Berita Mahabharata. by NPP
Mungkinkah orang Hindu menjadi teroris? Bila memungkinkan lalu bagaimana cara mencegahnya? Hindu tidak memiliki konsep jihad, mati syahid, apartheid agama atau negara yang berdasarkan hukum Hindu. Sebaliknya Hindu mengajarkan etika persaudaraan global, Vasudaiva Kutumbakam, yang lahir dari filsafat Tat Tvam Asi.
Hindu tidak mengajarkan bahwa karena seseorang memeluk jalan Dharma tidak berarti otomatis memperoleh pembebasan (moksa). Pembebasan dari samsara sebagai tujuan tertinggi harus dicapai oleh manusia melalui usahanya dengan mengikuti jalan dan metode yang telah ditentukan: Jnana, Bhakti, atau Karma Marga.
Hindu tidak mengajarkan bahwa para pengikut jalan Dharma adalah umat terpilih, umat terbaik. Atau klaim-klaim yang menggelembungkan ego (ahankara). Ahankara, rasa keakuan justru harus dikikis untuk diganti oleh rasa kekitaan (kadang-kadang juga disebut Aku universal, rasa aku yang meluas sehingga meliputi semuanya). Bagaimana dengan konsep Negara Hindu? Tentu saja pernah ada Negara Hindu yaitu Negara yang didasarkan atas ajaran moral dan spiritual Veda. Di Indonesia kita mengenal kerajaan Hindu yang besar, yaitu Majapahit. Di Bali ada kerajaan-kerajaan Hindu sampai kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Veda bicara tentang pemerintahan yang baik yaitu pemerintah yang menganggap warganya sebagai teman yang di hargai “…Yang menandingi dalam pujian, seperti (mereka yang bersaing untuk kebaikan) manusia, semoga Tuhan menjadi teman kami semua; seperti mereka yang menginginkan pertemanan (mendamaikan), penguasa kota (yang memerintah) dengan pemerintah yang baik.” (Rig Weda.5.247.)
Gandhi sering bicara tentang Negara ideal atau Ram Rajya. Pada tahun 1929 Gandhi menulis dengan penekanan, di Young India, bahwa: “Dengan Ram Rajya saya tidak bermaksud Hindu Raj. Saya maksud dengan RamRajya, Kerajaan Tuhan….Apakah Rama dalam imajinasi saya pernah hidup atau tidak di bumi ini, ideal kuno Ramarajya tidak diragukan lagi salah satu demokrasi sejati dimana warga Negara paling kejam bisa yakin keadilan cepat tanpa prosedur yang rumit dan mahal…Ramarajya dari mimpi saya memastikan hak yang sama antara pangeran dan orang papa.”
Ketika harus memilih bentuk Negara pada waktu India merdeka dari Inggris, Gandhi memilih Negara demokrasi sekuler, sekalipun mayoritas penduduk India memeluk agama Hindu, sedangkan pemeluk Islam pindah ke Pakistan dan sebagian lainnya tidak mau pindah ke Pakistan..Sebab, kata Gandhi, bila India didasarkan atas agama Hindu, maka agama lain atau pengikut mereka menjadi warga Negara kelas dua.
Bagaimana dengan perang?
Ada ajaran tentang perang di dalam teks suci Hindu, tetapi itu adalah perang untuk membela kebenaran, dharma yuda. Tidak ada perang atas nama agama. Di dalam Bhagavad Gita juga disebutkan tentang perang dan upah surga. Sebanyak 31 kata perang disebutkan, 25 di antaranya terdapat dalam bab 1 dan 2. Tetapi sebagian besar merupakan laporan pandangan mata Sanjaya kepada Dristharasta. Yang bersifat perintah hanya 3. Setelah menjelaskan tentang kekekalan jiwa, Sri Krishna berkata kepada Arjuna:”…oleh karena itu bertempurlah, O Bharata!” (2.18). “…oleh karena itu bangkitlah, O Kaunteya, bertindaklah dengan kokoh, putuskan untuk bertempur.” (2.37-38).
Kata surga hanya disebut dua kali dalam sloka 2.32 dan 2.37. Tetapi itupun kemudian dicela. “Mereka yang pikirannya penuh dengan keinginan akan kesenangan, dengan surga sebagai tujuan akan mengalami kelahiran kembali ke dunia ini.” (2.43). “Orang yang pikirannya terpengaruh oleh keinginan akan kenikmatan dan kekuasaan, tak akan terpusatkan dan tidak akan mampu melakukan Samadhi.” (2.44). Lalu apa? “Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan; jangan sekali-kali pahala menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa bekerja.” (2.47).
Bhagavad Gita tidak menjelaskan surga itu seperti apa. Surga, secara etimologi berasal dar kata ‘svar ‘= cahaya dan ‘ga’ = pergi. Jadi surga adalah tempat penuh cahaya. Apakah ada anak-anak muda Hindu yang mau meledakan dirinya untuk cahaya seperti itu?
Apakah Bhagavad Gita sama sekali melarang perang? Arjuna akhirnya bangkit memimpin pasukannya setelah mendapat banyak penjelasan dari Sri Krishna. Dulu orang Bali berkali-kali melakukan perang ‘Puputan’ (perang habis-habisan) melawan Belanda, bukan karena iming-iming surga, tetapi karena tidak mau harga dirinya diinjak-injak oleh bangsa lain.
Graham M Schwieg, dalam bukunya Bhagavad Gita, The Beloved Lord’s, Secret Love Song, menyatakan “sesungguhnya Bhagavad Gita, secara esensial adalah sebuah kitab tentang yoga yang sangat luar biasa (par excellence), karena ia menyajikan yoga secara sangat komprehensif dalam arti sesungguhnya dari istilah itu dan dalam kedalamannya.” Dan yoga itu adalah karma, kerja tanpa pamerih; bhakti, cinta dan pelayanan kepada Tuhan dan manusia; dan jnana, pengetahuan langsung tentang Tuhan. Tidak disebutkan perang sebagai jalan mencapai moksa.
Upah bagi teroris adalah penghinaan terbesar
Asvathama dalam Mahabharata dapat dikatagorikan sebagai seorang teroris. Ia membunuh anak-anak Pandawa pada malam hari, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, sebagai balas dendam atas kematian ayahnya Bhagawan Drona. Sebagai upah atas tindakannya, sekalipun dengan ‘alasan yang cukup’, ia tidak mendapat surga, tetapi kutukan: selama 5000 tahun ia akan berkeliaran di hutan dengan darah dan nanah mengalir keluar dari luka-lukanya yang tidak pernah sembuh-sembuh, dan menangis meminta kematian. Karena ia tidak takut mati selama perang, kematian tidak akan menemuinya. Dia akan tidak mendapat keramah-tamahan, tidak ada orang yang mau menerimanya; Dia akan berada dalam isolasi total tanpa kontak dengan manusia dan masyarakat; Betapa mengerikan hukuman bagi seorang teroris di dalam agama Hindu.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Agama Hindu tidak sedikitpun memiliki sumber untuk melahirkan terorisme, sehingga tidak mungkin bagi seorang Hindu untuk melakukan tindakan terror. Kalaupun ada yang melakukannya seperti gerakan Macan Tamil dulu di Sri Lanka, itu tidak bersumber dari teks suci Hindu. Tidak ada teks suci Hindu yang dapat dibajak oleh kaum teroris.
Sebaliknya Hindu menawarkan banyak teks untuk mencegah radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Mungkinkah terorisme dihentikan?
“Tidak!!” Jika terror itu bersumber pada kitab-kitab suci – dalam ayat-ayat yang mengajarkan kebencian, kekerasan dan apartheid iman – yang diyakini sepenuhnya kata-kata Tuhan yang sudah jelas dan manusia tidak boleh mengubahnya, dan tinggal dilaksanakan. Dan jika ayat-ayat ini sudah diajarkan mulai anak-anak PAUD, maka terorisme akan tetap ada.
Apapun juga, semoga semakin banyak sekarang orang berpandangan bahwa agama adalah untuk manusia, agama harus menjadikan kemanusiaan sebagai pertimbangan utama. Ini sesuai dengan ajaran sentral Bhagavad Gita: “melalui yoga, kemanusiaan (humanity) pada akhirnya akan bersatu dengan Ketuhanan (divinity). Ketuhanan harus mewujud dalam kemanusiaan.
TAT TVAM ASI.
No comments:
Post a Comment