Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Di Tepi Sungai Ganga (8)


Mahabharata. Mendengar apa yang dikatakan Ganga, Raja Santanu kelihatan menjadi semakin bingung. Santanu berkata: “Aku masih belum mengerti. Mengapa kemudian engkau membunuh ke-tujuh anak-anak yang merupakan darah daging kita sendiri? Apakah itu juga bagian dari sebuah kutukan?”.

“Ya” kata Ganga. “ke delapan anak itu adalah delapan orang Vasu yang dikutuk untuk lahir ke dunia ini. Pada suatu hari, telah terjadi bahwa seorang suci yang bernama Vashistha telah disakiti hatinya oleh delapan orang Vasu. Oleh karena itu maka Vashistha mengutuk ke delapan Vasu itu agar terlahir sebagai manusia di dunia ini dan menjalani siksaan mental sebagai manusia. Mendengar hal itu, tujuh orang Vasu memohon dengan sangat kepada Vashistha agar mau memaafkannya, akan tetapi salah satu dari delapan orang Vasu itu, tetap berdiri dengan angkuhnya. Vashistha kemudian memenuhi tuntutan ke-tujuh orang Vasu yang memohon ampun itu dan segera merubah kutukannya, “Tujuh orang dari kalian akan segera meninggal dan kembali ke kahyangan secepat kalian dilahirkan, akan tetapi salah satu dari kalian akan tetap hidup di dunia ini dalam waktu yang lama dan akan mengalami godaan dan siksaan sebagai manusia”. Atas permintaan dari ke delapan orang Vasu itu, akhirnya aku berjanji kepada mereka bahwa kelak aku akan melahirkan mereka dan menjamin mereka bebas dari kehidupan ini, begitu mereka dilahirkan. Akan tetapi anak yang ke-delapan ini telah dikutuk untuk hidup lama di dunia ini. Oleh karena itu dia diijinkan untuk hidup. Yang Mulia, janganlah berdukacita. Hamba akan memberikan ahli waris ini kepadamu dan hamba akan merawatnya dengan baik sehingga anak ini akan siap dalam berbagai proses pemerintahan yang akan menjadi tanggung jawabnya kelak yaitu sebagai ahli waris tahta Kerajaan Paurava yang tersohor”.

Di Tepi Sungai Ganga (7)


Mahabharata. Terlihat senyuman yang sangat aneh di bibir Ganga, ketika Ganga mendengar teguran Santanu. Ganga merasa sedih dan sekaligus merasa gembira. Ganga berkata dengan suara yang lemah lembut kepada Santanu.

”Yang Mulia, saatnya kini telah tiba, dimana hamba harus meninggalkan paduka. Paduka telah berani melanggar janji yang telah paduka ucapkan kepada hamba. Hamba harus segera pergi menjauh dari sini. Anak kita ini akan tetap hidup. Dia akan ikut bersama hamba dan hamba akan menyerahkannya kembali kepada paduka ketika saatnya telah tiba. Hamba akan memberinya nama Devavrata. Namanya yang lain adalah Gangeya yang berarti putra Ganga”.

Santanu terpaku dan berduka. Santanu tidak dapat lagi mendengar apa yang telah dikatakan oleh Ganga. Santanu hanya mengerti bahwa gadis yang telah menjadi segala-galanya baginya itu akan segera meninggalkannya untuk selama-lamanya. Semuanya hanya disebabkan karena dia telah berani melarang Ganga untuk tidak membunuh anaknya. Santanu melihat Ganga dengan membisu dan penuh dengan rasa permohonan dimatanya. Kata demi kata kemudian muncul dari bibirnya:

“Mengapa engkau lakukan hal ini kepadaku? Tidakkah engkau melihat bahwa hidupku sangat tergantung kepadamu dan aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi tanpa dirimu. Engkau tidak boleh mengabaikan aku begitu saja dan pergi menjauh dariku! Ganga! Aku tahu engkau sangat mencintaiku. Atas nama cinta itu aku memohon kepadamu, janganlah engkau pergi meninggalkanku”.

Selintas kesedihan terpampang di wajah cantik Ganga. Dia berkata: “Oh…. Yang Mulia, tidak dapatkah engkau melihat kenyataan bahwa hamba pergi karena suatu keharusan? Hamba adalah Ganga, hamba adalah seorang bidadari dan hamba adalah termasuk salah satu penduduk kahyangan. Akibat dari sebuah kutukan maka hamba telah meninggalkan kehidupan di atas dunia fana ini. Ketahuilah bahwa paduka adalah Raja Besar Mahabhishak pada kehidupan paduka yang lampau. Paduka adalah satu kesatuan bersama Indra di kerajaannya. Hamba datang kesini. Paduka memandangku dengan tatapan penuh keinginan dan hamba juga menginginkan diri paduka. Namun Para Dewa yang berada di Surga tidak menyukai hal ini. Akhirnya mereka mengirim hamba ke dunia ini untuk menjadi istri dari Mahabhishak yang telah terlahir sebagai Santanu, dirimu, putra dari Prateepa. Demikianlah kehidupan cinta kita menjadi kenyataan. Kita telah mereguk kebahagiaan bersama. Yang Mulia, janganlah engkau mencoba untuk menahan surutnya waktu. Karena hal ini telah diatur untuk terjadi. Tidak diri paduka, diri hamba ataupun semua dewata yang ada di Surga mampu mengubah ketentuan yang telah digariskan ini, yang telah menjadi takdir kita”.

Di Tepi Sungai Ganga (6)


Mahabharata. Hal yang sama terjadi lagi. Kemudian terjadi lagi, dan terjadi lagi pada tahun-tahun berikutnya. Tujuh orang putra raja yang dilahirkan oleh Ganga telah dibuang begitu saja ke dalam Sungai Ganga oleh Ganga sendiri. Raja Santanu yang terikat akan janjinya dan juga oleh cinta yang mendalam kepada Ganga, tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya perasaan berdosa dan bathin yang tertekan saja yang dapat dirasakannya. Anak yang selama ini diimpikannya dan yang diharapkannya kelak menjadi penerus keturunan kerajaan Paurava sampai saat ini belum juga terwujud. Ada yang mengatakan bahwa cinta itu buta. Akan tetapi tidak demikian, ada mata yang lain yang hanya melihat kebaikan yang ada pada kekasihnya, buta terhadap segala kesalahan adalah kesalahan yang lain lagi. Ganga diperuntukkan bagi seluruh hidupnya. Akan tetapi, keinginannya untuk mendapatkan seorang ahli waris sedemikian besar berada di dalam dirinya. Santanu merasa pasti bahwa akan ada pertengkaran yang hebat antara dia dan Ganga apabila dia melarang Ganga melakukan perbuatan terkutuk itu.

Setahun sejak pembuangan bayi yang ke-tujuh lewatlah sudah. Ganga kini telah melahirkan anak laki-laki yang ke delapan. Seperti apa yang biasa dilakukannya ketika Ganga telah melahirkan bayinya, maka Ganga bergegas pergi meninggalkan istana untuk pergi ke tepi Sungai Ganga dengan bayi yang ia gendong di kedua belah lengannya. Santanu sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi menahan kekesalan dan kemarahan di hatinya. Akhirnya Santanu bergegas menghampiri Ganga. Dengan sedikit kasar Santanu memegang pundak Ganga. Santanu kini telah kehilangan kesabarannya yang selama ini mampu di tahannya, tanpa dapat mengendalikan lagi perasaannya, Santanu membentak Ganga untuk pertama kalinya selama hidupnya, sambil berkata:

”Hentikan!…… Sungguh tidak berperi-kemanusiaan melakukan perbuatan terkutuk seperti ini! Aku tidak tahan lebih lama lagi melihat perbuatanmu ini, aku tidak dapat melihat semua anak-anakku dibunuh begitu saja seperti ini. Mengapa engkau tega melakukan perbuatan kejam seperti ini? Bagaimanakah seorang ibu atau seseorang yang cantik secara lahiriah seperti engkau dapat melakukan perbuatan terkutuk seperti ini? Mematahkan setangkai bunga sebelum bunga itu sempat mekar? Berikanlah anak itu kepadaku. Aku tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi menghadapi perbuatan terkutukmu ini”.

Di Tepi Sungai Ganga (5)


Mahabharata. “Persyaratan pertama adalah paduka tidak boleh menanyakan sesuatu tentang jati diriku, seperti misalnya siapakah hamba atau darimanakah asal-usul hamba? Persyaratan kedua adalah paduka tidak boleh menghalangi hamba dari segala sesuatu yang akan hamba perbuat ataupun menanyakan alasan dari perbuatan hamba itu. Begitu paduka mengecewakan hamba, maka hamba akan segera pergi menjauh dari paduka dan tidak akan pernah kembali lagi”.

Santanu yang telah benar-benar merasa tertarik akan kecantikan gadis itu, tanpa berpikir lebih jauh lagi, segera menerima persyaratan itu.

“Baiklah, kalau itu yang menjadi persyaratan dan keinginanmu, aku bisa menerima persyaratan itu. Karena engkau tidak mau diketahui jati dirimu dan juga engkau datang secara gaib di tepian sungai Ganga ini, maka mulai saat ini engkau aku panggil dengan nama Ganga”, kata Santanu dan segera sesudah itu, mereka segera melaksanakan pernikahan yang dilandasi oleh perasaan cinta kasih yang mendalam antar keduanya (Gandharva Vivah) dan kemudian setelah acara pernikahan itu selesai maka merekapun segera kembali ke Hastinapura.

Bagi Santanu, Ganga adalah seorang gadis dan seorang istri yang paling sempurna: Ganga dapat bertindak sebagai seorang teman yang setia di setiap keadaan. Gadis itu sangat mencintainya dan juga sangat mempesonanya, kecantikannya, tutur bahasanya dan berbagai sifatnya yang sangat baik dan luhur telah membuatnya bangga.

Hari demi hari telah lewat, bulan demi bulanpun telah berlalu dengan cepatnya, segala sesuatunya telah berjalan dengan baik dan mulus. Tanpa terasa Ganga telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan seperti ayahnya. Santanu sangat berbahagia atas kelahiran putranya itu yang merupakan ahli waris dari tahta kerajaan Paurava.

Pada keesokan harinya Santanu dengan sangat tergesa-gesa pergi menuju kamar tidur permaisurinya untuk membuktikan kebenaran berita bahwa permaisurinya sedang tidak berada di dalam kamarnya. Dia juga telah mendengar berita bahwa permaisurinya dengan sangat tergesa-gesa pula telah pergi ke tepi Sungai Ganga bersama-sama dengan anak yang baru saja dilahirkannya, yang digendong dikedua belah lengannya. Santanu tidak dapat mengerti akan hal itu. Akhirnya dengan perasaan penasaran, secara diam-diam Santanu segera menyusul Ganga ke tepian Sungai Ganga. Disana Santanu melihat sebuah pemandangan yang belum pernah dia lihat selama hidupnya. Ganga yang sangat dia sayangi dan sangat dia kagumi, telah tega membuang bayinya ke dalam Sungai Ganga. Terlintas di wajah cantik Ganga yang kelihatan bagaikan sedang menanggung beban yang sangat berat. Santanu ingin menegurnya, akan tetapi dia tidak mampu melakukannya. Santanu teringat kembali akan janji yang telah diberikannya kepada Ganga bahwa dia tidak akan pernah sekalipun menghalangi niatnya ataupun menyakiti hatinya.

Di Tepi Sungai Ganga (4)


Mahabharata. Namun rupanya gadis itu tidak mau menanggapi apa yang menjadi pertanyaan Santanu, malah gadis itu balik bertanya kepadanya.

“Kenapakah engkau bertanya seperti itu kepadaku?”.

Santanu dengan perasaannya yang mulai gundah gulana, tiada menentu, saat mendengar suara merdu gadis itu, merasa bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis asing ini. Santanu segera mendekati gadis itu dan tanpa merasa ragu lagi akan mengutarakan maksudnya untuk melamarnya. Santanu berkata:

“Nona.... baru pertama kali ini aku melihat gadis secantik dirimu, dan baru pertama kali ini pula aku merasakan perasaan yang sangat mendebarkan hati seperti ini. Kelihatannya aku sudah jatuh cinta kepadamu pada pandangan pertamaku. Nona cantik, begitu aku melihatmu, aku mempunyai keinginan besar agar engkau mau menjadi pendampingku, menjadi permaisuriku. Namaku Santanu, Raja Hastinapura. Aku berharap, terimalah lamaranku ini”.

Gadis cantik itu tersenyum, tersipu sembari berkata: ”Demikian pula dengan hamba, Yang Mulia, begitu hamba berjumpa dengan paduka, hamba merasa bahwa hamba akan segera menjadi milik paduka, hamba akan segera menjadi permaisuri Yang Mulia. Akan tetapi.....”.

Gadis itu dengan perasaan ragu-ragu, melanjutkan kata-katanya: “Yang Mulia, hamba akan menerima dengan sepenuh hati lamaran paduka, asalkan paduka dapat memenuhi dua permintaan hamba, yang merupakan syarat yang harus paduka patuhi”.

“Nona cantik, katakanlah! Apakah yang menjadi persyaratanmu itu?”, Santanu mengernyitkan keningnya, pertanda bahwa dia merasa penasaran terhadap syarat yang akan diajukan gadis itu.

Di Tepi Sungai Ganga (3)


Mahabharata. Disana, dimana bayangan dan suara gemerisik tadi berasal, telah berdiri seorang gadis yang sangat cantik, bagaikan seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Hati Santanu mulai berdebar kencang, melihat keanggunan dan kecantikan gadis ini. Baru kali ini Santanu melihat gadis secantik ini, seolah-olah dia sedang bermimpi saja. Ditepuknya pipinya sendiri, diusap-usapnya matanya seolah-olah Santanu tidak percaya kepada penglihatannya sendiri, namun gadis itu masih saja berada di hadapannya.



Disana, ditempat dimana gadis cantik itu berdiri, nampaklah kulitnya yang halus mulus bersinar mengeluarkan cahaya keemasan. Matanya yang lebar berseri-seri, serta rambutnya yang dia sisir dengan jari jemari tangannya, panjang tergerai, kelihatan bagaikan Rahu yang mencoba untuk mencaplok sang rembulan. Gadis itu berdiri mematung memandang ke arah sekumpulan air yang berada di tepi sungai itu. Santanu menebak bahwa seorang bidadari yang berasal dari kahyangan telah turun ke Bumi ini untuk dapat disaksikan oleh dirinya dan yang memang hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan perasaan yang tiada menentu serta rasa keingintahuan yang besar, Santanu mencoba memberanikan diri mendekati gadis itu. Gadis itupun segera berbalik begitu mendengar suara berisik dan kemudian menatap wajah Santanu. Segera setelah itu, wajah gadis itupun menjadi kemerah-merahan karena menahan jengah dan rasa malu. Sebuah senyuman yang manis akhirnya menghiasi bibirnya. Jari-jari kakinya menjejak bumi dan jari-jari tangannya bagaikan tongkat yang terbuat dari gading, gumpalan dan juntaian rambut hitamnya sedemikian indahnya.



Setelah beberapa saat, gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap wajah Santanu, maka tampaklah wajahnya yang sangat cantik dan menawan itu. Dari pandangan matanya, Santanu dapat merasakan bahwa gadis itupun menaruh perhatian besar terhadap dirinya. Dengan langkah perlahan Santanu mendekati gadis itu dan memberanikan diri untuk menanyakan tentang siapakah sebenarnya gadis ini, Santanu berkata : “Nona... siapakah gerangan dirimu, kenapa engkau muncul begitu saja dihadapanku, darimanakah engkau berasal dan ada keperluan apakah di tempat yang sesunyi ini?”.

Di Tepi Sungai Ganga (2)


Mahabharata. Sementara itu, di tepian sungai Ganga yang jernih itu, nampak sesosok bayangan yang sedang berjalan perlahan, seolah tidak peduli terhadap keadaan di sekeliling lingkungannya, seolah-olah dia sedang menikmati kesendiriannya dan kesejukan alam di sekitarnya. Laki-laki itu perawakannya masih nampak gagah perkasa, dia terus berjalan di pinggir Sungai Ganga sambil memegang sebuah busur di tangan kirinya serta seselongsong anak panah yang tergantung di bahu kirinya. Kelihatannya dia sedang melakukan perburuan di tengah hutan itu. Lelaki gagah itu nampak mengenakan pakaian kebesaran seorang raja dan ketika laki-laki itu semakin dekat maka nampaklah wajah yang sangat rupawan dan berwibawa, warna kulitnya yang agak kecoklatan namun bersih itu semakin menambah kegagahannya, matanya yang tajam memancarkan cahaya berkilat yang menunjukkan tingkat kecerdasannya yang tinggi serta memiliki wibawa sebagai seorang kshatriya. Pemuda tampan itu tidak lain adalah Raja Santanu, Raja Kerajaan Paurava yang agung. Memang demikianlah kebiasaan para Raja di zaman itu, berburu. Demikian juga yang sedang dilakukan oleh Santanu, yang saat ini sedang asyik di tepian Sungai Ganga untuk mendapatkan buruannya.


Di tepian Sungai Ganga itu, ternyata banyak sekali jenis binatang buruan yang siap menjadi sasaran anak panahnya. Kijang, rusa dan berbagai jenis burung adalah sasaran yang sangat disenangi oleh lelaki muda ini. Tiba-tiba pandangan mata Santanu menengok ke sebelah kiri sungai Ganga, disitu sudah nampak seekor rusa jantan yang gemuk yang sedang asyik memakan rerumputan yang berada dihadapannya, melihat sasaran yang sangat disukainya itu, Santanu segera memasang ancang-ancang dan kemudian membentangkan busurnya yang sedari tadi anak panahnya sudah terpasang disana. Matanya dipicingkan dan menyorot ke depan ke arah lambung rusa jantan itu. Jemari kanannya sudah siap untuk melepaskan anak panahnya, namun mendadak konsentrasinya terganggu oleh suara gemerisik dan bayangan yang tiba-tiba saja muncul di samping kirinya. Santanu membatalkan bidikannya, rusa jantan tersebut merasa terganggu oleh suara gemerisik itu, rusa jantan itupun akhirnya melarikan diri masuk ke tengah hutan lagi. Melihat sasarannya sudah tidak ada di tempatnya lagi, kini wajah Santanu berpaling, tertuju kepada sebuah bayangan yang sangat menarik perhatiannya.

Di Tepi Sungai Ganga (1)


Mahabharata. Pada suatu pagi yang amat cerah dan indah! Matahari yang merupakan sebuah benda yang perkasa, adil dan murah hati, juga memperlihatkan keindahannya, muncul di permukaan bumi bagian timur untuk mengusir segala kegelapan dan datang untuk membawa keriangan dan kesegaran kepada semua mahluk yang berada di atas permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang berwarna keemasan dan yang menjadi sumber tenaga bagi segala sesuatu baik yang nampak maupun yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua mahluk yang tadinya merasa penuh ketakutan dan kekhawatiran yang tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tetumbuhan, pepohonan besar, binatang-binatang mulai dari yang kecil sampai dengan yang paling besar, yang berterbangan di udara maupun yang berjalan dan yang merayap di atas permukaan bumi.

Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya berwarna keemasan yang menerobos masuk di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas tetapi kelihatan teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung dedaunan, kicau burung saling bersahutan penuh kegembiraan, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian serta keseraman yang timbul bersama dengan datangnya malam bukanlah sebuah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sebuah peristiwa yang hanya bersifat sementara saja. Demiki­an pula sebaliknya, kecerahan dan ke­riangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.