Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Cabang Filsafat Veda

Filsafat Mahabharata. Dalam setiap agama yang berkembang di dunia ini sudah pasti memiliki berbagai masab dan aliran yang berbeda-beda dimana terkadang satu aliran dengan aliran yang lainnya saling bertentangan. Adanya perbedaan ini acap kali menimbulkan konflik fisik dan psikis. Sikap klaim-mengklaim kebenaran, memvonis ajaran yang berbeda dengan dirinya sesat dan tidak jarang terjadi pertumpahan darah karenanya. Haruskah cita-cita “kedamaian dan kebahagiaan abadi” yang dicita-citakan setiap agama melalui konflik dan pertumpahan darah? 

Perang antara aliran Shia, Sunni dan Kurdi di Irak telah menewaskan hampir 110 orang perharinya. Demikian juga dengan perang Hamas, Shia dan Al Fattah yang terjadi di Palestina telah menumpahkan ribuan jiwa adalah merupakan sedikit kasus yang paling mengerikan atas klaim aliran yang paling benar. Lalu apakah hal yang serupa juga terjadi dalam sistem filsafat Veda? 


Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara istilah aliran dalam sistem agama Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dengan aliran dalam sistem filsafat Veda. Jika dikatakan dari sekian banyak aliran yang muncul dalam dunia Islam yang benar hanyalah satu, maka tidak demikian halnya dalam ajaran Veda. Vedapun memiliki aliran filsafat yang tidak kalah banyaknya dimana satu dengan yang lainnya seolah-olah sangat bertolak belakang. Tetapi “anehnya”, hampir tidak pernah ada kasus permusuhan, kebencian dan pembunuhan karena perbedaan aliran filsfat ini. Yang ada hanyalah acara debat filsafat dimana pihak yang kalah akan mengakui kekalahannya dengan lapang dada dan bahkan mengikuti sistem filsafat lawannya tanpa diakhiri oleh konflik fisik. Kenapa bisa demikian? 

Secara garis besar, filsafat Veda dapat dibedakan menjadi aliran filsafat Astika dan Nastika. Filsafat Astika adalah filsafat yang meletakkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber dari segala sesuatu. Sementara itu paham Nastika benar-benar bertolak belakang dengan paham Astika, yaitu paham yang dapat dikatakan sebagai Atheis, yang seolah-olah meniadakan keberadaan Tuhan. 

Dua cabang utama filsafat Astika adalah Mimamsa dan Nyaya, sedangkan cabang filsafat Nastika adalah Carvaka, Jaina dan Buddha. Mimamsa terdiri dari dua bagian, yaitu Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa atau biasa disebut Vedanta. Cabang filsafat Vedanta yang paling utama antara lain filsafat Dvaita yang didasarkan pada Sutra Basya (ulasan Sutra), filsafat Bhedabheda oleh Nimbarkacarya, filsafat Siddhanta oleh Sri Meykandar, Filsafat Visistadvaita oleh Sri Basya, Filsafat Advaita yang berdasarkan Sariraka basya dan Narada Bhakti Sutra, filsafat Suddha Advaita oleh Sri Vallabacarya dan yang paling berpengaruh dalam gerakan bhakti (bhakti movement) di dunia saat ini adalah filsafat Acintya Bedhabedha tatva oleh Sri Chaitanya Maha Prabhu yang menurun pada garis perguruan Gaudya Vaisnava. Dari cabang filsafat Nyaya melahirkan dua melahirkan dua cabang lagi, yaitu filsafat Sankya yang menelurkan Patanjali Yoga Sutra dan filsafat sankya yang berdasarkan Sankhyapravacana Sutra oleh Maha Rsi Kapila dan filsafat Nyaya yang berakar dari Nyayasutra oleh Gautama dan filsafat Vaisesika berdasarkan Vaisesika Sutra oleh Rsi Kanada. Disamping itu juga terdapat beberapa cabang filsafat lainnya seperti filsafat Pasupata Dualis, Saiva Siddanta Dualis, Dvaitadvaita Saiva, Vasistadvaita Saiva, Visesadvaita Saiva, Nandikesvara Saiva dan juga Saiva Monistik. 

Tentu kita akan dibuat bingung dengan sub-sub sistem filsafat yang seolah-olah saling bertentangan satu sama lainnya ini. Mungkinkah sebuah sistem yang komprehensip disusun dari sub sistem – sub sistem yang salaing bertolak belakang? Tidakkah kondisi tersebut akan melemahkan sistem itu sendiri? Jika kita menggunakan dasar pemikiran semitik, jawabannya sudah pasti tidak mungkin. 

Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaannya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan berbagai cabang filsafat yang berbeda-beda dan seolah-olah bertolak belakang dalam satu sistem filsafat Veda. Hal yang serupa dapat dianalogikan sebagaimana halnya sistem pendidikan di negara kita yang menyediakan kurikulum berbeda-beda untuk masing-masing daerah dan masing-masing tingkatan. Kurikulum yang diterapkan di kota-kota besar dan daerah-daerah maju tidak mungkin dapat diterapkan di daerah-daerah terpencil dan terbelakang, demikian juga sebaliknya. Kurikulum untuk anak-anak tingkat SMA tidak mungkin diterapkan untuk mendidik taman kanak-kanak. 

Dalam Bhagavad Gita 7.20 Sri Krishna berkata; “kāmais tais tair hṛta-jñānāḥ prapadyante ‘nya-devatāḥ taḿ taḿ niyamam āsthāya prakṛtyā niyatāḥ svayā, Orang yang kecerdasannya sudah dicuri oleh keinginan duniawi menyerahkan diri kepada para dewa dan mengikuti aturan dan peraturan sembahyang tertentu menurut sifatnya masing-masing. Dan lebih lanjut ditegaskan dalamBhagavad Gita 7.23-24; “antavat tu phalaḿ teṣāḿ tad bhavaty alpa-medhasām devān deva-yajo yānti mad-bhaktā yānti mām api, Orang yang kurang cerdas menyembah para dewa, dan hasilnya terbatas dan sementara. Orang yang menyembah para dewa pergi ke planet-planet para dewa, tetapi para penyembah-Ku akhirnya mencapai planet-Ku yang paling tinggi.avyaktaḿ vyaktim āpannaḿ manyante mām abuddhayaḥ paraḿ bhāvam ajānanto mamāvyayam anuttamam, Orang yang kurang cerdas, tidak mengenal Diri-Ku secara sempurna, menganggap bahwa dahulu Aku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krsna, tidak bersifat pribadi dan sekarang Aku sudah berwujud dalam kepribadian ini. Oleh karena pengetahuan mereka sangat kurang, mereka tidak mengenal sifat-Ku yang lebih tinggi, yang tidak dapat dimusnahkan dan bersifat Mahakuasa. Jadi tidak semua orang bisa mengikuti sistem filsafat Astika dan tidak semua orang juga bisa memahami bahwa Sri Krishna adalah Bhagavan, aspek personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya masih rendah akan secara bertahap dituntun dalam sistem filsafat yang lain yang umumnya menitikberatkan pada karma-kanda (kegiatan untuk membuahkan hasil). 

Sistem filsafat yang bertingkat yang nampak begitu berbeda dan seolah-olah bertentangan memang diciptakan atas perintah Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu contohnya adalah sebagaimana perintah Sri Krishna kepada Dewa Siva untuk menciptakan filsafat palsu Mayavada sebagaimana tertuang dalamPadma Purana Uttara Kanda 62.31; “Svagamaih kalpitas tvam ca janan mad vimukhan kuru, ma ca gopaya yena syat srtir esottarottara, jadikan penduduk pada umumnya tidak mengetahui diri-Ku (sebagai Tuhan Yang Maha Esa) dengan menyajikan tafsiranmu sendiri atas pustaka Veda. Juga tutupi Aku sebegitu rupa sehingga orang-orang menjadi lebih tertarik memajukan peradaban material yang melahirkan generasi hampa pengetahuan spiritual”. Orang awam yang mendengar sloka ini sudah pasti memandang aneh, kok bisa Tuhan menciptakan sistem filsafat yang membuat umatnya tidak mengerti pengetahuan spiritual? Bagaimana logikanya? 

Sebagaimana contoh kasus perintah Sri Krishna kepada Dewa Siva disini, dimana kita ketahui Siva adalah tamo guna avatara yang salah satu tugasnya mengangkat para jiva yang telah sangat merosot menjadi hantu, dan mahluk halus jahat lainnya. Jiva-jiva ini merosot sedemikian rupa karena tidak mampu mengatasi sifat-sifat alam tamas yang begitu tebal menyelimuti dirinya terutama sekali pada Kali Yuga ini (sa kaler tama sa smrtah – Bhagavata Purana 12.3.30). Kondisi ini menyebabkan kebanyakan manusia menjadi sangat terikat pada kenikmatan indria duniawi dan mendorong mereka melakukan bermacam-macam asubha-karma, perbuatan kotor dan jahat. Supaya mereka tidak terlalu jatuh, maka diturunkanlah kitab suci-kitab suci yang masuk dalam kategori tamasa-guna (dark scriptures). Dalam kitab suci-kitab suci tamasik ini orang-orang diajarkan pelaksanaan ritual yang mengandung himsa karma (pembunuhan/penyemblihan hewan) untuk memuaskan indria dengan mengikuti aturan ketat dan rumit yang tentunya dimaksudkan agar mereka tidak membunuh hewan secara sewenang-wenang. Dalm kitab tamasik ini orang-orang juga diajarkan untuk melakukan subha-karma (perbuatan bajik dan saleh). Sehingga dengan berpegang teguh pada ajaran kitab suci-kitab suci tamasik ini kehidupan mereka diharapkan tidak semakin merosot dan secara bertahap, meskipun harus melalui proses punarbhava mereka akan semakin maju dalam spiritual. Disamping itu, orang-orang yang hidup pada Kali Yuga yang penuh dengan kegelapan sangatlah sulit mengikuti prinsip-prinsip pengendalian indria-indria jasmani sebagaimana yang tercantum dalam Veda. Karena itu mereka harus dibuatkan aturan-aturan berupa kitab suci tamasik agar mereka tidak semakin merosot dalam kelahiran yang lebih rendah. Sifat alam tamas yang pekat pada Kali Yuga juga menyebabkan orang-orang berpikir keliru (sarvarthan viparitams ca –Bhagavad Gita 18.32), Tuhan dikatakan bukan Tuhan dan yang bukan Tuhan dikatakan Tuhan, dengan kata lain mereka tidak bisa mengerti siapa itu Tuhan. Agar orang-orang seperti ini tidak melakukan kesalahan (Aparada) terhadap-Nya, yang menyebabkan merek jatuh dalam kehidupan yang lebih rendah, maka Sri Krishna berkata kepada Siva; “jadikan mereka tidak mengenal-Ku dengan menyajikan tafsirmu sendiri atas kitab suci Veda”. 

Demikianlah setiap orang akan terarahkan secara alami untuk mengikuti salah satu cabang filsafat yang sesuai dengan guna (karakter, watak, pembawaan) dan karmanya masing-masing. Seseorang yang berwatak asurik akan menekuni sistem filsfat yang lebih mengarah pada karma kanda dan himsa karma. Orang yang sangat materialistis akan lebih diarahkan pada filsafat nastika yang atheis sehingga mereka terhindar dari sikap aparad terhadap Tuhan. Orang yang lebih mengedepankan logika mungkin akan tertarik dengan sistem filsafat sankya dan hanya orang-orang yang memiliki guna dan karma yang mulialah yang mampu mengikuti sistem filsafat yang bersifat satvik. 

Dengan demikian tidak ada alasan bagi penganut Veda untuk saling menyalahkan, mengkafirkan dan menjustis sebuah aliran filsafat sesat selama apa yang mereka lakukan benar-benar berdasarkan pada sastra Veda. 

No comments:

Post a Comment