Filsafat Mahabharata. Instant Pay For You
Bocah Parikshit dan Ramalan Tentang Dirinya.
“Aduh! Apakah akhirnya ia harus mengalami nasib yang tragis ini? Apakah ini merupakan ganjaran bagi segala kebaikan yang kelak dilakukannya? Setelah menempuh hidup yang bajik selama bertahun-tahun, dapatkan akibatnya tiba-tiba berubah menjadi kematian yang malang ini? Ada dikatakan bahwa mereka yang mati tenggelam, mereka yang menemui ajal karena jatuh dari pohon, dan mereka yang meninggal karena digigit ular, tidak baik kehidupannya di akhirat kelak. Semua ini dianggap ebagai kematian yang sial, mereka yang menemui ajalnya seperti itu akan menjadi hantu dan akan menderita, demikian kata orang. Mengapa anak ini harus mengakhiri hidupnya seperti itu? Oh, alangkah mengerikan. Oh, alangkah tidak adilnya semua ini!” , ratap Yudhistira sambil menggigit bibirnya menahan sedih.
Para brahmin segera menghiburnya. “Maharaja!”, seru mereka, “Tidak ada alasan untuk bersedih hati. Tokoh yang demikian agung tidak akan mengalami tragedi semacam itu. Tidak. Setelah mengkaji posisi planet-planet dalam horoskop anak ini, kami dapat melihat dengan jelas adanya dua kombinasi baik yang menunjukkan vajrayoga dan bhaktiyoga, keduanya kuat sekali dan berpengaruh baik. Karena itu, begitu tahu perihal kutukan tersebut, ia akan meninggalkan kerajaan, istri, serta anak-anaknya, kemudian menyepi di tepi sungai Bhagirathi yang suci dan memasrahkan diri kepada Tuhan. Resi Suka yang agung, putra Vyasa, akan datang kesana dan mendiksanya dalam atmajnana dengan menceritakaan kemuliaan Sri Krishna serta menyanyikan pujian bagi Beliau. Dengan demikian ia akan melewatkan hari-hari akhirnya di tepi Sungai Gangga yang suci dan menghembuskan napas terakhir dengan kasih yang mendalam dan bakti kepada Tuhan. Bagaimana mungkin tokoh semacam itu mengalami tragedi dan bencana? Ia tidak akan lahir lagi karena melalui bhaktiyoga ia akan manunggal dengan Tuhan. Mendengar penjelasan ini, lenyaplah kesedihan Yudhistira dan ia merasa senang. Katanya, “Kalau begitu, ini bukan kutukan melainkan anugerah yang unik.”
Dengan ini setiap orang bangkit. Para brahmin diberi penghormatan sesuai dengan tingkat ilmu dan tapanya. Mereka dianugerahi permata serta pakaian sutera dan raja mengatur agar mereka diantar pulang. Yudhistira dan saudara-saudaranya kembali ke istana masing-masing, tetapi mereka melewatkan waktu berjam-jam membicarakan aneka kejadian hari itu dan tentang kekhawatiran yang akhirnya hilang terhapus. Mereka senang sekali oleh perubahan yang akhirnya berlangsung dalam ramalan.
Sang bayi tumbuh di ruang anak-anak bagaikan bulan yang membesar setengah bulan menjelang purnama. Karena ia lahir sebagai pewaris tahta kerajaan besar setelah ada bahaya mengerikan yang terjadi secara berturut-turut setiap orang mencintainya dan menjaganya bagaikan biji mata, bak napas hidup mereka sendiri. Draupadi yang amat sedih karena kehilangan kelima putranya (Upapandawa), Subhadra yang menderita kehilangan dan tidak terhiburkan karena gugurnya Abhimanyu, dan Pandawa bersaudara yang ketakutan jika panah dahsyat yang ditujukan oleh Aswatthama kepada putra Abimanyu-dalam kandungan Uttara-mungkin berakibat fatal dan memusnahkam garis keturunan Pandawa untuk selama-lamanya, semua merasa lega. Tidak hanya itu. Mereka merasa gembira melihat anak itu. Mereka sangat bahagia. Bila rindu ingin melihat dan menggendong si bayi, mereka mengambilnya dari keputren kemudian melewatkan hari bermain-main dengan bocah mungil yang menawan hati itu.
Anak ini pun amat cerdas. Tampaknya ia selalu mengamati roman muka setiap orang yang menimangnya atau datang di hadapannya. Ia menatap wajah mereka lama-lama dengan penuh kerinduan. Semua merasa heran atas kelakuannya yang aneh ini. Setiap orang yang menengoknya menjadi sasaran pengamatan dan pemeriksaan si anak yang tampaknya bertekad mencari seseorang atau sesuatu di dunia tempat lahirnya.
Ada beberapa yang berkata dengan sedih bahwa anak itu mencari ayahnya, Abhimanyu. Lainnya berkata, “Tidak, tidak, anak itu mencari Sri Krishna.” Beberapa orang lagi berpendapat bahwa tampaknya anak itu berusaha menemukan suatu sinar kedewataan. Kenyataannya anak itu mengamati dan memeriksa semuanya untuk mencari suatu ciri khas atau tanda yang telah diketahuinya guna mengenali suatu wujud yang diingatnya. Setiap orang menyebut usaha pencarian yang dilakukan anak itu dengan kata pariksha, karena itu, sebelum upacara pemberian nama dilangsungkan secara resmi, setiap orang di dalam dan di luar istana mulai menyebut bocah itu Parikshit “ia yang melakukan pariksha”.
Nama Parikshit itu menetap! Dari raja hingga ke petani, dari sarjana hingga orang dusun, dari penguasa hingga orang kebanyakan, setiap orang menyapa atau menyebut anak itu Parikshit. Kemasyhuran anak itu bertambah dari hari ke hari. Ia menjadi buah bibir setiap orang. Pada suatu hari yang baik, Yudhistira memanggil pendeta istana dan menugasinya menetapkan hari yang bertuah untuk menyelenggarakan upacara pemberian nama bagi pangeran kecil.
Pendeta itu memanggil para cendikiawan serta astrologer kelompoknya dan setelah memeriksa hubungan bintang-bintang mereka menemukan suatu hari yang disetujui oleh semuanya sebagai hari yang baik untuk tujuan tersebut. Mereka juga menentukan jam yang tepat untuk pemberian nama. Undangan untuk menghadiri upacara ini dikirimkan kepada para raja, para sarjana, pendeta, maupun warga masyarakat yang terkemuka. Raja mengirim utusan-utusan untuk mengundang para resi dan tokoh spiritual. Arjuna pergi mengunjungi Sri Krishna dan mohon dengan hormat agar Beliau sudi melimpahkan rahmat buat si anak pada kesempatan tersebut. Ketika kembali, ia berhasil mengajak Sri Krishna bersamanya.
Ketika Sri Krishna tiba, para resi, brahmin, raja, adipati dan warga masyarakat bersiap-siap menerima Beliau dengan sambutan kehormatan. Pandawa bersaudara mengenakan pakiaian kebesaran dan menunggu di gerbang utama istana untuk menyambut Beliau. Ketika kereta Beliau mulai terlihat, genderang dibunyikan, tiupan terompet mengumandangkan selamat datang, dan setiap orang berseru jaya, jaya penuh rasa gembira. Yudhistira menghampiri kereta dan memeluk Sri Krishna segera setelah Beliau turun. Ia menggandeng dan mengajak Belau masuk ke istana di situ sebuah singgasana yang tinggi telah disiapkan khusus untuk Beliau. Setelah Sri Krishna duduk, lain-lainnya juga duduk di tempat yang sesuai dengan tingkat serta kedudukannya.
Sahadewa pergi ke duang dalam dan si anak dibawa di atas piring emas. Bocah itu cemerlang bagaikan matahari dan menjadi lebih menawan karena dihias dengan aneka permata yang sangat indah. Pada pendeta mengidungkan doa-doa, berseru memohon agar para dewa memberkati dan menganugerahi anak tersebut dengan kesehatan serta kebahagiaan.
Sahadewa meletakkan anak itu di lantai di tengah balairung istana. Para dayang dan pengurus rumah tanga istana datang dalam barisan yang panjang menuju tempat sang pangeran, mereka memegang piring-piring emas yang penuh berisi bunga wewangian, kain sutera, dan kain renda. Di balik tirai yang dipasang secara khusus, para ratu: Rukmini, Draupadi, Subhadra, dan Uttara mengamati si anak yang meloncat-loncat dan mereka bersuka cita melihat pemandangan yang membahagiakan ini. Sahadewa mengangkat anak itu dan meletakkannya di atas timbunan bunga dalam mantap yang didirikan untuk upacara pemberian nama. Tetapi si anak bangkit dan mulai merangkak maju dengan berani walau para dayang memprotesnya. Tampaknya bocah itu hendak pergi ke suatu tempat.
Usaha Sahadewa untuk menghentikannya ternyata sia-sia. Yudhistira yang selama itu mengamati kelakuan si anak dengan penuh minat berkata sambil tersenyum. “Sahadewa, jangan menghalangi. Biarkan saja. Mari kita lihat apa yang dilakukannya.” Sahadewa melepaskan pegangannya. Dibiarkannya anak itu merangkak sesuka hatinya, hanya diawasi dan dijaga agar tidak jatuh atau terluka. Diikutinya setiap langkah bocah itu dengan penuh kewaspadaan.
Pada waktu duduk di pangkuan Beliau, pangeran kecil menatap wajah Beliau tanpa berkedip; ia tidak menoleh kian kemari, menarik sesuatu, atau mengoceh. Ia hanya duduk dan menatap. Setiap orang heran melihat kelakuannya yang tidak seperti kelakuan anak kecil pada umumnya. Bahkan Krishna pun ikut merasakan keheranan yang meliputi balairung tersebut.
Sambil berpaling kepada Yudhistira, Krishna berkata, “Mula-mula saya tidak percaya ketika diberitahu bahwa anak ini menatap setiap orang yang datang ke dekatnya dan mengamati roman mukanya. Saya kira itu hanya penjelasan pendeta ini tentang senda gurau dan permainan yang wajar bagi seorang anak. Sekarang hal ini memang benar-benar mengherankan. Bocah ini bahkan mulai mengamati dan memerksa saya. Nah, saya juga akan mengujinya sedikit.”
Kemudian Krishna berusaha mengalihkan perhatian anak itu dari diri Beliau dnegan meletakkan aneka permainan di depannya sedangkan Beliau sediri bersembunyi, Krishna berharap bocah itu akan segera merupakan Beliau. Tetapi si anak tidak tertarik pada benda apapun lainnya. Ia telah memusatkan pandangannya secara pasti kepada Sri Krishna dan hanya Beliaulah yang dicarinya. Ia berusaha merangkak menuju tempat lain jika dikiranya Krishna berada di situ. Ketika usaha untuk mengalihkan si anak dari diri Beliau gagal, Krishna menyatakan, “Ini bukan anak biasa. Ia lulus ujian saya. Karena itu, nama Parikshitah yang paling cocok baginya. Ia sudah hidup sesuai dengan nama itu.”
Setelah mendengar pernyataan ini, para pendeta mengidungkan ayat-ayat menyerukan doa restu mereka bagi si anak. Para brahmin mengidungkan doa-doa yang sesuai dari kitab weda. Musik terompet berkumandang di udara. Para wanita menyanyikan lagu-lagu yang membawa keselamatan. Guru keluarga raja mencelupkan perhiasan dengan sembilan permata ke dalam mangkuk emas yang berisi madu dan menuliskan nama tersebut pada lidah si anak. Nama itu juga dituliskan pada beras yang sudah diratakan dalam piring emas, kemudian berasnya ditaburkan di atas kepada si anak sebagai lambang kemakmuran dan kebahagiaan. Demikianlah upacara pemberian nama itu dirayakan secara besar-besaran. Sebelum pulang, semua pria dan wanita yang hadir diberi cindera mata sesuai dengan pangkat dan kedudukan mereka. Setiap orang dengan senang dan kagum membicarakan betapa mengherankan cara anak itu mencari Sri Krishna dan minta dipangku. Banyak yang memuji kepercayaan teguh yang telah dicapai si anak.
Yudhistira merasa heran pada kelakuan unik si anak, karena itu ia menemui Maharsi Wyasa untuk menanyakan mengapa bocah itu mencari Sri Krishna secara aneh dan ia ingin mengetahui akibat sikat tersebut. Wyasa berkata,”Yudhistira, ketika anak ini masih berada dalam kandungan dan panah maut yang ditujukan kepadanya oleh Aswatama untuk membunuhnya hampir mengenai sasaran, Sri Krishna masuk ke dalam rahim, mengamankannya, dan menyelamatkan si janin dari kebinasaan. Sejak saat itu, si anak ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang telah menyelamatkannya di dalam rahim tempat ia terbaring. Ia mulai memeriksa setiap orang untuk mengetahui apakah orang itu memiliki kecemerlangan seperti yang telha dilihatnya ketika ia masih berupa janin di dalam rahim. Hari ini dilihatnya wujud ketuhanan itu dengan segala keindahan dan kcemerlangannya, karena itu ia langsung merangkak mendapatkan Beliau dan mohon agar diangkat serta dipangku. Inilah penjelasan mengenai tingkah lakunya yang aneh yang ingin Anda ketahui.
Mendengar penjelasan Wyasa ini Yudhistira menitikkan air mata gembira dan syukur. Dengan penuh rasa gembira atas rahmat Tuhan yang tidak terbatas, ia menyampaikan hormat baktinya kepada Sri Krishna.
Bocah Parikshit dan Ramalan Tentang Dirinya.
“Aduh! Apakah akhirnya ia harus mengalami nasib yang tragis ini? Apakah ini merupakan ganjaran bagi segala kebaikan yang kelak dilakukannya? Setelah menempuh hidup yang bajik selama bertahun-tahun, dapatkan akibatnya tiba-tiba berubah menjadi kematian yang malang ini? Ada dikatakan bahwa mereka yang mati tenggelam, mereka yang menemui ajal karena jatuh dari pohon, dan mereka yang meninggal karena digigit ular, tidak baik kehidupannya di akhirat kelak. Semua ini dianggap ebagai kematian yang sial, mereka yang menemui ajalnya seperti itu akan menjadi hantu dan akan menderita, demikian kata orang. Mengapa anak ini harus mengakhiri hidupnya seperti itu? Oh, alangkah mengerikan. Oh, alangkah tidak adilnya semua ini!” , ratap Yudhistira sambil menggigit bibirnya menahan sedih.
Para brahmin segera menghiburnya. “Maharaja!”, seru mereka, “Tidak ada alasan untuk bersedih hati. Tokoh yang demikian agung tidak akan mengalami tragedi semacam itu. Tidak. Setelah mengkaji posisi planet-planet dalam horoskop anak ini, kami dapat melihat dengan jelas adanya dua kombinasi baik yang menunjukkan vajrayoga dan bhaktiyoga, keduanya kuat sekali dan berpengaruh baik. Karena itu, begitu tahu perihal kutukan tersebut, ia akan meninggalkan kerajaan, istri, serta anak-anaknya, kemudian menyepi di tepi sungai Bhagirathi yang suci dan memasrahkan diri kepada Tuhan. Resi Suka yang agung, putra Vyasa, akan datang kesana dan mendiksanya dalam atmajnana dengan menceritakaan kemuliaan Sri Krishna serta menyanyikan pujian bagi Beliau. Dengan demikian ia akan melewatkan hari-hari akhirnya di tepi Sungai Gangga yang suci dan menghembuskan napas terakhir dengan kasih yang mendalam dan bakti kepada Tuhan. Bagaimana mungkin tokoh semacam itu mengalami tragedi dan bencana? Ia tidak akan lahir lagi karena melalui bhaktiyoga ia akan manunggal dengan Tuhan. Mendengar penjelasan ini, lenyaplah kesedihan Yudhistira dan ia merasa senang. Katanya, “Kalau begitu, ini bukan kutukan melainkan anugerah yang unik.”
Dengan ini setiap orang bangkit. Para brahmin diberi penghormatan sesuai dengan tingkat ilmu dan tapanya. Mereka dianugerahi permata serta pakaian sutera dan raja mengatur agar mereka diantar pulang. Yudhistira dan saudara-saudaranya kembali ke istana masing-masing, tetapi mereka melewatkan waktu berjam-jam membicarakan aneka kejadian hari itu dan tentang kekhawatiran yang akhirnya hilang terhapus. Mereka senang sekali oleh perubahan yang akhirnya berlangsung dalam ramalan.
Sang bayi tumbuh di ruang anak-anak bagaikan bulan yang membesar setengah bulan menjelang purnama. Karena ia lahir sebagai pewaris tahta kerajaan besar setelah ada bahaya mengerikan yang terjadi secara berturut-turut setiap orang mencintainya dan menjaganya bagaikan biji mata, bak napas hidup mereka sendiri. Draupadi yang amat sedih karena kehilangan kelima putranya (Upapandawa), Subhadra yang menderita kehilangan dan tidak terhiburkan karena gugurnya Abhimanyu, dan Pandawa bersaudara yang ketakutan jika panah dahsyat yang ditujukan oleh Aswatthama kepada putra Abimanyu-dalam kandungan Uttara-mungkin berakibat fatal dan memusnahkam garis keturunan Pandawa untuk selama-lamanya, semua merasa lega. Tidak hanya itu. Mereka merasa gembira melihat anak itu. Mereka sangat bahagia. Bila rindu ingin melihat dan menggendong si bayi, mereka mengambilnya dari keputren kemudian melewatkan hari bermain-main dengan bocah mungil yang menawan hati itu.
Anak ini pun amat cerdas. Tampaknya ia selalu mengamati roman muka setiap orang yang menimangnya atau datang di hadapannya. Ia menatap wajah mereka lama-lama dengan penuh kerinduan. Semua merasa heran atas kelakuannya yang aneh ini. Setiap orang yang menengoknya menjadi sasaran pengamatan dan pemeriksaan si anak yang tampaknya bertekad mencari seseorang atau sesuatu di dunia tempat lahirnya.
Ada beberapa yang berkata dengan sedih bahwa anak itu mencari ayahnya, Abhimanyu. Lainnya berkata, “Tidak, tidak, anak itu mencari Sri Krishna.” Beberapa orang lagi berpendapat bahwa tampaknya anak itu berusaha menemukan suatu sinar kedewataan. Kenyataannya anak itu mengamati dan memeriksa semuanya untuk mencari suatu ciri khas atau tanda yang telah diketahuinya guna mengenali suatu wujud yang diingatnya. Setiap orang menyebut usaha pencarian yang dilakukan anak itu dengan kata pariksha, karena itu, sebelum upacara pemberian nama dilangsungkan secara resmi, setiap orang di dalam dan di luar istana mulai menyebut bocah itu Parikshit “ia yang melakukan pariksha”.
Nama Parikshit itu menetap! Dari raja hingga ke petani, dari sarjana hingga orang dusun, dari penguasa hingga orang kebanyakan, setiap orang menyapa atau menyebut anak itu Parikshit. Kemasyhuran anak itu bertambah dari hari ke hari. Ia menjadi buah bibir setiap orang. Pada suatu hari yang baik, Yudhistira memanggil pendeta istana dan menugasinya menetapkan hari yang bertuah untuk menyelenggarakan upacara pemberian nama bagi pangeran kecil.
Pendeta itu memanggil para cendikiawan serta astrologer kelompoknya dan setelah memeriksa hubungan bintang-bintang mereka menemukan suatu hari yang disetujui oleh semuanya sebagai hari yang baik untuk tujuan tersebut. Mereka juga menentukan jam yang tepat untuk pemberian nama. Undangan untuk menghadiri upacara ini dikirimkan kepada para raja, para sarjana, pendeta, maupun warga masyarakat yang terkemuka. Raja mengirim utusan-utusan untuk mengundang para resi dan tokoh spiritual. Arjuna pergi mengunjungi Sri Krishna dan mohon dengan hormat agar Beliau sudi melimpahkan rahmat buat si anak pada kesempatan tersebut. Ketika kembali, ia berhasil mengajak Sri Krishna bersamanya.
Ketika Sri Krishna tiba, para resi, brahmin, raja, adipati dan warga masyarakat bersiap-siap menerima Beliau dengan sambutan kehormatan. Pandawa bersaudara mengenakan pakiaian kebesaran dan menunggu di gerbang utama istana untuk menyambut Beliau. Ketika kereta Beliau mulai terlihat, genderang dibunyikan, tiupan terompet mengumandangkan selamat datang, dan setiap orang berseru jaya, jaya penuh rasa gembira. Yudhistira menghampiri kereta dan memeluk Sri Krishna segera setelah Beliau turun. Ia menggandeng dan mengajak Belau masuk ke istana di situ sebuah singgasana yang tinggi telah disiapkan khusus untuk Beliau. Setelah Sri Krishna duduk, lain-lainnya juga duduk di tempat yang sesuai dengan tingkat serta kedudukannya.
Sahadewa pergi ke duang dalam dan si anak dibawa di atas piring emas. Bocah itu cemerlang bagaikan matahari dan menjadi lebih menawan karena dihias dengan aneka permata yang sangat indah. Pada pendeta mengidungkan doa-doa, berseru memohon agar para dewa memberkati dan menganugerahi anak tersebut dengan kesehatan serta kebahagiaan.
Sahadewa meletakkan anak itu di lantai di tengah balairung istana. Para dayang dan pengurus rumah tanga istana datang dalam barisan yang panjang menuju tempat sang pangeran, mereka memegang piring-piring emas yang penuh berisi bunga wewangian, kain sutera, dan kain renda. Di balik tirai yang dipasang secara khusus, para ratu: Rukmini, Draupadi, Subhadra, dan Uttara mengamati si anak yang meloncat-loncat dan mereka bersuka cita melihat pemandangan yang membahagiakan ini. Sahadewa mengangkat anak itu dan meletakkannya di atas timbunan bunga dalam mantap yang didirikan untuk upacara pemberian nama. Tetapi si anak bangkit dan mulai merangkak maju dengan berani walau para dayang memprotesnya. Tampaknya bocah itu hendak pergi ke suatu tempat.
Usaha Sahadewa untuk menghentikannya ternyata sia-sia. Yudhistira yang selama itu mengamati kelakuan si anak dengan penuh minat berkata sambil tersenyum. “Sahadewa, jangan menghalangi. Biarkan saja. Mari kita lihat apa yang dilakukannya.” Sahadewa melepaskan pegangannya. Dibiarkannya anak itu merangkak sesuka hatinya, hanya diawasi dan dijaga agar tidak jatuh atau terluka. Diikutinya setiap langkah bocah itu dengan penuh kewaspadaan.
Pada waktu duduk di pangkuan Beliau, pangeran kecil menatap wajah Beliau tanpa berkedip; ia tidak menoleh kian kemari, menarik sesuatu, atau mengoceh. Ia hanya duduk dan menatap. Setiap orang heran melihat kelakuannya yang tidak seperti kelakuan anak kecil pada umumnya. Bahkan Krishna pun ikut merasakan keheranan yang meliputi balairung tersebut.
Sambil berpaling kepada Yudhistira, Krishna berkata, “Mula-mula saya tidak percaya ketika diberitahu bahwa anak ini menatap setiap orang yang datang ke dekatnya dan mengamati roman mukanya. Saya kira itu hanya penjelasan pendeta ini tentang senda gurau dan permainan yang wajar bagi seorang anak. Sekarang hal ini memang benar-benar mengherankan. Bocah ini bahkan mulai mengamati dan memerksa saya. Nah, saya juga akan mengujinya sedikit.”
Kemudian Krishna berusaha mengalihkan perhatian anak itu dari diri Beliau dnegan meletakkan aneka permainan di depannya sedangkan Beliau sediri bersembunyi, Krishna berharap bocah itu akan segera merupakan Beliau. Tetapi si anak tidak tertarik pada benda apapun lainnya. Ia telah memusatkan pandangannya secara pasti kepada Sri Krishna dan hanya Beliaulah yang dicarinya. Ia berusaha merangkak menuju tempat lain jika dikiranya Krishna berada di situ. Ketika usaha untuk mengalihkan si anak dari diri Beliau gagal, Krishna menyatakan, “Ini bukan anak biasa. Ia lulus ujian saya. Karena itu, nama Parikshitah yang paling cocok baginya. Ia sudah hidup sesuai dengan nama itu.”
Setelah mendengar pernyataan ini, para pendeta mengidungkan ayat-ayat menyerukan doa restu mereka bagi si anak. Para brahmin mengidungkan doa-doa yang sesuai dari kitab weda. Musik terompet berkumandang di udara. Para wanita menyanyikan lagu-lagu yang membawa keselamatan. Guru keluarga raja mencelupkan perhiasan dengan sembilan permata ke dalam mangkuk emas yang berisi madu dan menuliskan nama tersebut pada lidah si anak. Nama itu juga dituliskan pada beras yang sudah diratakan dalam piring emas, kemudian berasnya ditaburkan di atas kepada si anak sebagai lambang kemakmuran dan kebahagiaan. Demikianlah upacara pemberian nama itu dirayakan secara besar-besaran. Sebelum pulang, semua pria dan wanita yang hadir diberi cindera mata sesuai dengan pangkat dan kedudukan mereka. Setiap orang dengan senang dan kagum membicarakan betapa mengherankan cara anak itu mencari Sri Krishna dan minta dipangku. Banyak yang memuji kepercayaan teguh yang telah dicapai si anak.
Yudhistira merasa heran pada kelakuan unik si anak, karena itu ia menemui Maharsi Wyasa untuk menanyakan mengapa bocah itu mencari Sri Krishna secara aneh dan ia ingin mengetahui akibat sikat tersebut. Wyasa berkata,”Yudhistira, ketika anak ini masih berada dalam kandungan dan panah maut yang ditujukan kepadanya oleh Aswatama untuk membunuhnya hampir mengenai sasaran, Sri Krishna masuk ke dalam rahim, mengamankannya, dan menyelamatkan si janin dari kebinasaan. Sejak saat itu, si anak ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang telah menyelamatkannya di dalam rahim tempat ia terbaring. Ia mulai memeriksa setiap orang untuk mengetahui apakah orang itu memiliki kecemerlangan seperti yang telha dilihatnya ketika ia masih berupa janin di dalam rahim. Hari ini dilihatnya wujud ketuhanan itu dengan segala keindahan dan kcemerlangannya, karena itu ia langsung merangkak mendapatkan Beliau dan mohon agar diangkat serta dipangku. Inilah penjelasan mengenai tingkah lakunya yang aneh yang ingin Anda ketahui.
Mendengar penjelasan Wyasa ini Yudhistira menitikkan air mata gembira dan syukur. Dengan penuh rasa gembira atas rahmat Tuhan yang tidak terbatas, ia menyampaikan hormat baktinya kepada Sri Krishna.
No comments:
Post a Comment