Cerita Mahabharata. Donation
Pada suatu hari, Sultan Mahmud meletakkan sebutir mutiara di tangan salah seorang menteri: “Bagaimana dengan mutiara ini? Kira-kira berapa nilainya?”
“Mutiara ini sungguh berharga. Nilainya tak terhingga,” jawab menteri.
“Pecahkan saja mutiara itu,” perintah Sultan Mahmud.
“Bagaimana hamba bisa memecahkannya? Hamba hanyalah seorang pelayan. Dan melindungi harta kekayaan baginda menjadi tugas hamba.”
“Bagus, bagus sekali,” tanggap Sri Sultan dan mengambil kembali mutiara itu.
Beberapa saat kemudian, dia meletakkannya di tangan salah seorang perwira: “Bagaimana pendapatmu? Berhargakah mutiara ini?”
“Tentu sangat berharga, Baginda.”
“Pecahkan……”
“Tidak Baginda, tidak. Tangan ini kugunakan untuk memenggal kepala para musuh kerajaan. Bukan untuk menyia-nyiakan harta kerajaan.”
“Betul, apa yang kau katakan memang betul,” dan diambilnya kembali mutiara itu.
Beberapa saat kemudian, giliran seorang hakim. Dia pun tidak rela memecahkan mutiara yang dianggapnya sangat berharga. “Tidak adil,” kata dia. Sultan Mahmud tidak lupa memuji kebijaksanaannya.
Kemudian, mereka bertiga diberi berbagai hadiah, bahkan dijanjikan kenaikan pangkat. Terakhir, giliran Ayaz, seorang pelayan biasa. Walau sama-sama bekerja di istana, dia tidak masuk dalam perhitungan. Tidak ada yang menanggapi-nya, kecuali Sang Sultan. Ya, Sultan Mahmud telah beberapa kali menguji kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan Ayaz. Hasilnya selalu memuaskan. Hari itu, ujian terakhir:
“Katakan Ayaz, berhargakah mutiara itu?”
“Ya, Baginda. jauh lebih berharga daripada apa yang dapat kupikirkan,” jawab Ayaz.
“Pecahkan……”
Entah bagaimana, saat itu kebetulan Ayaz mengantongi sebuah palu. Langsung saja dia mengeluarkannya dari kantong dan tanpa basa-basi memecahkan mutiara yang berharga itu.
Para hadirin berteriak histeris, “Sungguh bodoh si pelayan itu. Dasar kafir….”
Ayaz menjawab mereka, ”Teman-teman, apa yang lebih penting? Mutiara ini atau perintah Sultan?”
Siapa yang kafir? Mereka yang mementingkan mutiara, atau Ayaz yang mementingkan perintah Sultan? Mutiara memang milik Sultan. Silakan dihargai, dihormati, tetapi jangan disembah-sembah.
Agama, kepercayaan, keyakinan, kitab suci memang dari Tuhan. Patut dihormati, dan dihargai, dipahami, diselami dan diamalkan dalam hidup sehari-hari, tetapi tidak perlu diTuhankan. Tidak perlu disembah-sembah.
Sang Sultan pun menegur mereka, “Demi kilauan batu yang tak berharga itu, kalian tidak menjalani perintahku. Kalian harus dihukum.”
“Ampun Baginda, jangan…… Maafkan mereka. Demi kemurahan hatimu, lupakan kesalahan mereka. Dalam hal ini, aku pun merasa bersalah. Bukankah sebelumnya, Engkau telah memberi hadiah kepada mereka? Bahkan telah menjanjikan kenaikan pangkat? Bila aku membisu dan tidak membuka mulut, mereka tak akan Engkau marahi. Demi Kasih-Mu Sultan, maafkan mereka,” demikian permohonan Ayaz.
Kesadaran manusia berkembang terus. Ketika masih duduk di bangku TK, baru belajar menyanyi saja, kita sudah dipuji. Diberi permen segala. Orangtua pun bangga, ”Anaku sudah bisa menyanyi lho…” Kadang-kadang masih ngompol, tak apa. Ditegur, dinasihati, mungkin juga dimarahi, tetapi tidak pernah dihukum untuk itu.
Lain TK, lain pula SD. Disiplin mulai diperketat. Kalau masih ngompol, bisa-bisa dihukum. Yang dibanggakan orangtua bukan lagi nyanyian, tetapi angka yang tertera di rapor.
Dapatkah anda membayangkan kekecewaan orangtua, bila sampai SMP dan SMU Anda masih juga ngompol? Atau bila Anda tidak memperhatikan pelajaran dan sepanjang hari bermain saja?
Kisah ini sesungguhnya bisa dilihat dari berbagai sisi. Saya harus menahan diri. Demi mereka yang masih…..
---------------------------------------
Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Masnawi Buku Keempat, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
No comments:
Post a Comment