Make a donation Talk Fusion Saling Memberi

Selamat Tahun Baru 2009


Berita Mahabharata. Para penggemar cerita Mahabharata yang saya hormati, hari ini kita telah memasuki tahun baru, tahun 2009. Kami segenap crew Mahabharata mengucapkan "Selamat Tahun Baru 2009, semoga tahun 2009 dapat memberikan kesuksesan bagi kita semua, semoga pula melalui cerita Mahabharata ini, kita mampu menginspirasi kita untuk lebih jauh menggali kebenaran yang sesungguhnya, Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan keselamatan serta kesuksesan bagi kita semua".

Para penggemar cerita Mahabharata, untuk lebih menyempurnakan cerita Mahabharata ini, kami mohon masukan dan kritikan dari para penggemar semuanya, masukan dan kritikan dapat disampaikan melalui email: mahabharatas@gmail.com.

Adapun Tujuan dari penulisan kembali cerita Mahabharata ini melalui media Internet adalah untuk meluruskan dan menyebarluaskan ajaran kebenaran (sanatana dharma), yang kalau kita lihat dari beberapa literatur sudah terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang bertentangan dengan isi sesungguhnya dari Mahabharata. Oleh karena itu, seluruh crew Mahabharata sangat mengharapkan bantuan dan masukan dari para penggemar.

Demikian, "SELAMAT TAHUN BARU 2009".

Putri Seorang Nelayan (5)


Mahabharata. Tidak berapa lama kemudian Santanu sampai di tepian sungai Yamuna. Sungai yang bersih dan lebar, disana nampak beberapa buah perahu yang sedang bersandar dan ada juga perahu yang hilir mudik menyeberangkan penumpangnya ke seberang sungai. Namun matanya yang sangat ingin mengetahui sumber wewangian itu, kini menatap tajam seorang wanita yang baru saja menambatkan perahunya di pinggir Sungai Yamuna. Wanita itu berparas cantik, tidak itu saja, yang lebih menarik perhatian Santanu adalah wanita itu meskipun tidak bersolek, hanya mengenakan pakaian nelayan yang sangat sederhana, namun kecantikannya tidak pernah ada yang menyamainya. Yang lebih membuatnya heran dan penasaran lagi, bahwa sumber wewangian itu ternyata berasal dari tubuh wanita ini. Kecantikan wanita ini sulit sekali untuk diceritakan, sedemikian sempurna, bentuk tubuhnya sangat indah, bibirnya yang memerah merekah dihiasi dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari bibirnya, wajahnya yang polos dan bersih bersinar dan matanya yang berbinar yang menunjukkan kecerdasan dan kelembutan hatinya.

Santanu mendekati gadis itu, entah kenapa kini hatinya berdebar kencang, seperti apa yang pernah dialaminya dua puluh tahun yang lalu, ketika pertama kali berjumpa dengan Ganga. Matanya terus menatap tajam gadis itu, dengan sejuta pertanyaan dihatinya. Gadis nelayan itu, merasa sangat gugup dan terkejut ketika dengan tiba-tiba ada yang datang mendekatinya. Keterkejutannya ini membuatnya hampir terjatuh dan tali perahunya terlepas dari tangannya, perahu itupun hanyut. Namun dengan sangat cekatan Santanu, segera menangkap tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya segera meraih tali perahu sehingga perahu itupun terselamatkan oleh derasnya arus sungai itu. Sambil menambatkan perahu itu, Santanu menengok ke arah gadis itu, dan nampaknya gadis itupun sedang mencoba mengamatinya. Ketika kedua belah matanya saling bertatapan, detak di jantung Santanu semakin berdetak kencang dan gadis itupun menundukkan wajahnya, sambil berkata :

”Terima kasih atas pertolongan tuan sehingga perahu milik ayahku bisa terselamatkan”.

Putri Seorang Nelayan (4)


Mahabharata. “Paman, teruslah berjalan menyusuri sungai Ganga, ke arah hutan di depan sana, kemungkinan disana ada binatang buruan yang istimewa, yang belum pernah aku tangkap”.

Sambil memecut kudanya, kereta itupun bergerak lebih cepat ke arah hutan itu. Santanu, melihat sekelebatan burung Rajawali yang baru saja terbang mengepakkan sayapnya, dengan hati-hati Santanu menyiapkan busur dan anak panahnya, siap untuk membidikkan anak panahnya. Namun tiba-tiba diurungkannya niatnya, tatapan mata Santanu terus mengikuti kemana arah burung rajawali itu terbang sambil wajahnya terlihat begitu terkagum-kagum. Santanu nampak bergumam : “hmmm.. burung yang hebat”.

“Yang Mulia, apakah yang terjadi? Kenapa burung yang besar dan bagus itu dilepaskan begitu saja?”

“Tidak Paman, burung rajawali seperti ini tidak pantas untuk dijadikan sasaran anak panah kita, aku teringat akan cerita ayahku Raja Prateepa bahwa burung rajawali seperti inilah yang telah berjasa membantu Rama dalam usahanya untuk membebaskan Sita dari cengkeraman Rahvana, sampai burung rajawali itu tewas. Burung yang gagah dan berani, aku tidak dapat memanahnya atau menyakitinya. Ayolah Paman, kita mencari binatang buruan yang lainnya saja, tapi.....hmm bau apakah ini paman?”.

Kusir kereta itu mencoba untuk mencium bau yang dimaksudkan tuannya, dengan mengendus-endus kesana kemari, namun tidak tercium juga. “Hamba tidak mencium bau apa-apa tuan..”.

“Hmmm... aneh, kau tidak mencium baunya padahal baunya demikian harum dan keharuman yang aneh, karena baru kali ini aku mencium bau seharum ini, mari Paman kita cari sumbernya. Ikuti saja petunjukku”.
Santanu, terus memberikan petunjuk ke arah sumber dari mana bau wewangian itu datang. Tanpa terasa, Santanu sudah terlalu jauh meninggalkan Sungai Ganga, kini mereka sudah menuju ke arah Sungai Yamuna. Santanu semakin penasaran, ingin sekali mengetahui sumber dari wewangian itu.

“Paman, perlahan sedikit, kelihatannya sumber wewangian itu sudah semakin dekat, berhentilah, dan tunggulah disini, aku akan mencarinya di sekitar sana”. Santanu kemudian turun dari kereta kudanya, terus mencari sumber wewangian itu.

Putri Seorang Nelayan (3)


Mahabharata. Di pagi hari itulah, di halaman istana yang indah itu, Raja Santanu telah bersiap-siap untuk pergi melakukan perburuan ke tengah hutan seperti yang biasa dilakukannya.

“Paman, apakah semuanya sudah siap?”

“Semuanya sudah hamba siapkan, Baginda”.

“Bagus! ayolah kita berangkat, larikan kereta perlahan-lahan saja, aku ingin menikmati pemandangan yang indah di pagi hari ini. Bagaimana menurutmu Paman?”.

“Benar Baginda, pagi ini suasananya demikian sejuk dan indah, hamba benar-benar merasa segar dan penuh semangat, tapi Baginda, kenapa Tuan Devavrata tidak ikut serta?”.

“Paman... kau termasuk orang yang berani mendikteku, aku suka pada keberanianmu, asalkan dengan tujuan yang baik. Devavrata, kelihatannya masih terlalu lelah untuk bepergian lagi, karena dia baru saja datang dari berkeliling ke daerah perbatasan Hastinapura untuk memastikan Hastinapura dalam keadaan aman dan damai. Sudahlah Paman... hantarkan saja aku ke tepian Sungai Ganga, aku ingin menikmati suasana yang indah ini disana”.

“Baiklah Baginda.... heiiiiiyaaaa”.

Kereta kuda itupun mulai bergerak meninggalkan Istana Hastinapura, Santanu berburu seorang diri dan hanya ditemani oleh kusir keretanya saja. Selama dalam perjalanannya, tidak henti-hentinya Santanu menghela nafas panjang, membayangkan bahwa akan terasa lebih indah lagi suasana saat itu seandainya Ganga, istrinya ada disampingnya, mereka pasti akan bercengkerama bersama, namun ketika dia sadar bahwa hal itu tidak mungkin lagi, Santanu menghela nafas panjang lagi, “Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi lagi”, pikirnya.

Tidak berapa lama kemudian, sampailah mereka di pinggiran Sungai Ganga, sungai yang sejak dulu memang indah. Masih nampak bebatuan yang menonjol di tengah-tengah sungai yang airnya jernih, suara hempasan air yang menimpa bebatuan itu terdengar merdu ditambah lagi dengan kicauan burung dan suara binatang-binatang hutan yang saling bersahutan.

Putri Seorang Nelayan (2)



Mahabharata. Pagi itu udara sangatlah segar, cerah dan bersahabat, bagaimana tidak cerah karena pagi itu tidak sedikitpun mentari di ufuk timur dihalangi oleh awan maupun pepohonan, segar karena pagi itu embun-embun pagi yang menempel di rerumputan halaman istana memberikan kesegaran, baik kepada tetumbuhan disekitarnya maupun kepada mahluk lain yang sedang hilir mudik melaksanakan aktifitas paginya, sehingga semuanya nampak cerah dan bersahabat. Coba kita bayangkan seandainya kehidupan ini hanya disinari oleh mentari tanpa adanya embun air yang mengimbanginya, apakah yang akan kita rasakan? Tentulah panas yang menyengat dan tentu saja dengan kondisi seperti ini akan menimbulkan kelesuan dan kemuraman saja, bahkan mungkin akan menimbulkan kesengsaraan saja. Oleh karena itu, antara matahari sebagai sumber panas dan embun atau air sebagai sumber dingin haruslah seimbang. Panas dan dingin merupakan sesuatu yang bertentangan atau berbeda, kedua perbedaan inilah yang disebut sebagai RWA BHINNEDA, yang terdapat di dalam kitab suci Veda dan Vedanga. Jadi Rwa Bhinneda adalah dua hal atau dua sifat yang selalu bertentangan atau berlawanan, dan Rwa Bhinneda ini harus ada dalam kehidupan ini. Contoh Rwa Bhinneda lainnya adalah lelaki dan perempuan, elektron dan proton, negatif dan positif, tinggi dan rendah dan masih banyak sekali contoh Rwa Bhinneda di dalam kehidupan ini. Keseimbangan Rwa Bhinneda inilah yang akan membawa kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan kita di dunia ini. Cobalah kita renungkan lagi, apa yang akan terjadi seandainya Rwa Bhinneda ini tidak ada? Misalnya hanya ada kaum lelaki atau kaum perempuan, atau hanya ada putih atau hitam saja, apakah yang akan terjadi? Yang terjadi adalah alam ini tidak akan terjadi keseimbangan, sehingga alam ini akan musnah, karena tidak ada lagi penciptaan. Penciptaan terjadi karena adanya Rwa Bhinneda ini, bisa kita ambil contohnya adalah perpaduan antara lelaki dan perempuan akan menimbulkan penciptaan baru (bayi), perpaduan antara proton dan elektron akan membentuk sebuah atom sebagai unsur terkecil dari suatu penciptaan, warna putih dan hitam akan menciptakan warna baru hasil kombinasi dari keduanya, sifat baik dan buruk akan menciptakan manusia-manusia yang eling kepada Brahman, dengan demikian alam ini akan terus tumbuh dan berkembang secara alamiah menuju kesempurnaan selama keseimbangan Rwa Bhinneda ini tetap terjaga. Sungguh sempurna ciptaan Brahman Yang Maha Agung. Sebagian besar manusia pada saat ini dengan sifat egonya yang dominan senantiasa berusaha meniadakan Rwa Bhinneda ini, yaitu dengan terus berusaha mengeliminir sesuatu yang bertentangan dengan dirinya atau paham yang dianutnya. Itulah sekilas gambaran yang bisa kita rasakan di pagi hari itu, kelembutan dan keharmonisan, perpaduan antara panas matahari dan air embun pagi yang menimbulkan kesejukan secara jasmani dan rohani.

Putri Seorang Nelayan (1)



Mahabharata. Hari terus berganti, bulan berganti bulan dan tahunpun berganti tahun. Tanpa terasa empat tahun sudah berlalu sejak Santanu bertemu dengan putranya terkasih, Devavrata. Di Istana Hastinapura yang megah dan damai inilah Raja Santanu tinggal bersama dengan putra terkasihnya itu. Mereka melewatkan hari-harinya yang penuh dengan kebahagiaan bersama-sama, suka dan duka mereka bagi bersama. Santanu sangat menyayangi Devavrata dan di mata Santanu, Devavrata merupakan seorang anak yang sangat sempurna, seorang putra yang sangat berbakti dan mengetahui tata krama dan sopan santun, baik sebagai seorang anak maupun sebagai seorang calon Raja Hastinapura. Devavrata telah berpisah dengan ayahnya cukup lama yaitu sejak dia masih bayi sampai dengan dia berumur enambelas tahun. Oleh karena itu, nampaknya Devavrata ingin sekali memberikan kebahagiaan dan memberikan segala-galanya bagi ayahnya yang telah melewatkan masa-masa penuh penderitaan dan kesepian sejak ditinggal oleh ibundanya, Ganga, selama enambelas tahun itu. Kini mereka merasa bagaikan sudah tidak dapat terpisahkan lagi. Beberapa waktu yang lalu, ketika Devavrata berhasil mematahkan penyerangan Raja Salva beserta pasukannya yang ingin menundukkan dan merendahkan martabat Hastinapura dan kemudian dengan kebijaksanaannya telah mengampuni seluruh perbuatan Raja Salva, maka Raja Santanu kemudian memberikan gelar kehormatan kepada putranya ini sebagai Yuvaraja (putra mahkota). Seluruh rakyat Negeri Paurava, mengelu-elukan namanya dengan penuh suka cita.

Puji-pujianpun datang silih berganti dari seluruh rakyatnya yang pada kesempatan tertentu bisa bertemu langsung dengannya. Para gadis, para orang tua, para pemuda dan anak-anak semuanya menyanjungnya. Ada yang mengagumi berdasarkan ketampanan wajahnya, ada juga yang mengagumi seluruh kewibawaannya, ada pula yang mengagumi sifatnya yang penuh dengan welas asih dan penuh perhatian kepada rakyatnya, dan ada pula yang memuji-muji kepandaiannya dalam hal memanah dan ilmu beladiri. Devavrata memang selalu menyempatkan dirinya untuk memberikan setetes air kebahagiaan dan juga perhatian kepada rakyatnya.

Enam Belas Tahun Kemudian (4)


Mahabharata. Ganga berkata: ”Inilah alasan kedatanganku, aku mengantarkan anak ini untuk paduka, bawalah dia bersama paduka agar dapat memberikan penghiburan bagi paduka. Kini dia telah mahir dalam bersyair dan juga mahir dalam bidang kesenian yang mutlak harus diketahui oleh seorang kshatriya. Vasishtha adalah gurunya. Dari Vasishtha, dia mempelajari Veda dan Vedanga yang merupakan kitab suci yang berisi ajaran tentang kebenaran serta tuntunan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dari Brihaspati, guru yang hebat, dia mempelajari ilmu politik dan pemerintahan yang patut diketahui oleh seorang Raja. Dari Bhargava, seorang brahmana yang tidak tertandingi oleh para kshatriya manapun, telah mengajarkannya ilmu memanah. Sekarang Anak kita ini telah pandai dalam berbagai hal yang memang seharusnya diketahui olehnya. Aku telah menjadikan anak kita ini pantas untuk menjadi ahli waris tahta Kerajaan Paurava. Aku akan berikan pahlawan ini kepada paduka. Bawalah dia pergi ke Istana Hastinapura”.

Selesai berkata demikian Ganga kemudian menghilang dari pandangan mata mereka. Santanu terdiam beberapa saat, masih banyak hal yang ingin dikatakannya kepada Ganga, tentang perasaannya, cintanya dan cita-citanya. Namun semuanya sudah tidak mungkin lagi, karena Ganga sudah pergi lagi meninggalkannya. Hatinya terguncang, tidak bisa dipungkiri lagi olehnya bahwa rasa cintanya kepada Ganga sedemikian besarnya, kini tiada lagi harapan untuk bisa bertemu dengannya lagi. Tidak ada lagi alasan yang bisa mempertemukannya lagi.

Raja Santanu kemudian berbalik arah menuju ke arah Istana, sama seperti apa yang telah terjadi enam belas tahun yang lalu. Tetapi kali ini dia tidak sendirian lagi. Anaknya, anak yang dilahirkan oleh Ganga, telah berada disampingnya. Santanu, yang selalu berusaha untuk tetap adil sebagai raja yang selalu kesepian sebegitu lamanya, sangat bangga terhadap pemuda cakap ini. Bersama-sama, ayah dan anak ini berlari-lari kecil menuju ke arah kereta kerajaan yang sudah siap menghantarkannya ke Hastinapura.

Enam Belas Tahun Kemudian (3)


Mahabharata. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba mereka mendengar suara bergemuruh. Suara tersebut adalah suara gemuruh sungai yang airnya telah mengalir kembali, sekarang sungai itu sudah tidak terhadang lagi oleh rajutan anak panah. Dari kejauhan nampak seseorang berlari-lari kecil menuju ke arah mereka, seorang anak muda yang sangat tampan dan gagah yang mempunyai wajah kebangsawanan, wajahnya berseri-seri dengan penuh semangat dan gairah hidup yang menggelora. Pemuda itu kemudian memeluk Ganga dengan kedua belah tangannya seraya berkata:

”Ibu…! Ibu….! Lihatlah ….. Aku telah berhasil menghadang sungai itu lagi, aku telah sanggup melakukannya, pasti Guruku sangat senang mendengar berita ini”.

Sambil tersenyum bangga, Ganga menoleh kepada Raja Santanu. Raja Santanu kelihatan terkagum-kagum melihat anak muda itu.

“Anakmukah itu?” kata Santanu dengan mata penuh keheranan dan penasaran, “Waktu itu…, pasti…, pasti…, dia seharusnya…”.

“Betul, Yang Mulia”, kata Ganga memotong perkataan Santanu yang terbata-bata itu. “tebakan paduka benar, dia adalah anak kita berdua”. Kemudian Ganga berpaling kepada pemuda itu dan berkata:

”Devavrata, ini adalah ayahmu, Raja Santanu yang sudah sering Ibu ceritakan, berikanlah salam hormatmu kepadanya”.

Dengan patuh Devavrata membungkuk dan menyentuh kaki Ayahandanya itu. Santanu memberikan restunya dan kemudian menyuruh anaknya itu bangkit berdiri dan serta merta Devavrata memeluknya dengan perasaan penuh kasih.

Enam Belas Tahun Kemudian (2)


Mahabharata. Santanu terpaku dan terkesima terhadap kejadian itu. Bagaimana mungkin rajutan anak panah itu mampu membendung aliran sungai, kalaupun mungkin pastilah ini perbuatan seseorang yang memiliki keahlian yang sangat tinggi di dalam hal memanah, lalu siapakah yang telah melakukannya? Apakah tujuannya? Hatinya terus bertanya dan bertanya.

Tiba-tiba, Santanu sadar bahwa pada saat yang sama dia sudah tidak sendirian lagi di tempat itu. Ganga, Ganga yang selama ini sangat dicintainya dan yang sangat dirindukannya telah berdiri disampingnya dengan senyuman yang sangat manis dan menawan hatinya. Santanu melihat Ganga dengan penuh kebahagiaan dan keharuan yang bercampur aduk menjadi satu, tanpa dirasakan olehnya, sebutir air mata telah bergulir meninggalkan pelupuk matanya, mengalir membasahi pipinya yang kurus dan pucat itu. Dengan suara yang sedikit parau dan bergetar, akhirnya Santanu berkata:

”Ganga...., tidakkah engkau menaruh kasihan kepadaku? Bertahun-tahun lamanya aku hidup seorang diri, aku selalu menantimu, rasa-rasanya aku sudah tidak dapat hidup tanpa dirimu lagi. Kembalilah kepadaku, aku tahu bahwa engkau telah memaafkan diriku, kalau tidak, bagaimana mungkin engkau bisa datang kepadaku hari ini? Marilah kita pulang ke Istana. Buatlah kami berbahagia kembali”.

Ganga memandangnya dengan penuh perasaan hiba dan juga penuh dengan perasaan kasih sayang yang terpancar di kedua belah matanya, Ganga berkata :

”Yang Mulia, semua ini adalah masa lalu, hamba sudah tidak dapat lagi kembali kepada paduka. Pada saat matahari telah menentukan sebuah hari, adalah sangat bodoh bagi kita untuk meminta kepada matahari itu agar dia mau kembali ke hari semula, sehingga kita akan dapat hidup sehari lagi. Matahari akan kembali, tetapi hanya untuk melayani hari yang lain. Tidak satupun dapat kembali, tidak ada yang abadi meskipun hanya sementara. Akan aku beritahukan kepada paduka, kenapa aku datang menemui paduka hari ini. Apakah paduka menyaksikan sungai yang sedang terhadang oleh anak-anak panah itu?”.

“Ya”, kata Raja Santanu, “itu adalah pemandangan yang telah membuatku terpesona, pada saat engkau datang barusan, katakan kepadaku Ganga, siapakah yang telah melakukannya?”.

Enam Belas Tahun Kemudian (1)


Mahabharata. Enam belas tahun telah berlalu, selama enam belas tahun itu pula Santanu menahan kesedihan hatinya yang telah ditinggal pergi oleh permaisuri yang sangat dicintainya, Ganga. Hatinya yang kesepian, hatinya yang sangat merindukan kekasih hatinya, telah dirasakannya sedemikian lamanya. Di balik kehidupan mewah di Istana Kerajaan Paurava, terdapat sebuah hati yang suasananya sangat berseberangan dengan suasana kemewahan Istana itu, itulah hati Santanu. Kehidupan Santanu kini terasa hampa, hidupnya terasa bagaikan sudah tidak berarti lagi.

Meskipun keadaan hati Santanu seperti itu, namun sistem pemerintahannya masih berjalan dengan baik. Santanu adalah seorang Raja yang sangat arif dan bijaksana serta seorang yang sangat sempurna. Rakyat negeri itu merasa sangat berbahagia berada di bawah kepemimpinannya. Salah satu kesenangan Santanu sejak dari dulu adalah berburu, dan berburu. Santanu selalu menyempatkan diri berkunjung ke tepian Sungai Ganga untuk berburu sambil mengenang kembali saat-saat terakhir bersama Ganga. Inilah satu-satunya kegemaran yang mampu memberikan penghiburan kepadanya.

Pagi itu, sangat indah suasananya. Matahari memancarkan cahayanya yang lembut putih kemerahan yang menerpa halaman Istana. Di halaman depan Istana itu, nampak Santanu sedang menuju ke sebuah kereta yang telah disiapkan oleh kusir kereta kerajaan. Di dalam kereta itu sudah disiapkan perlengkapan berburu bagi Santanu. Santanu segera menghentakkan tali kekang kereta kudanya, dan akhirnya kereta itupun segera melaju dengan kencangnya menuju ke tepian sungai Ganga. Santanu memacu keretanya sendirian, karena tidak ingin kesenangan berburunya terganggu oleh orang lain termasuk kusir kereta kerajaan. Hutan di sekitar sungai Ganga sudah terlewati, nampaklah berbagai macam binatang buruan berkeliaran kesana kemari yang merupakan sasaran yang sangat empuk bagi panah Santanu. Santanu, segera turun dari keretanya, berjalan menyusuri sungai Ganga, sambil melihat kesana kemari menanti sasaran yang enak untuk dibidik. Seekor kijang yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya telah menggoda hatinya. Anak panah yang sudah disiapkan di busurnya dipentangkannya lebar-lebar, matanya lurus menatap leher kijang itu yang akan dijadikan sasaran anak panahnya. Namun dengan sangat mendadak, diurungkannya niatnya untuk membidik sasaran yang sudah di depan matanya itu, karena Santanu secara tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah pemandangan yang sangat aneh dan asing yang selama ini belum pernah dilihatnya. Di kejauhan sana terlihat sesuatu tengah menghadang sungai Ganga, sehingga sungai Ganga itu tidak mampu mengalirkan airnya lagi. Dengan perasaan keingintahuan yang dalam, Santanu akhirnya berjalan di sepanjang tepian Sungai Ganga untuk melihat lebih dekat lagi, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Dia melihat sekumpulan anak panah. Anak-anak panah itu telah terajut sedemikian rupa sehingga tidak setetes airpun mampu melewati rajutan anak panah itu. Santanu berdiri terpaku ditempatnya, terkesima terhadap sesuatu yang telah terjadi pada sungai itu.

Di Tepi Sungai Ganga (9)


Mahabharata. Ketika tabir penglihatan yang menyesatkan telah runtuh dan mata diijinkan untuk melihat suatu kebenaran, yang kita peroleh adalah tidak ada cukup kekuatan untuk menerima semua itu. Demikian pula halnya dengan Santanu bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk menerima kenyataan Ganga akan meninggalkannya. Ganga, bidadari dari kahyangan merupakan permaisuri yang paling sesuai bagi dirinya. Akan tetapi Santanu, hanyalah seorang manusia biasa, tidak cukup kuat baginya untuk memikul cobaan yang berat ini. Dia merasa tidak ada gunanya lagi melihat suatu kebenaran. Dia terus membisu saat mendengarkan semua yang telah dikatakan oleh Ganga. Itu sudah terlalu banyak baginya. Dia hanya mampu melihat dua hal, yaitu pertama, bahwa Ganga akan segera meninggalkannya untuk selama-lamanya, dan tidak akan pernah kembali lagi. Kenyataan yang lain adalah bahwa dia mempunyai seorang putra, seorang putra yang akan membela nama Paurava.

Tidaklah begitu sulit bagi Ganga untuk menebak perasaan yang terlintas dalam pikiran Santanu. Dengan perasaan kasihan dan bercampur aduk dengan perasaan cinta kasih yang dalam, Ganga menatap wajah Santanu sambil berkata dengan lemah lembut:
“Sayangku, janganlah bersedih hati seperti ini. Aku akan merawat anak ini dengan sangat hati-hati. Anak kita ini akan menjadi orang terkenal. Dia akan menjadi lebih besar daripada seluruh Paurava yang mempunyai anugerah tahta kerajaan Paurava”.

Selesai berkata demikian, Ganga kemudian lenyap dari pandangan Santanu, Ganga telah kembali ke kahyangan bersama-sama dengan anaknya. Santanu yang sedang terpukul hatinya itu, melewatkan beberapa saat disana, saat-saat yang dipenuhi dengan hal-hal yang menyedihkan dan menghancurkan hatinya. Saat-saat terakhir bersama Ganga. Sambil menarik nafas panjang untuk menghilangkan sesak didadanya, Santanu berbalik arah, kemudian dengan perlahan-lahan dia mengayunkan langkah kakinya yang dirasakannya sangat berat, menuju ke arah Istana, sebuah Istana dimana kesepian akan siap menantinya.