Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Masih Hindu, Kampungan Banget!!

Cerita Mahabharata                                 Instant Pay For You
“Wah, indah sekali ya mbah. Udaranya sejuk, pemandangannya juga elok sekali”, terdengar suara seorang gadis belia setengah berteriak girang. “Iya, disinilah kami setiap hari bekerja setelah emakmu mulai masuk SMP. Hyang Widhi memberikan banyak anugrah ditegalan ini. Dari tegalan ini kami bisa hidup dari bertanam palawija, memandangi lincahnya emak dan pak de mu bermain serta menikmati lukisan yang begitu indah berupa candi Prambanan yang tak pernah goyah oleh zaman” sahut seorang wanita renta yang sudah sedikit bungkuk sambil menggendong bakul. “Memangnya sebelum mama SMP, mbah dan mbah kakung kerja apa?”, tanya gadis belia lagi. Seorang laki-laki tua pun menghentikan langkahnya seraya meletakkan cangkul dari pundaknya setelah mendapat pertanyaan dari si gadis. “Begini nduk, mbah mu kan kesemsem sama mbah kakung saat kami manggung diacara kawinan anak kepala desa diselatan Prambanan. Mbah kakung dulu tampan dan pandai menari, seperti ini neng nong neng gung, gung neng nong neng gung….” jawab pria tua yang dipanggil mbah kakung sambil menari kecil yang serta merta disambut tawa kecil gadis belia dan nenek renta. “Iya Nduk, sejak seumuranmu kami keluar masuk desa sebagai penari. Tapi semakin hari semakin berkurang yang nanggap kami untuk menari, akhirnya kami memutuskan untuk berkebun palawija saja” sambung nenek tua sambil melihat kelangit Prambanan seakan mengingat masa lalunya.

“Coba lihat kearah Prambanan, Nduk. Prambanan merupakan satu-satunya peninggalan leluhur kita yang tidak ikut-ikutan zaman sekarang, banyak masyarakat sekitar yang dulunya Hindu sekarang sudah tidak lagi Hindu. Meskipun sudah banyak kehilangan umat, namun Candi Prambanan tetap Hindu. Jika dulu candi itu ramai oleh umat yang berdoa, kini candi itu ramai oleh pelancong untuk menikmati keindahannya. Banyak sekali para pelancong yang kagum akan keagungan candi Prambanan, meskipun umat kita sendiri mulai luntur kekaguman pada peninggalan leluhur. Setiap menjelang tahun baru saka, candi Prambanan banyak kedatangan umat, banyak yang dari Bali” tutur kakek renta sambil duduk bersandar dipohon nangka. Si Gadis belia yang berkulit putuh bersih memandang kearah yang ditunjuk sang kakek sambil coba memahami cerita yang didengarnya. “Apa yang dilakukan saat tahun baru saka di Pramabanan?” tanya gadis belia sambil merapihkan rambut lurusnya yang berwarna kecoklatan yang terhembus angin. Sang kakek menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan cucunya. “Tahun baru saka itu tahun barunya Hindu, tahun baru saka merupakan satu-satu tahun baru yang disambut tidak dengan kemeriahan, melainkan dengan keprihatinan. Di tahun baru saka yang zaman sekarang disebut hari raya nyepi, umat justru tidak bepergian, menghentikan kerja, tidak menyalakan api, hanya berdoa dan mengingat perilaku buruk untuk tidak mengulanginya. Sebelum emakmu ke kota, ia dan pak de serta mbah dan mbah kakung selalu berdoa semalaman di Prambanan saat tahun baru saka”.

“Emakmu tidak mau lagi berdoa ke Prambanan sejak ia ke kota, tepatnya setelah ia menikah dengan bapakmu. Kami sangat sedih, karena leluhur akan marah karena keturunannya meninggalkan Hindu. Tetapi karena emakmu memaksa, kami tidak bisa mencegahnya” sambung wanita tua sambil menyeka air yang menetes dari kelopak matanya yang keriput. “Mengapa mbah begitu sedihnya pada mama dan papa, bukannya mbah dan mbah kakung harusnya bersyukur karena mama sekarang hidup berkecukupan, punya rumah besar dan punya mobil?” tanya sang gadis setengah berbisik sambil memeluk wanita tua. “Sampai kapan pun kami bangga pada emakmu sekaligus kami kecewa padanya dan pada kemampuan kami meneruskan pesan leluhur. Kami kecewa padanya, karena ia tidak lagi Hindu dan memaksa kami untuk masuk agama bapakmu sebagai syarat menjadi wali saat emakmu menikah, Kami juga kecewa karena ia telah merubah namanya agar bisa jadi artis, padahal nama itu pemberian buyut mu. Nama asli emakmu adalah Sumiyem dan pak de mu bernama Sarmijan”. Sejak itu kami tidak pernah melewatkan berdoa dan minta ampun pada leluhur di Prambanan saat tahun baru saka, karena kami gagal mendidik emakmu sehingga emakmu meninggalkan agama leluhur” sahut perempuan tua lirih.

“Apakah perselisihan mama dan mbah penyebab mama dan papa melarang Ayu berlibur kesini dan ke Bali?” tanya gadis belia yang dipanggil Ayu dengan nada sedih. “Iya nduk, emakmu takut kamu dan mas mu kembali ke Hindu. Emakmu mungkin keberatan karena kalau kamu atau mas mu ke Hindu, kalian tidak bisa jadi artis dan akan jatuh miskin seperti kami. Begitu pun dengan Bali” sahut laki-laki tua ketus sambil memukul-mukulkan cangkulnya ke akar pohon nangka”. “Betul nduk, selain bangga dan kecewa, kami juga merasa khawatir dengan keluarga kalian di kota, kami yakin leluhur marah. Itu terbukti dengan mas mu yang sekarang masuk penjara karena menjual obat terlarang” sambung nenek tua sambil terisak. “Mbah…., Mas Farel ditangkap polisi karena melanggar hukum, bukan karena leluhur marah. Lagian sekarang zaman sudah modern, sudah tidak zamannya percaya dengan yang begitu-begitu, sudah tidak zamannya menyembah patung. Zamam kerajaan sih orang jawa beragama Hindu, makanya miskin dan dijajah. Sekarang banyak orang jawa yang kaya raya, itu karena mereka berkerja dan ikut perkembangan zaman dan tidak percaya mitos, leluhur, menyembah patung” hardik Ayu dengan lantang.

Suara Ayu yang cukup lantang membuat terkejut kakek-neneknya. Sang nenek menunduk sambil mengusap dada peotnya, sedangkan sang kakek menerawang ke langit lalu memandangi candi Prambanan yang dihiasi awan memutih sedikit mendung. Ia meletakkan cangkul dikiri pohon nangka, lalu mengatur kakinya bersila. “Ya Gusti, Maafkanlah cucuku, maafkanlah kami. Kamilah yang bersalah karena tidak bisa meneruskan ajaran suciMu, hukumlah kami, jangan anak dan cucu kami”. Suasanapun menjadi hening, semua menunduk. Sang kakek menghela nafas dalam-dalam, kemudia berkata “Nduk, kami selalu berdoa agar tercapai apa yang kamu cita-citakan. Dan, biarkan pak de mu tetap Hindu meskipun miskin, serta biarkanlah kami Hindu hingga kami mati. Kami sangat bangga diberi kesempatan berdoa di tahun baru saka, meskipun kami tidak diberikan kemewahan seperti orang kota. Teruskan cita-citamu nduk, mungkin benar bawah Hindu menghambat kamu jadi artis, seperti emakmu”.

Buat direnungkan:
APAKAH AKU, SEORANG HINDU?
KALAU AKU BELUM MENJADI SEORANG HINDU DARIMANAKAH AKU HARUS MEMULAI?
Carilah jawabannya, namun pada saat ini ijinkan aku mengulangi satu stanza dari kitab suci:
Tiada seorangpun tahu apa yang benar dan apa yang salah;
Tiada seorangpun tahu apa yang baik dan apa yang buruk;
Namun ada satu dewa yang bersemayam dalam dirimu;
Temukan dan ikuti perintah-perintahnya.

No comments:

Post a Comment