Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Kerajaan Bumayasasta: Peradaban Nusantara di Tahun 7.200 SM

Berita Mahabharata. Kerajaan Bumayasasta ini berdiri pada sekitar ±7.200 SM, dengan pusat pemerintahannya yang berada di sekitar Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat sekarang. Orang yang mendirikan kerajaan ini bernama Humanayun yang kemudian bergelar Ratu Humanayun Humatani Suwakti Drugari. Peradaban yang dimiliki oleh kerajaan ini sudah tinggi, bahkan jauh sebelum orang Sumeria, Mesir, China atau bangsa Eropa membangun peradabannya. Dan begitulah nenek moyang bangsa Nusantara yang sesungguhnya, mereka adalah orang-orang hebat dan pernah menjadi pelopor dari peradaban dunia.

Untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelusuran berikut ini:

Awal kisah

Kisah berdirinya kerajaan ini dimulai ketika Humanayun masih tinggal di tempat kelahirannya, yaitu Kerajaan Zayamata, yang kini berada di sekitar kepulauan Andaman bagian selatan (sekarang sudah menjadi lautan). Ia adalah seorang pangeran di kerajaan itu dan memiliki dua orang saudara lainnya. Yang tertua adalah seorang laki-laki bernama Hartamuni, sementara yang bungsu adalah seorang perempuan bernama Mayasina. Ayahnya, raja dari kerajaan Zayamata bernama Jayabara (bergelar Aryadupa), sedangkan ibunya bernama Hartinumaya Sari.

Awalnya kehidupan mereka ini sangat harmonis, meskipun kedua adiknya senang berfoya-foya dalam hidup dan cenderung agak malas. Sikap ini sangat jauh berbeda dengan Humanayun yang justru sangat rendah hati, rajin dan senang mencari ilmu kepada banyak orang yang bijak. Hingga pada akhirnya, pamannya, yaitu adik kandung dari bapaknya yang bernama Karanuti berhasil menghasut adik laki-laki Humanayun yang bernama Hartamuni untuk merebut tahta kerajaan. Ia benar-benar lupa bahwa tahta itu sudah menjadi hak dari kakaknya sejak lahir.

Singkat cerita, sampailah pada waktu dimana Hartamuni meminta langsung kepada ayahnya, yaitu Raja Jayabara, untuk menyerahkan tahta kepadanya. Mendapati hal itu, awalnya sang ayah tidak langsung menyetujui permintaan itu. Ia bahkan merahasiakan hal itu dari anak tertuanya, sampai pada akhirnya ia jatuh sakit. Melihat keadaan ayahnya yang tidak sehat, Humanayun lalu bertanya apa gerangan yang menyebabkan sang ayah bisa seperti itu. Hidup tapi tidak lagi bergairah, bahkan sakit-sakitan. Terus saja ia mendesak, hingga pada akhirnya sang ayah mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sang ayah lalu menjelaskan bahwa adiknya, Hartamuni, meminta tahta yang seharusnya menjadi hak dari Humanayun sejak lahir.

Mengetahui hal itu, Humanayun tidak begitu terkejut apalagi marah. Dan sebagai seorang yang rendah hati dan tidak terlalu tertarik dengan jabatan, akhirnya ia merelakan tahta kerajaan diberikan kepada adiknya itu, asalkan sang ayah bisa segera sembuh dari sakitnya. Mendengar jawaban dari anak kesayangannya itu, sungguh terharulah hati Raja Jayabara, hingga dari kedua matanya mengalirlah air yang deras.

Selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, tahta kerajaan pun diserahkan kepada anak kedua yang bernama Hartamuni itu. Namun disini caranya dengan menyerahkan tahta kerajaan kepada anak tertua (Humanayun) terlebih dulu. Setelah itu, di hari yang sama, barulah Humanayun memberikan tahta itu kepada adiknya Hartamuni. Demikianlah prosesi serah terima jabatan atau peralihan kekuasaan yang terjadi di Kerajaan Zayamata pada waktu itu. Bisa berlangsung secara aman dan damai.

Setelah itu, sebagai seorang yang sudah banyak menimba ilmu dari banyak guru, pangeran Humanayun tidak berhenti disitu saja. Ia juga sudah mengetahui bahwa ada konspirasi dari pamannya untuk membunuh dirinya. Karena itulah, ia lalu memutuskan untuk segera pergi dari kota kerajaan dan memulai kehidupan yang baru. Dan sebagaimana tradisi pada masa itu dimana setiap raja atau pangeran pasti memiliki guru spiritual (yaitu seorang Resi), maka pangeran Humanayun telah mendapatkan wejangan dan bekal dari gurunya. Orang bijak itu bernama Puratani Murtayani. Dari sosok Resi itu juga pangeran Humanayun mendapatkan sebuah bahasa dan aksara. Bahasanya bernama Gumali, sementara aksaranya bernama Gumartayasa. Bahasa dan aksara ini sebelumnya didapatkan oleh sang Resi dari Bhatara Brahmawiyasa. Pesan Resi Puratani kepada sang pangeran adalah bahwa bahasa ini harus digunakan pada peradaban yang akan dibangun olehnya nanti.

Singkat cerita, pangeran Humanayun pun akan berangkat meninggalkan Kerajaan Zayamata. Namun, sebelum keberangkatannya, maka Raja Jayabara memberikan pesan kepada anaknya itu. Ia berkata; “Berjalanlah ke arah selatan. Dimana pun engkau menemukan mata air, maka disanalah engkau harus mendirikan peradaban”. Lalu setelah dirasa cukup, maka pangeran Humanayun beserta istrinya yang bernama Sinarisa Hayatida dan satu bayi laki-lakinya yang bernama Druwegti Irani, segera pergi meninggalkan kerajaan dengan berjalan kaki.

Mereka bertiga terus berjalan hingga pada akhirnya sampai di tanah Jawa, tepatnya di sekitar Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat sekarang. Di wilayah ini, mereka menemukan sumber mata air yang jernih yang berada di tengah lembah yang subur. Dan sesuai dengan pesan dari ayahnya dulu, Pengeran Humanayun lalu menetap disana dan mulai membangun tempat tinggalnya sendiri. Kemudian dari tempat itulah, ia dan masyarakatnya bisa membangun sebuah kerajaan besar.

Perlu diketahui juga bahwa pada masa itu, di tanah Jawa sudah ada beberapa kerajaan yang berdaulat. Di antaranya:

  1. Artamiya (berada di sekitar pesisir utara propinsi Banten sekarang)
  2. Jayabarda (berada di sekitar Semarang, propinsi Jawa Tengah sekarang)
  3. Gurmatala (berada di sekitar kabupaten Gresik, propinsi Jawa Timur sekarang)
  4. Napalu (berada di sekitar kabupaten Malang, propinsi Jawa Timur sekarang)
  5. Aryamusa (berada di sekitar kabupaten Bondowoso, propinsi Jawa Timur sekarang)
  6. Jakalang (berada di sekitar kabupaten Jepara, propinsi Jawa Tengah sekarang)
  7. Jayarata (berada di sekitar kabupaten Kulonprogo, propinsi Jogjakarta sekarang)
Ke tujuh kerajaan itu sudah berperadaban tinggi, dengan bukti bahwa mereka sudah memiliki sistem ketatanegeraan yang lengkap dan militer yang kuat. Kehidupan mereka pun sudah maju, dengan sistem pertanian dan perkebunan yang tertata dengan rapi. Perdagangan juga sudah mereka lakukan, baik sesama bangsa di tanah Jawa maupun dengan bangsa-bangsa yang ada di wilayah Asia, Timur Tengah dan Afrika. Begitu pula dengan teknik pengolahan atau penempaan logam, mereka juga sudah sangat mumpuni. Berbagai peralatan rumah tangga, alat pertanian dan perkebunan sampai persenjataan untuk militer sudah bisa mereka produksi sendiri. Tanggungjawab dalam bidang ini biasa dipegang oleh seorang empu atau pandai besi yang mumpuni.

Pendirian Kerajaan

Pada mulanya kerajaan ini masih sangat kecil, bahkan tidak bisa dikatakan sebuah kerajaan. Karena pada masa itu di wilayah tempat tinggal Pangeran Humanayun hanya ada keluarganya saja, lalu datanglah orang-orang untuk bergabung dan membuat sebuah perkampungan. Barulah kemudian dengan berjalannya waktu, daerah perkampungan itu mulai terkenal ke berbagai wilayah. Orang-orang pun banyak berdatangan, karena di daerah ini memang sangat subur dan bisa menopang kehidupan orang banyak dengan layak. Dan karena memang sudah begitu banyak penduduknya, maka haruslah dibuat semacam perangkat adat dan tata aturan (hukum) yang bisa mengatur kehidupan di wilayah itu. Pangeran Humanayun lalu oleh masyarakat setempat di angkat sebagai pemimpin mereka. Dan selanjutnya oleh Pangeran Humanayun, wilayah yang ia pimpin itu lalu diberi nama Bumayasasta, yang berarti negeri yang makmur dan merdeka.

Waktu terus berlalu dan kesejahteraan yang ada di wilayah Bumayasasta sudah sering terdengar di luar daerah. Banyak kerajaan yang mulai tertarik untuk menjalin hubungan dagang, bahkan sampai ada pula yang ingin menguasainya. Tapi karena kesaktian dan kecerdasan dari Pangeran Humanayun serta kekompakkan seluruh rakyat Bumayasasta, maka tidak pernah ada kerajaan yang berhasil menaklukkan daerah ini. Dan karena sudah banyak kerajaan yang gagal untuk menaklukkan wilayah Bumayasasta ini, maka raja-raja yang ada pada waktu itu sepakat memberikan gelar Ratu kepada Pangeran Humanayun. Gelar Ratu pada waktu itu berarti pemimpin dari semua wilayah/kerajaan. Gelar ini setara dengan gelar Maharaja pada masa kerajaan Sriwijaya atau Majapahit.

Selain itu, wilayah Bumayasasta juga telah diakui sebagai satu wilayah kerajaan yang berdaulat. Bahkan selanjutnya, karena tertarik dengan kekayaan, kesejahteraan dan kedamaian dari kerajaan Bumayasasta ini, satu persatu kerajaan yang ada di sekitarnya ikut bergabung dengan kerajaan Bumayasasta. Karena itulah, tanpa perlu menaklukkan, maka wilayah Kerajaan Bumayasasta terus saja meluas dari tahun ke tahun. Bahkan pada akhirnya bisa mencakupi semua wilayah yang sekarang disebut dengan Propinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta dan Jawa Tengah.

Kondisi alam dan tata kota kerajaan 

Wilayah Tasikmalaya pada masa itu sangat subur dan sumber daya alamnya masih sangat berlimpah seperti emas, perak dan batu marmer. Karena itulah, pada akhirnya masyarakat Bumayasasta mampu membangun gedung-gedung megah dari bahan batu marmer dan logam mulia. Contohnya, untuk pondasi istananya saja terbuat dari batu marmer yang berwarna hitam, sedangkan marmer yang berwarna putih digunakan untuk dinding dan lantainya. Begitu pula bahan baku untuk membuat pilarnya juga terbuat dari batu marmer putih dan tentunya sudah dihaluskan. Sementara itu, bahan yang digunakan untuk pembuatan atap justru lebih mengagumkan, karena berasal dari emas. Rumah penduduknya juga luarbiasa, karena dindingnya saja terbuat dari batu hitam (andesit) dan lantainya dari batu marmer putih. Untuk atapnya juga luarbiasa, karena mereka sudah menggunakan bahan dari emas atau perak.

Selanjutnya mengenai tata kotanya, maka Kerajaan Bumayasasta ini dibangun di tengah-tengah sebuah lembah yang sangat subur dan airnya berlimpah. Semua bangunan yang ada telah diatur melingkar dengan istana sebagai pusatnya. Sangat tertata dan penuh perencanaan yang menakjubkan.

Sungguh hebat mereka ini dalam menata kotanya. Banyak pula taman bunga dan taman bermain untuk warga yang ingin bersantai atau sekedar melepas lelah. Ada juga air mancur dan kolam yang berbentuk bulat, kotak atau persegi panjang yang dibangun di antara sudut-sudut taman kota. Bahkan tidak sedikit bangunan piramida yang didirikan untuk lebih menambah keindahan kota. Semua kemegahan itu, akan membuat siapapun jadi betah untuk berlama-lama tinggal di ibukota kerajaan ini. Dan inilah negeri yang sangat indah, yang pernah ada di tanah Jawa, sebagaimana yang sering digambarkan dalam sebuah kisah dongeng.

Catatan: Maaf, di blog ini saya belum bisa memberikan gambar denah tata kota atau bentuk arsitektur bangunannya. Karena hanya untuk koleksi pribadi dan belum waktunya di sebarluaskan.

Perekonomian

Mereka sudah melakukan perdagangan lintas bangsa dan negara yang ada di kawasan regional Asia Tenggara, bahkan yang berada di kawasan Afrika, India, China dan Timur Tengah. Komoditi yang di perdagangkan saat itu adalah hasil pertanian, perkebunan, peternakan, barang tambang (emas, perak, perunggu), perhiasan, peralatan rumah tangga, kain dan pakaian. Semua komoditi itu sudah mereka produksi sendiri di dalam Kerajaan Bumayasasta. Dan sebagai bangsa yang besar, tentu mereka juga sudah menerapkan teknologi yang tinggi untuk menjaga kualitasnya. Lalu untuk memperlancar semua proses transaksi, mereka telah menggunakan mata uang berupa koin yang terbuat dari emas, perak dan perunggu. Negara yang mencetak dan mengontrol peredarannya di masyarakat.

Catatan: Maaf, di blog ini saya belum bisa memberikan gambar bentuk uang koinnya. Karena hanya untuk koleksi pribadi dan belum waktunya untuk di sebarluaskan.

Penduduk

Perlu diketahui disini bahwa mereka hidup dengan umur rata-rata antara 150-200 tahun. Ciri-ciri fisik mereka awalnya berkulit putih, berwajah lonjong, berhidung mancung, bermata warna hitam dan rambut yang juga berwarna hitam. Namun seiring berjalannya waktu, dan karena telah bercampur – melalui perkawinan – dengan penduduk lokal di tanah Jawa, maka generasi berikutnya lalu berkulit kuning langsat, berwajah tidak terlalu lonjong, bentuk hidung ada yang mancung dan ada yang sedang, sedangkan warna mata dan rambut mereka tetap hitam.

Mengenai keadaan penduduknya, maka di akhir kehidupan kerajaan ini, jumlah populasi yang ada di ibukota negaranya sudah mencapai angka sekitar ±2.000.700 orang. Lalu dari jumlah itu, maka terdapat ±5.000 orang yang menjadi tentara, yang bertugas untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara dari segala ancaman. Terutama yang datang dari luar negeri.

Kehidupan sosial mereka sangatlah harmonis. Mereka sangat menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan gotong royong. Cinta dan kasih sayang selalu mereka wujudkan dalam berbagai perilaku sehari-hari. Tidak ada rasa iri, dengki, hasut, fitnah, sombong, dan benci kepada siapa pun. Di negeri Bumayasasta bahkan tidak pernah ada pencuri atau penipu dan penjaranya selalu kosong. Hakim dan jaksa ada, tetapi pekerjaannya justru seperti para ulama yang selalu mengajarkan kebaikan dan mendaraskan ajaran kitab suci. Dan begitulah masyarakat Bumayasasta hidup dan menjalankan kehidupannya sehari-hari dengan penuh kedamaian, kesejahteraan dan keharmonisan. Sungguh menakjubkan.

Selain itu, tentang cara berpakaian mereka ini sangat berbeda dari gambaran kita sekarang tentang masyarakat Jawa pada masa kerajaan Majapahit atau Pajajaran. Karena model pakaian mereka yang hidup di Kerajaan Bumayasasta sangat sopan dan jenis yang dikenakan sehari-hari selalu tertutup. Tidak ada model pakaian yang bertelanjang dada, karena kainnya panjang menjuntai dan untuk yang laki-laki bahkan mengenakan jubah. Mereka juga sudah menggunakan sandal atau sepatu dari bahan kayu dan kulit hewan.

Catatan: Maaf, di blog ini saya tidak bisa menyertakan gambarnya, karena hanya untuk koleksi pribadi dan memang belum saatnya untuk di tunjukkan.

Daftar Raja-Raja

Kerajaan Bumayasasta ini berdiri selama ±1.255 tahun. Selama itu, karena sistem ketatanegaraannya adalah kerajaan (monarki), maka pergantian kepemimpinan selalu diwariskan oleh orang tua kepada anaknya. Ada 15 orang yang pernah memimpin kerajaan ini. Adapun di antaranya sebagai berikut:

  1. Ratu Humanayun Humatani Suwakti Drugari (0-112) - pendiri kerajaan Bumayasasta
  2. I Gusti Druwegti Irani Juwagni Humanarun (112-201)
  3. I Gusti Ratu Humalang Angruwarbhumi (201-273) - awal puncak kejayaan
  4. Jayagusti Karya Murtani (273-337)
  5. Armayunata I Dwi Jayablambang (337-442)
  6. I Gusti Putrani Jayawali Sumartapani (442-487)
  7. I Dwi Purmotaniyasa Jagarata Wardalina (487-586) - seorang wanita
  8. Kaswaritana Paripari Wardalina (586-687)
  9. I Gusti Ambarayana Karyawijaya (687-788)
  10. Ingmadya Subaktali Marputi (788-863)
  11. Purowarsali Madali Canali (863-909)
  12. Arya Dwi Cahayana Muksatani (909-990) - seorang wanita
  13. Putriyanalita Arda Mustaliyana (990-1.055) - seorang wanita
  14. Wijaya Dharma Pangestu Angkasa (1.055-1.180)
  15. Panca Angga Murtaliyan Wijayaksa Sambirayata (1.180-1.255) - pada masa beliau ini, kerajaan dipindahkan ke dimensi ke-3 (Galatasyi) atas perintah dari Bhatara Brahmawiyasa.
Demikianlah ke 15 orang Ratu yang pernah memimpin Kerajaan Bumayasasta. Selama masa peralihan kekuasaan, maka tidak pernah ada pertikaian atau kudeta berdarah. Semua berjalan dengan aman dan damai. Dan itu semua bisa terjadi karena siapapun mereka yang merupakan warga negara Bumayasasta sudah tahu diri dan sadar akan perannya masing-masing. Setiap orang hanya sibuk dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya sendiri. Jadi mereka tidak akan mau mencampuri urusan orang lain apalagi yang bukan haknya.

Keyakinan (Agama)

Sebagai masyarakat yang sangat tertata dan beradab, tentunya mereka sudah mengenal suatu keyakinan tertentu. Dan di kerajaan ini sejak awal sudah mempunyai satu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, mereka juga percaya tentang keberadaan para dewa, terutama Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) – tapi tidak lantas menganggap mereka itu sebagai Tuhan atau manifestasi (perwujudan) dari Tuhan. Karena bagi mereka Tuhan itu tetaplah Dzat Yang Maha Esa dan tiada perbandingannya, sementara para dewa itu hanyalah makhluk supranatural yang diciptakan oleh Tuhan dan memang patut untuk dihormati. Tapi sekali lagi, tidak untuk disembah, sebagaimana mereka harus menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Mereka juga melakukan semacam ritual keagamaan khusus untuk para dewa itu, yang di lakukan di dalam sebuah candi/pura yang mereka dirikan. Ini bukan sebagai bentuk dari pemujaan atau penyembahan seorang hamba kepada Tuhannya, tapi lebih kepada sikap menghormati dan upaya untuk menyatukan (sinkronisasi) prinsip mikrokosmos dan makrokosmos yang ada di dalam kehidupan ini. Masyarakat Bumayasasta tetap menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan itulah inti tauhid bagi mereka sejak awal sampai akhir zaman.

Secara khusus tidak ada nama dari keyakinan mereka, namun mereka mempunyai kitab suci sebagai panduan hidup. Kitab suci itu disebut dengan Purana. Tapi disini tidak sama dengan kitab yang dimiliki oleh umat Hindu sekarang, namanya saja yang kebetulan sama. Begitupun tentang ritual keagamaannya, tentu sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para penganut Hindu saat ini, khususnya yang ada di tanah India dan Bali. Karena mereka tidak menggunakan sesajen untuk patung dan tempat keramat. Hanya ada sebuah simbol yang terbuat dari batu warna hitam sebagai simbol untuk spiritualitas. Dan itu hanya sekedar simbol belaka, sebab keyakinan yang dianut di dalam hati hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Bahasa dan Aksara (Gumali dan Gumartayasa)

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, maka di Kerajaan Bumayasasta telah menggunakan bahasa dan aksaranya sendiri. Dengan bahasa dan aksara itu mereka bisa berkomunikasi dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan.

Berikut ini diberikan contoh kalimat dalam bahasa Gumali :

Tanya: Drumatani mukti (aku ingin belajar)
Jawab: Kaliya sumawi dukanata suwatani (ya aku akan mengajarkan sampai kamu paham)

Selanjutnya, aksara yang telah mereka pergunakan diberi nama Gumartayasa. Sebuah aksara yang juga di dapatkan dari guru spiritual pangeran Humanayun yang bernama Resi Puratani Murtayani. Tapi aksara ini bukanlah karya dari sang Resi sendiri, melainkan didapat dari Bhatara Brahmawiyasa setelah ia melakukan tapa brata. Dari bentuknya ada kemiripannya dengan huruf Hijaiyah, bahkan cara penulisannyapun sama, yaitu dari arah kanan ke kiri. Berikut ini diberikan sekilas keterangannya:

  • Istilah abjad: Sa, Ba, Ka, La, Ma, Na, Wa, Ya, Da, Pa, Ta, Ga, Ha, Ra, Kha, Za.
  • Istilah angka: 1 (Saha), 2 (Baha), 3 (Taha), 4 (Jaha), 5 (Waha), 6 (Kaha), 7 (Paga), 8 (Jaga), 9 (Arga), 10 (Sahara), 11 (Sahala), 12 (Bahala), 13 (Tahala), 14 (Jahala), 15 (Wahala), 16 (Kahala), 17 (Pagala), 18 (Jagala), 19 (Argala), 20 (Bahagha), puluhan (Gha), ratusan (Sur), ribuan (Tur), jutaan (Har).
  • Tanda baca: Tima (.), Lima (,), Tuma (+), Kuma (-), Guma (÷), Kalima (x), Sama (=).
Catatan: Maaf, di blog ini saya belum bisa memberikan gambar bentuk aksaranya, karena hanya untuk koleksi pribadi dan belum saatnya ditunjukkan.

Akhir kisah

Kisah akhir dari kerajaan ini tidaklah hancur atau musnah karena perang dan bencana, tetapi sengaja dipindahkan ke dimensi lain, tepatnya ke dimensi lapisan ketiga (Galatsyi). Peristiwa itu terjadi setelah raja yang terakhir yang bernama Panca Angga Murtaliyan Wijayaksa Sambirayata mendapat titah dari Bhatara Brahmawiyasa untuk memindahkan kerajaan – beserta bangunan dan rakyatnya – ke dimensi lapisan ketiga (Galatsyi). Semua itu terjadi karena mereka telah hidup dengan sangat baik, tidak senang merusak dan penuh dengan kedamaian.

Lalu, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka seluruh rakyat diminta untuk masuk ke dalam candi-candi yang ada di ibukota untuk bermeditasi dan berdoa. Selanjutnya sang raja dengan kekuatan dan kesaktiannya berdiri di depan istana untuk memindahkan kerajaan ke tempat yang telah ditentukan. Dan memang, atas izin dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka sejak saat itu Kerajaan Bumayasasta dan orang-orang yang hidup di dalamnya berpindah ke dimensi lapis ketiga (Galatasyi). Mereka tetap menjalani kehidupan disana hingga saat ini dan sampai batas waktu yang telah Tuhan kehendaki nanti.

Catatan: Perpindahan disini hanya berlaku bagi mereka yang tinggal dan menetap di ibukota kerajaan Bumayasasta, tidak untuk mereka yang tinggal di wilayah lain (yang dulunya adalah kerajaan-kerajaan tetangga yang akhirnya bergabung). Perpindahan ke dimensi lain memang berlaku bagi semua orang beserta seluruh bangunan yang ada di ibukota kerajaan. Sementara bagi mereka yang tidak ikut berpindah, maka mereka inilah yang terus mempertahankan tradisi dan budaya yang pernah bersumber di pusat ibukota kerajaan Bumayasasta. Mereka terus mempertahankan dan menyebarkannya sampai ribuan tahun kemudian. Bahkan pada akhirnya mereka juga sangat berperan penting dalam membangun peradaban dunia. Khususnya di berbagai bangsa yang besar, seperti Sumeria, Mohenjo-Daroo, Mesir, Yunani dan Persia.

Penutup

Wahai saudaraku. Banyak hal yang sudah terlupakan di tanah Nusantara ini. Waktulah yang menyebabkan hal itu, dan bencana alamlah yang menjadi hakim dan algojonya. Dan kini, orang-orang masih saja pesimis bahwa tidak pernah ada peradaban besar di tanah Nusantara ini. Apalagi sebelum era Masehi, maka para ahli bahkan mengatakan di Nusantara ini belum ada peradaban sama sekali. Kalau pun ada, itu hanya sebatas masyarakat yang sangat primitif, yang masih bertelanjang badan dan belum mengenal teknologi. Hidup mereka pun dianggap masih dari hasil berburu dan memungut makanan di hutan. Padahal sesungguhnya telah banyak peradaban besar yang pernah ada di tanah Nusantara ini. Bahkan jauh sebelum bangsa Barat mulai berusaha membangun peradabannya.

Lihatlah Kerajaan Bumayasasta ini. Mereka telah membangun peradaban yang besar dan maju sejak ±7.200 SM. Satu angka tahun yang lebih awal dari peradaban Sumeria, Mohenjo-Daroo, dan Mesir. Dan memang kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa Kerajaan Bumayasasta adalah yang terhebat atau pada saat itu hanya ada satu peradaban besar di tanah Jawa saja, sedangkan di tempat lain tidak. Karena kenyataannya sudah ada peradaban lain, di negeri lain yang ada di belahan Bumi lainnya, yang se-zaman dengan Kerajaan Bumayasasta. Mereka juga sudah membangun peradaban yang besar dengan ciri khasnya sendiri. Meskipun perlu diakui tak sehebat dan semaju peradaban besar yang ada di tanah Nusantara.

Artinya, perlu dilakukan revisi tentang sejarah kehidupan manusia. Sebab, sesungguhnya jauh sebelum tahun 5.000 SM, sudah ada peradaban besar yang bahkan merata di seluruh dunia. Ya seperti di masa sekarang, dimana peradaban dunia saat ini juga merata di semua bangsa dan benua. Apa yang sudah dimiliki oleh sebuah bangsa, juga dimiliki oleh bangsa yang lain. Contohnya saja seperti komputer, handphone, televisi, kendaraan (motor, mobil, pesawat, kapal), gedung bertingkat, persenjataaan (pistol, senapan, granat, rudal, dll) dan sebagainya. Dan jika kita mengaitkannya dengan kehidupan di masa lalu, maka itu jelas menunjukkan bahwa peradaban di atas Bumi ini selalu berulang. Setelah pernah hancur oleh sebab perang atau bencana dan azab Tuhan, maka beberapa waktu kemudian (ratusan atau ribuan tahun) akan kembali bangkit. Tapi sayang, karena ulah jahil dan kesalahan dari manusia sendirilah, peradaban itu pada akhirnya kembali hancur. Begitulah seterusnya, hingga keadaan seperti ini terus berulang dan berulang lagi di setiap periode zamannya. Sampai pada akhirnya nanti semua itu benar-benar berhenti dan Hari Kiamat yang maha dashyat telah datang. Ketika itu, bukan hanya peradaban manusia saja yang berhenti, tapi kehidupan dunia pun akan berakhir. 

Untuk itu, bukanlah hal yang aneh, atau bahkan sebuah keniscayaan jika bangsa ini mau mengembalikan sistem ketatanegaraan yang pernah ada di Nusantara. Sebuah sistem kepemimpinan negara yang berpusat pada sosok yang mendapatkan Wahyu Keprabon. Sosok itu haruslah orang yang memiliki kemampuan khusus dan luarbiasa kesaktiannya. Bukan seperti sekarang ini yang justru untuk mendapatkan jabatan saja ia harus “menjual diri” (kampanye) dan jadi pesuruh partai. Berbeda jauh dengan sistem yang pernah ada di Kerajaan Bumayasasta, dimana seorang pemimpin itu sangatlah mandiri dan harus teruji kemampuan lahir dan batinnya. Ia bukan dipilih oleh manusia, tetapi oleh penguasa Langit. Ia haruslah sosok yang cerdas dan sakti mandraguna dan tentunya tidak butuh partai atau golongan untuk mendukungnya. Ia tampil sendiri dengan segala keunggulannya dan rakyat bisa menaruh hormat dan cinta setelah melihat langsung tindak tanduknya. Sehingga dengan begitu, sang pemimpin dan juga kerajaannya bisa tampil dengan penuh kewibawaan di mata semua bangsa. Dan lihatlah, kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada di Kerajaan Bumayasasta selalu bisa aman, damai, makmur dan sejahtera tanpa perlu ikut-ikutan sistem dan aturan bangsa lain. Mereka membuat satu tatanannya sendiri, yang diilhami dari karakter dan kebutuhan bangsa mereka pada waktu itu. Sistem ini lalu disebut dengan sistem ke-Ratu-an. Dimana seorang Ratu adalah pemimpin tertinggi yang menjadi suri tauladan, pengayom, motor peradaban dan simbol kebanggaan bagi rakyatnya. Sosok Ratu ini adalah orang-orang yang luarbiasa dan mereka telah memiliki berbagai keahlian dan kesaktian. Rakyat akan selalu menghormati dan kagum kepada mereka. Karena itulah, ia memiliki kharisma yang kuat dan selalu bisa menyelesaikan berbagai masalah kehidupan dengan lancar.

Pun, jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit dan berjaya lagi, maka syaratnya harus mau kembali ke jati dirinya sendiri. Jangan lagi ikut-ikutan sistem yang bukan berasal dari bangsa sendiri. Karena yang terjadi selama ini adalah bahwa bangsa ini sudah menyimpang dari ajaran luhur dan tradisi yang mengakar di tanah Nusantara. Yaitu sebuah sistem ketatanegaraan yang menganut pola ke-Ratu-an atau ke-Datu-an atau ke-Maharaja-an. Tanpa hal itu, bangsa ini hanya akan menjadi boneka dari bangsa lain. Hidupnya menjadi semakin tidak jelas dan selalu terseok-seok padahal alamnya kaya raya. Dan itu terjadi karena pemerintah atau juga pemimpinnya secara otomatis akan menjadi pengekor (jongos) yang terbelenggu. Yang namanya ekor itu selalu dibelakang, tidak akan pernah bisa di depan. Artinya, bangsa ini selamanya akan selalu terbelakang, tidak bisa bangkit dan mandiri, karena selalu terbelenggu dan menurut saja apa kata orang (bangsa lain).

Jadi, selain sistem ke-Ratu-an atau ke-Datu-an atau ke-Maharaja-an, maka sistem apapun itu tidak akan pernah mendapatkan restu dari Langit dan Bumi. Tuhan tidak akan merestui, para leluhur juga tidak akan mau membantu sebuah sistem yang bukan dari warisan mereka. Sehingga bangsa ini akan terus melemah, terombang-ambing dan jadi budak atau santapan bangsa lain. Sebaliknya, jika bangsa ini mau kembali pada aturan dan ketatanegaraan seperti di zaman nenek moyang dulu, maka negeri tercinta ini akan makmur dan sejahtera. Kekuatan sejatinya akan kembali. Seperti halnya Kerajaan Bumayasasta yang sangat makmur dan beradab.

Jangan pernah melupakan sejarah, karena sikap itu akan menghancurkan peradaban sebuah bangsa, bahkan seluruh dunia” 

Akhirnya, meskipun tulisan ini hanya sekelumit tentang Kerajaan Bumayasasta, semoga tetap bisa menambah ilmu dan wawasan Anda sekalian tentang siapa sebenarnya nenek moyang kita dulu. Tidak ada paksaan kepada Anda semua untuk percaya ataupun tidak percaya dengan tulisan ini. Semua kembali pada diri Anda sendiri, lalu gunakanlah rasa dan rahsa dihatimu untuk menemukan kebenarannya. Tugas saya hanya menyampaikan apa yang boleh dan seharusnya disampaikan. Dan memang sudah waktunya bahwa kebenaran sejarah Nusantara akan terus terungkap.

Mashudi Antoro (Oedi`)

2 comments:

  1. Tulisan bullshit semua, gak usah coba nipu history buff lah. Ngapain nipu org pake cerita fiksi? Segitunya amat pengen bangga2in jd org indo. Justru model gini yg bikin malu bangsa. Shame on you nigga

    ReplyDelete
  2. Pak ada ga literatur yang bisa dipakai sebagai landasan cerita ini

    ReplyDelete