Cerita Mahabharata. Oleh : Luh Made Sutarmi Instant Pay For You
Seorang pria mencintai kekasihnya paling banyak, mencintai istrinya paling baik, tapi mencintai ibunya paling lama (A man loves his sweetheart the most, his wife the best, but his mother the longest), tulis Irish Proverb dengan bijak bertutur, bahwa mencintai adalah pilihan hidup. Dalam bentang itulah Dewi Kaikeyi dalam kisah Ramayana adalah sebagai contoh, bagaimana dia menuntut sebuah janji keadilan atas sebuah masa silam, di mana pengorbanan tak pernah bisa dikonotasikan dengan imbalan, sehingga ia hendak berjuang akan rasa keterwakilannya di hadapan hukum publik yang disusun di ruang para legislator. Dicoba di depan para pendeta dan rohanian negara, juga di depan para hulu balang yang sering kaku tak pernah jinak. Akhirnya, Dewi Kaikeyi menjadi cibiran yang tak pernah berhenti.
Dalam ranah intelektulitas, Dewi Kaikeyi mungkin telah terpengaruh oleh ideologi yang bertahun-tahun mengatakan, bahwa hukum justru sesuatu yang harus angker, mengandung misteri, hingga tak mudah dimasuki oleh semua orang kebanyakan, termasuk perempuan. Lalu di sanalah, kita hendak berpikir, bahwa ada dua hal yang menarik ketika kita hendak menyimak kisah Penderitaan Dasaratha, saat memenuhi janji yang pernah dilontarkan kepada Dewi Kaikeyi. Pertama, Raja Dasaratha berpikir pendek atas hadiah yang diberikan kepada Kaikeyi saat dia membantunya dalam peperangan. Kedua, kurang keikhlasan untuk menepati janji yang telah dilontarkan, sehingga berat saat harus ditepati. Dua konflik itu membangun kesadaran, yang membuat Sri Rama dibuang ke hutan, dan Dasaratha wafat saat berpisah dengan Sri Rama.
Saat udara pagi berdesir dan Matahari menampakkan sinarnya, Piubu Dasaratha berangkat menuju medan laga. Berperang untuk menegakkan kewajiban sebagai seorang ksatria. Perang itu adalah perang yang sangat menarik, dan tentu unik. Dasaratha ikut dalam peperangan antara para dewa dan setan, disertai oleh ratu mudanya, Kaikeyi.
Kaikeyi adalah putri dari Ratu Kashmir; ia sangat pandai dalam ilmu perang. Sebenarnya. Ketika Dasaratha sedang bertempur dalam peperangan, salah satu roda keretanya lepas. Kaikeyi menggunakan. jarinya untuk menahan agar roda tidak terpisah dari poros kereta. Dengan demikian ia menyelamatkan jiwa Dasaratha. Setelah mencapai kemenangan, Raja Dasaratha melihat, bahwa tangan Kaikeyi mengeluarkan darah banyak sekali. Melihat keadaannya yang menyedihkan itu, Dasaratha diliputi oleh rasa cinta yang meluap-luap dan begitu bangga dengan keberanian serta pengorbanannya, sehingga Ia berkata, “Kaikeyi, engkau boleh minta dua hadiah, apa saja yang engkau inginkan, dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya”. Ia tidak menentukan hadiah apa yang boleh diminta istrinya. Ia menjanjikan hadiah itu tanpa memikirkan akibatnya. Kini Kaikeyi menagih hadiah itu pada saat yang sangat tepat baginya. Ketika tiba saatnya Dasaratha menyerahkan kerajaan kepada Rama, Kaikeyi minta agar Rama dibuang ke hutan, dan agar anaknya, Bharata, dinobatkan menjadi raja. Maka Dasaratha sangat menyesal, karena telah menjanjikan hadiah itu tanpa syarat apa pun; tetapi sudah amat terlambat untuk menariknya kembali. Kesedihannya atas hal itu mengakibatkan kematiannya.
Lalu Rama ditanyai oleh Kaikeyi, saat berada dihutan. “Maafkan aku, ibumu ini yang menyebabkan kesedihan yang melanda Ayodya, lalu apa yang mesti aku lakukan, tanya Dewi Kaikeyi. Rama berkata, dengan manis, “Semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, Tersenyumlah selalu, sebab yang selalu tersenyum ialah Narayana, Tuhan. Yang menangis adalah nara, manusia. Orang yang menangis itu pandir, bodoh. Semua manusia adalah perwujudan atma”.
Rama melanjutkan, “Aku akan menjelaskan kepadamu sesuatu yang amat penting. Sekarang ini tingkah laku kita berbeda. Aku tersenyum, sedangkan engkau menangis: Tetapi kita berdua bisa sama; apakah Aku menjadi seperti engkau atau engkau menjadi seperti Aku. Jika Aku menjadi seperti engkau, maka Aku akan menjadi penakut; tetapi ini sama sekali tidak mungkin. Kelemahan semacam itu tidak mungkin memasuki diri-Ku. Sebaliknya jika engkau menjadi seperti Aku, maka engkau harus mengikuti Aku dan melakukan apa yang Aku katakan.
“Rama anakku, maafkanlah aku, ibu yang bukan bermaksud menyiksamu, namun agar hutang orang tuamu tidak terbawa untuk kekelahiran nanti, maksudku supaya beliau melunasinya saat ini juga, sehingga Prabu Dasaratha bisa mencapai moksha. Lalu, kini apa yang harus aku lakukan.
Rama berkata, “Ibu Keikayi, semua badan tidak ubahnya dengan gelembung-gelembung udara. Semua sanak saudara dan teman-temanmu tidak hanya ada sekarang ini tetapi mereka sudah ada pada kelahiran-kelahiran sebelumnya. Engkau pun sudah ada sebelumnya, dan Aku pun sudah ada pula. Badan, pikiran, dan budi, semua itu alat belaka. Tidak ubahnya dengan pakaian yang engkau kenakan; semua itu hanya barang yang engkau ganti sewaktu-waktu. Mengapa mengikatkan diri kepada semua itu, tergila-gila sehingga engkau menanggung kesedihan dan rasa duka yang tidak perlu? Lakukanlah kewajibanmu. Segala kehormatan yang pantas bagimu sebagai ibu akan engkau peroleh; tetapi di medan laga kehidupan tidak ada tempat bagi perasaan kecut dan hati yang lemah. Berjuang untuk mempertahankan dharma adalah misi kehidupan ini.
Dewi Keikayi mengangguk setuju. Intinya adalah, kelemahan manusia yang paling besar adalah keraguannya untuk mengatakan pada orang sekitar seberapa besar dia mencintai mereka, ketika mereka masih hidup. (The greatest weakness of most humans is their hesitancy to tell others how much they love them while they’re still alive). Om Gam Ganapataye namaha. RADITYA 150 – Januari 2010
No comments:
Post a Comment