak mampu melepaskan kebiasaan merokok, sebab dia sudah ketagihan merokok. Begitulah, orang-orang yang sudah ketagihan ini tidak berdaya dikendalikan oleh indriya pengecap yaitu lidah. Mengendalikan indriya-indriya jasmani khususnya lidah tidaklah mudah. Ini usaha sulit. Dikatakan, “Balavan indriya gramo vivadsan api karsati”, bahkan orang bijaksana sekalipun harus berjuang keras untuk mengendalikan indriya-indriya jasmani yang amat sulit dikendalikan. (Bhag. 9. 19. 17)

Sisya: Menurut anda, jalan spiritual apa yang memungkinkan orang bisa dengan mudah mengendalikan indriya-indriya jasmani pada jaman Kali?

Guru: Jalan spiritual bhakti, yaitu Kirtanam, memuji dan mengagungkan Tuhan Krishna dengan mengumandangkan nama-nama suci Beliau secara tekun dan teratur. Nama-nama suciNya tersusun berupa maha mantra Kali Santarana Upanisad berikut: Hare Krishna Hare Krishna Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama Rama Rama Hare Hare. Makna mantra ini adalah, “ O Tuhan yang maha menarik hati, O Tuhan yang maha menyenangkan, mohon sibukkan diri hamba dalam pelayanan kepadaMu”. Kirtanam adalah salah satu dari sembilan proses bhakti. Yang kedua, adalah dengan prasadam, makanan suci yang telah dipersembahkan kepada Tuhan Krishna. Demikianlah dengan berjapa mengucapkan nama-nama suci Tuhan dan makan prasadam Beliau, seseorang akan bisa dengan mudah mengendalikan indriya-indriya jasmaninya, khususnya indriya pengecap.


Sisya: Dapatkah anda menjelaskan bahwa dengan mengucapkan nama-nama suci Tuhan secara tekun dan teratur, seseorang bisa dengan mudah mengendalikan indriya-indriya jasmaninya?


Guru: Tuhan Krishna dan nama-nama suciNya tidak berbeda alias sama, sebab Beliau berhakekat absolut. Begitulah dengan secara tekun dan teratur mengucapkan nama-nama suciNya, segala sifat-sifat asurik yang mendorong manusia melaksanakan beranekamacam asubha-karma, berangsur-angsur dikikis dari dalam hati. Dan pada saat bersamaan, sifat-sifat dewani berangsur-angsur berkembang menghias hati. Kemudian, pelan tetapi pasti, seseorang tidak akan mau melakukan himsa karma apapun. Dan dia juga tidak berminat lagi memakan daging, ikan, telor dan makanan tamasik lainnya yang menggelapkan hati serta pikiran pada kebenaran.

Sisya: Hukum karmaphala dan punarbhava adalah bagian integral jnana, pengetahuan spiritual Veda. Apakah hukum karma dan reinkarnasi ini juga berlaku bagi mereka yang menganut ajaran rohani non vedic?

Guru: Ya, sebab hukum karmaphala dan punarbhava bersifat universal yaitu mengatur kehidupan segala mahluk di alam semesta material. Meskipun penganut ajaran non Vedic tidak mengakui adanya hukum universal ini dengan berbagai alasannya, tetapi dalam kitab suci anutannya dan banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia akan menuai apa yang ditanamnya. Orang yang berbuat banyak kejahatan akan jatuh ke neraka. Mereka yang banyak berbuat baik akan masuk sorga, dan sebagainya. Yang kedua, masyarakat penganut ajaran non Vedic secara material tidak berbeda dari masyarakat penganut ajaran Veda. Di setiap masyarakat ini pasti ada orang kaya dan miskin, orang saleh dan jahat, orang tampan dan cacat, manusia malang dan beruntung, bencana dan musibah, perang dan beraneka-macam tindak kekerasan lainnya. Semua fakta ini membuktikan bahwa hukum karma dan punarbhava berlaku bagi semua orang tanpa memperhatikan agama, kepercayaan, sistem sosial dan pemerintahan yang dianutnya.

Sisya: Para penganut ajaran rohani non Vedic berargumen bahwa pernyataan Veda, “Si pengemis adalah orang jahat dalam penjelmaan sebelumnya”, tidak bisa dibenarkan. Sebab tidak ada saksi-saksi dan bukti-bukti yang membenarkan bahwa si pengemis adalah jahat dalam kehidupan sebelumnya. Bagaimana komentar anda?

Guru: Mengapa mereka katakan tidak ada saksi dan bukti? Veda mengatakan bahwa Tuhan Krishna dalam aspeknya sebagai paramatman bertindak sebagai upadrasta, saksi atas segala perbuatan yang dilakukan oleh para mahluk hidup. Lebih lanjut dikatakan oleh Veda bahwa bulan, matahari, siang dan malam, udara, api dan bintang-bintang pun menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan setiap jiva. Disamping itu, segala hutang karma yang terekam dalam pikirannya adalah bukti-bukti valid bahwa sang jiva berbadan jasmani pengemis itu memang orang jahat dalam penjelmaan sebelumnya. Mereka berargumen seperti itu karena dalam kitab suci yang dianutnya tidak ada penjelasan detail tentang badan jasmani dan sang jiva atau roh.

Sisya: Menurut para penganut ajaran rohani non Vedic, pada saat penghakiman terakhir perbuatan jahat dan bajik setiap orang ditimbang oleh Tuhan. Jika ternyata perbuatan bajiknya lebih banyak maka dia akan masuk sorga, sedangkan jika perbuatan jahatnya lebih banyak maka dia akan masuk neraka. Apakah Veda juga menyatakan demikian?

Guru: Tidak, telah saya jelaskan sebelumnya bahwa jenis badan yang kelak diperoleh sang mahluk hidup dalam penjelmaan berikutnya ditentukan oleh jenis kesadaran pada saat kematian. Sedangkan jenis kesadaran ini ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hutang karma yang terekam dalam pikirannya. Hutang karma ini membentuk mentalitas atau paham kehidupan dalam pikiran. Dan paham kehidupan ini menentukan jenis badan jasmani yang kelak akan dihuni oleh sang jiva. Proses terbentuknya mentalitas atau paham kehidupan berdasarkan hutang karma dalam pikiran diatur oleh Tuhan Krishna dalam aspekNya sebagai Paramatman. Sebab beliau berkata, “Bhramayam sarva bhutani yantrarudhani mayaya, Aku mengarahkan pengembaraan segala mahluk hidup dalam beraneka-macam badan jasmani yang bagaikan kendaraan terbuat dari tenaga material (Bg.18.16). Tetapi secara umum Veda menyimpulkan bahwa jika hutang subha karmanya banyak, maka sang jiva akan memperoleh badan dewata dan tinggal di sorga. Jika hutang asubha karmanya berlimpah, sang jiva harus merosot dengan terlebih dahulu menjalani “latihan kejam” di neraka untuk menghuni badan hewan, cacing atau mahluk rendah lainnya.

Sisya: Apakah jiva yang menghuni jasmani hewan juga terkena hukum karma phala?


Guru: Tidak. Hukum karma phala hanya berlaku bagi sang jiva yang menghuni badan manusia dan humanoid lainnya. Para jiva yang menghuni badan hewan dan mahluk rendah lainnya tidak terkena phala buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain, hewan dan mahluk rendah lainnya tidak terkena hukum karma phala. Sebab, mereka hidup dengan sepenuhnya menuruti aturan Tuhan. Begitulah, sapi hidup dengan memakan rumput, harimau hidup dengan makan daging mahluk lain. Mereka hidup alamiah sederhana mengambil makanan dari alam secukupnya untuk sekedar bisa hidup dan tidak merusak alam. Mereka menikmati hubungan badan pada waktu musim kawin saja. Mereka tidak bisa melakukan kegiatan tipu-menipu yang disebut bisnis supaya menjadi kaya sehingga bisa hidup lebih enak dan senang. Karena itu, pada saat ajal para jiva penghuni jasmani hewan secara otomatis kemudian berevolusi dengan memperoleh badan jasmani manusia yang memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan spiritual berhubungan dengan Tuhan.

Sisya: Anda telah menjelaskan tentang evolusi spiritual yang dijalani oleh sang jiva yang merosot jatuh dalam kehidupan sebagai binatang. Dapatkah anda menjelaskan secara lebih rinci tentang evolusi spiritual ini?

Guru: Menurut Veda, tingkat kehidupan tergantung pada tingkat kesadaran mahluk hidup. Demikianlah, tingkat kehidupan dari tingkat kesadaran yang paling rendah ke tingkat kesadaran yang paling tinggi tersusun sebagai berikut: Akuatik (900.000 jenis), tumbuh-tumbuhan (2.000.000 jenis), serangga (1.100.000 jenis), burung (1.000.000 jenis), binatang dan reptil (3.000.000 jenis), kehidupan humanoid (400.000 jenis). Bila sang jiva berjasmani manusia melakukan begitu banyak asubha karma selama hidupnya, maka dia jatuh dan merosot ke dalam kelahiran berikutnya misalnya memperoleh badan cacing yang hidup di lumpur. Dalam kehidupan akuatik ini, sang jiva harus menjalani punarbhava berkali-kali sebanyak jenis kehidupan yang ada di air. Setelah itu, ia memperoleh badan tumbuh-tumbuhan. Di sini dia juga harus menjalani punarbhava berulang kali sebanyak jenis tanaman yang ada. Kemudian ia memperoleh badan serangga dan juga harus mengalami punarbhava sebanyak jenis kehidupan serangga yang ada. Dan demikian seterusnya ke kehidupan burung, binatang darat dan akhirnya kehidupan humanoid. Jadi untuk kembali bisa lahir sebagai mahluk manusia, sang jiva harus menjalani evolusi yang lama. Karena itu dikatakan; “Durlabham manusam janma, kelahiran sebagai manusia amat sulit diperoleh (Bhag.7.6.1) Nr deham adyam sulabham sudurlabham, kehidupan sebagai manusia yang amat berguna sungguh amat sulit dicapai (Bhag.11.20.17).

Sisya: Setelah memperoleh kehidupan sebagai manusia, apakah mungkin sang mahluk hidup jatuh lagi dan memperoleh badan binatang?

Guru: Kemungkinan jatuh selalu ada. Karena itu, supaya tidak jatuh lagi, Veda menasehati, “Kaumara acaret prajna dharma bhagavataniha, sejak masa kanak-kanak dalam kehidupannya, seseorang hendaknya dididik untuk mengabdikan diri kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa” (Bhag.7.6.1).

Sisya: Apa yang dimaksud dengan “Mengabdikan diri kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa”?


Guru: Melakukan pelayanan bhakti kepadaNya. Saya telah jelaskan bahwa pelayanan bhakti kepada Tuhan Krishna meniadakan segala akibat baik ataupun buruk yang timbul dari kegiatan kerja yang dilakukan. Dengan kata lain, kerja itu menjadi tersucikan sehingga tidak menimbulkan akibat apapun bagi si pelaku kerja. Dengan bebas dari segala phala subha karma dan asubha karma, seseorang menjadi berkualifikasi untuk pulang ke rumah asal, asli dan sejati di alam rohani kebahagiaan abadi Vaikuntha Loka.

Sisya: Saya baca bahwa kebanyakan orang-orang yang disebut rohaniawan mulia hidup sangat melarat dengan beranekaragam kesusahan dan kesulitan dalam menyebarkan amanat-amanat spiritual tentang pengabdian kepada Tuhan. Apakah kesengsaraan mereka adalah pahala dari asubha karma yang dilakukan dalam penjelmaan sebelumnya?

Guru: Kita harus mengerti bahwa menyebarkan amanat spiritual tentang bhakti kepada Tuhan adalah pekerjaan yang sangat luhur dan mulia. Karena itu, tidak mungkin kesengsaraan mereka adalah pahala dari asubha karma yang dilakukan dalam penjelmaan sebelumnya. Kehidupan melarat seperti itu adalah pertapaan yang memang sengaja dijalani oleh beliau-beliau yang telah insyaf diri. Sebab, mereka secara spiritual telah sangat maju sehingga tidak tertarik lagi pada kenikmatan material apapun (perhatikan Bg. 5.22). Tetapi kebanyakan orang salah mengerti dan berpikir bahwa pertapaan demikian adalah kesengsaraan. Kesusahan dan kesulitan yang mereka hadapi adalah susunan yang dibuat Tuhan supaya mereka menjadi semakin dekat dengan Beliau dan segera pulang ke alam rohani tempat tinggalNya (perhatikan sloka Bhag. 10.8.88).

Sisya: Dapatkah anda menjelaskan dengan suatu analogi tentang badan jasmani yang dihuni oleh sang makhluk hidup dalam hubungannya dengan karma phala?

Guru: Veda mengibaratkan badan jasmani sebagai pohon kehidupan material. Dan pohon kehidupan material ini dijelaskan dalam Bhagavata Purana 11.12.22-23 sebagai berikut:
  • Benihnya adalah subha karma dan asubha karma.
  • Akar-akarnya yang banyak adalah beraneka macam keinginan material sang jiva.
  • Tiga batangnya bagian bawah adalah tri guna, tiga sifat alam material: satvam, rajas dan tamas.
  • Lima batangnya bagian atas adalah lima unsur material kasar (akasa, udara, api, air dan tanah).
  • Lima macam bunganya adalah lima objek indriya (aroma, sentuhan, rasa, wujud dan suara).
  • Sebelas cabangnya adalah lima indriya pekerja (tangan, kaki, mulut, anus, dan kemaluan), lima indriya persepsi (telinga, mata, hidung, lidah dan kulit) dan pikiran (manah).
  • Dua ekor burung yang hinggap padanya adalah sang makhluk hidup (atman) dan Tuhan (Paramatman).
  • Tiga macam kulit kayunya adalah tridatu (udara, lendir dan empedu), dan
  • Dua macam buahnya adalah kebahagiaan dan kesengsaraan.
Adapun makna pohon kehidupan material ini adalah jika sang makhluk hidup berjasmani manusia hidup berdasarkan prinsip-prinsip dharma, itu berarti dia menanam benih subha-karma. Dan buah (phala) yang kelak dipetik dari pohon kehidupan ini adalah kebahagiaan. Sebaliknya, jika sang jiva berjasmani manusia hidup berdasarkan prinsip-prinsip adharma, itu berarti dia menanam benih asubha karma. Dan buah yang kelak dipetiknya dari pohon kehidupan ini adalah kesengsaraan.

Sisya: Tetapi anda sudah berulang kali mengatakan bahwa Veda minta agar sang makhluk hidup melepaskan diri dari akibat subha karma ataupun asubha karma. Sebab phala yang baik ataupun buruk sama-sama menjerat sang jiva di dunia fana. Analogi pohon kehidupan yang anda jelaskan seperti menganjurkan agar orang banyak berbuat bajik supaya hidup bahagia. Apakah demikian?

Guru: Tidak. Kehidupan bahagia ataupun kehidupan sengsara di alam material keduanya menjerat sang makhluk hidup dalam lingkaran samsara di dunia fana yaitu kelahiran (janma), usia tua (jara), penyakit (vyadhi) dan Kematian (mrtyu). Karena kenyataan ini, maka pohon kehidupan material ini disebut pohon samsara. Veda meminta kita menebang pohon samsara ini untuk mengakhiri kehidupan material kita di dunia fana. Bagaimana caranya menebang pohon samsara ini? Veda berkata, “Asanga sastrena drdhena chittva, tebanglah pohon kehidupan material ini dengan senjata ketidakmelekatan pada kesenangan material dunia fana (Bg. 15.3)”. Terus, bagaimana caranya memotong kemelekatan pada kesenangan material dunia fana? Veda juga berkata, “Asa jjitatma hari sevaya sitam jnanasim taranti param, potonglah kemelekatan pada objek-objek indriya (yang memberikan kesenangan material) dengan pedang pengetahuan spiritual yang telah diasah dengan Bhakti kepada Tuhan Hari (Bhag.7.5.31). Hari adalah Sri Krishna sendiri.

Sisya: Kalau boleh saya menyimpulkan bahwa untuk mengakhiri kehidupan material di dunia fana dan kembali pulang ke dunia rohani Vaikuntha-Loka, sang jiva harus bebas dari segala hutang karma baik ataupun buruk. Ini hanya bisa dilaksanakan dengan melakukan pelayanan Bhakti kepada Tuhan Krishna. Sebab, hanya kegiatan Bhakti yang naiskarmya, meniadakan segala akibat baik maupun buruk yang timbul dari kerja yang dilakukan. Apakah demikian?


Guru: Benar sekali. Di dunia fana ini kita dijerat oleh asat-trsna, kecintaan pada hal-hal yang semu dan sementara berupa; hubungan keluarga, jabatan duniawi, kekayaan material, kenikmatan indriyawi. Asat-trsna ini, kata Veda hanya bisa dihancurkan dengan pedang pengetahuan spiritual yang telah diasah dengan pelayanan Bhakti kepada Tuhan Krishna.

Sisya: Jadi tujuan utama pustaka suci Veda adalah agar para jiva berbadan jasmani manusia melaksanakan pelayanan Bhakti kepada Tuhan Krishna untuk mengakhiri kehidupan materialnya yang menyengsarakan di dunia fana. Cuman itu! Bagaimana pendapat anda?

Guru: Saya sangat sependapat dengan anda. Sebab Tuhan Krishna berkata, “Vedais ca sarvair aham eva vedyah, tujuan seluruh pustaka suci Veda adalah agar semua orang mengenal diriku (sebagai Sri Bhagavan, Keperibadian Tuhan Yang Maha Esa)” (Bg.15.15). Mengenal untuk tam eva saranam gaccha, berserah diri kepadaNya (Bg.18.62). Berserah diri adalah bukti kecintaan seseorang kepada Beliau. Oleh karena sangat mencintai Tuhan Krishna, maka sang bhakta senantiasa ingat kepadaNya. Pada saat ajal dia hanya ingat Beliau dan pada akhirnya kembali pulang ke dunia rohani Vaikuntha loka. Sebab Tuhan Krishna berkata, “Anta kale ca mam eva sinaran muktva kalevaram yah prayati sa mad bhavam yati Nast atra samsayah, siapapun yang pada saat ajal meninggalkan badan jasmaninya dengan hanya ingat kepadaku saja, seketika mencapai alam rohani tempat tinggalku. Tidak ada keraguan tentang hal ini” (Bg.8.5). Perhatikan pula Bg. 4.9, 8.6, 8.8, 8.10, 8.13-14, 9.34, 18.58 dan 18.65.

Sisya: Terimakasih atas semua penjelasan anda tentang karma, perbuatan yang dilakukan oleh para makhluk hidup di dunia fana ini Guru…

Guru: Semoga jawaban-jawaban dalam diskusi kita bermanfaat. Haribolo…

No comments:

Post a Comment